Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

REDEFINISI SUMPAH JABATAN




Oleh Rian Odel

Tulisan Ini Sudah terbit Pada Flores Pos (16/2/2019)

Kata sumpah dalam Kamus Bahasa Indonesia memiliki multidefinisi. Sumpah dikaitkan dengan pernyataan  resmi sembari bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci. Sumpah juga berarti sebuah pernyataan yang didorong tekad militan untuk terlibat dalam sesuatu yang benar. Yang paling umum dipahami ialah janji untuk menunaikan tugas tertentu. 
Bersumpah selalu bersentuhan dengan urusan tugas kepemimpinan baik dalam Gereja maupun institusi profan seperti dalam politik. Fenomena yang sering kita temukan ialah, keterlibatan Gereja (imam) dalam memberi sumpah jabatan politis tertentu pada musim pelantikan pejabat publik. Tugas tersebut tampaknya kurang berpengaruh konstruktif terhadap kesadaran seorang pemimpin dalam mengeksekusi tugasnya. 
Hipotesis inilah yang perlu ditelusuri kembali tentang konsep kausalitas dari pengangkatan sumpah jabatan disertai “sumpah agama” yang direpresentasi oleh imam dan Kitab Suci. Secara bebas, konsep tentang sumpah dalam kalangan publik selalu dilihat sebagai sesuatu yang sakral bahkan angker. Jika dilanggar akibat destruktif akan menimpah pelakunya.
Imam dan Sumpah Politis   
Hakikatnya, seorang Imam (katolik) memiliki tritugas Yesus yaitu, imam, raja, dan nabi. Tugas yang paling relevan dengan judul artikel ini ialah kenabian seorang imam katolik. Sebagai nabi, seorang Imam dimandatkan untuk menjadi pembela kebenaran yang berakar pada hukum cinta-kasih. 
Ia ditugaskan untuk menyerukan kebaikan dan melawan semua tindakan destruktif yang menghegemonisasi situasi sosial–walaupun secara realistis masih ada imam yang cuek bebek melihat patologi sosial–misalnya masih ada imam yang tidak terlibat bahkan melarang rekan klerus untuk melakukan demonstrasi damai bersama masyarakat dalam menuntut Bonum Commune. 
Jawaban atas tugas tersebut bisa ditemukan dalam diri banyak Imam yang selalu berjuang untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang kontraproduktif. Oleh karena tugas tersebut, seorang imam tidak dilarang Gereja untuk mengangkat sumpah terhadap umat Allah yang lolos seleksi publik untuk menjadi pejabat. 
Indikasinya jelas, setiap momen pelantikan pasti seorang imam selalu diundang– entah  melalui prosedur yang mantap maupun secara mendadak–untuk  memberi sumpah jabatan.
 Mungkin saja bahwa seorang imam yang diundang akan dijamu dengan beraneka cara sedemikian rupa agar ia bisa menjalankan tugasnya secara cepat dan sempurna demi melegitimasi keinginan seorang calon yang lolos menjadi pejabat. Hal tersebut sangat wajar jika melalui sebuah ketulusan hati dan kesadaran rasio yang positif. 
Pada saat pemberian sumpah, seorang imam ditugaskan untuk mengangkat Kitab Suci sambil menguji sang calon pemimpin untuk berjanji pada manusia dan Tuhan.
Secara positif, sumpah yang diberikan oleh seorang imam pada momen pelantikan adalah deskripsi  atas sebuah panggilan profetis seorang imam untuk mengembalakan atau membimbing umat Tuhan dalam menjalankan fungsinya dengan satu cita-cita yaitu mengembangkan kerajaan Allah melalui jalur politik. 
Berkaitan dengan ini, seorang imam wajib menghafal Undang-Undang Hukum Kanonik Gereja Pasal 287 ayat 2 dan Pasal 285 ayat 4 yang mengfirmasi larangan seorang klerus untuk berpolitik praktis kecuali ada izinan formal dari pimpinan Gereja. Artinya, imam hanya ditugaskan untuk membimbing atau mengarahkan bukan sebaliknya menjadi eksekutor utama.
Fakta negatif dari tugas tersebut berbicara lain. Jika diselisik dengan hati terbuka sebenarnya atribut sakral seperti Kitab Suci bisa saja dianggap sebagai barang dagangan yang baru akan dibutuhkan pada momen politis. 
Pascapelantikan; ajaran Kitab Suci dianggap tidak berfaedah dalam mengarahkan politisi yang bersangkutan. Buktinya, banyak pejabat politik beriman katolik yang terlibat kasus korupsi dan selalu diserang karena kebijakannya tidak prorakyat serta jauh dari ajaran Kitab Suci. Fakta seperti ini menggambarakan bahwa Kitab Suci hanya dianggap barang “mainan” yang formalistis. Intinya bisa dipakai untuk memenuhi syarat menjadi seorang politisi. 
Di sini, saya menilai bahwa seorang imam dijebak untuk menjalankan tugas momental dan lebih parah lagi karena imam tersebut tidak bertanggung jawab terhadap konsensus yang dikonstruksi bersama politisi bersangkutan. Imam hanya menjalankan tugas mengangkat sumpah dan apatis terhadap akibat destruktif  lanjutan yang dilakukan oleh politisi tersebut. Sebaliknya, politisi bersangkutan tidak merasakan adanya daya dorong dari Kitab Suci sebagai inspirasi spiritual dalam menjalankan tugasnya.

Maka, sebenarnya Kitab Suci direduksi sebagai barang formalistis untuk melegitimasi kekuasaan tanpa dampak mumpuni. Maka pertanyaanya; apakah masih layak seorang imam diundang untuk memberi sumpah atau juga seorang politisi harus tetap diuji melalui sumpah di hadapan Kitab suci dan imamnya?
Redefinisi Sumpah
Felix baghi (2014: 115) mengatakan, persoalan tentang politik dan agama selalu berkaitan dengan hati dan pikiran. Ia mengafirmasi bahwa politik dan agama harus dibentuk melalui tahapan reformasi pendidikan nurani dan cara berpikir. 

Konsep tentang pengangkatan sumpah masih berkaitan dengan pernyataan tersebut bahwa, urusan hati nurani dan cara berpikir menjadi landasan dalam berpolitik dan beragama. Dalam kaitan dengan persoalan formalistis pengangkatan sumpah jabatan, saya menduga bahwa hati nurani dan cara berpikir seorang pejabat politik belum disentuh oleh isi Kitab Suci yang sarat dengan aspek pedagogis dan dipakai dalam melegitimasi jabatannya. 

Alhasil, korupsi dan penyimpangan kekuasaan oleh pejabat katolik semakin beranak-pinak. Transformasi kesadaran klasik tentang Kitab Suci mesti sungguh-sungguh direvisi baik oleh Gereja maupun pejabat politik yang memakainya sebagai salah satu syarat menduduki kursi jabatan.

Perlu disadari bahwa Kitab Suci adalah sabda Tuhan, maka barang siapa yang bersumpah di hadapannya mesti memiliki kesadaran untuk bertanggung jawab sesuai dengan pernyataan yang meledak dari mulutnya. 
Jika tidak, daya kesakralan kitab Suci dianggap tidak berfaedah untuk membentuk nurani seorang politisi katolik yang termanifestasi melalui tugas politisnya. Saya menyampaikan pendapat ini sebagai suatu rangsangan bagi Gereja dan pejabat supaya lebih hati-hati bersumpah di hadapan Kitab Suci, khususnya pada musim pelantikan dan tentunya pemilu 2019 akan memepertontonkan “lelucon” seperti ini. 
Bertolak dari persoalan empirik tersebut, saya menawarkan beberapa hal sebagai alternatif solutif. Pertama, seorang imam dan pejabat yang dilantik mesti menyadari eksistensi Kitab Suci sebagai sabda Tuhan, maka bersumpah berarti berjanji di hadapan Tuhan. 

Kedua, perlu ada sinergitas antara Gereja dan para pejabat katolik untuk membangun politik yang bermartabat sesuai ajaran Kitab Suci. Artinya, tanggung jawab Gereja (imam) tidak selesai pada momen pelantikan tetapi mesti ada kontrol lanjutan untuk mewaspadai munculnya penyelewengan terhadap sumpah jabatan. 
Kegiatan pastoral kategorial Gereja mesti menimbang persoalan seperti ini. Gereja tidak mesti hanya bertugas sebagai “anjing pelacak” yang suka menggongong tetapi harus terlibat untuk meminimalisasi adanya kejahatan sebab menurut saya para pejabat adalah domba yang perlu diarahkan terus-menerus untuk berorientasi pada idealisme harafiah politik demi membangun kerajaan Allah di dunia. Jika Gereja apatis pascapelantikan, maka kebiasaan mengkritik kesalahan para pejabat perlu menjadi sebuah evaluasi bersama baik Gereja maupun pejabat katolik.
Ketiga, pengingkaran terhadap sumpah di hadapan Kitab Suci merupakan penghinaaan masif terhadap manusia dan Tuhan. Substansi dari solusi ini mengafirmasi bahwa kesadaran tentang Kitab Suci mesti ditransformasi. Hati nurani mesti diasah untuk menghargai sumpah jabatan.


1 comment for "REDEFINISI SUMPAH JABATAN"