Rindu Merdeka#Cerpen Irene Sidok
Rupanya lelap benar tidurku
semalam. Iya. Badanku terasa sakit semua. Kemarin seharian jadi buruh. Kepak
bata merah untuk dipasarkan. Mumpung libur sehari. Lumayan buat tambahan
belanja mama. Baru ku terjaga ketika berkas cahaya yang menorobos masuk dari
dinding pelupu kamarku, telak menikam mataku.
Rupanya matahari sudah tinggi. Ku bangun dengan badan sedikit ku seret.
Sebenarnya masih ingin tidur lagi. Tapi aroma ABC Moka dari dapur menyeruak
masuk ke kamar tidurku, membangkitkan niat untuk segera sarapan. Rupanya mama
sudah menyiapkannya. Iya. Setoranku semalam cukup memberi warna untuk sarapan
pagi ini. Segelas ABC Moka, ku seruput seteguk demi seteguk. Pisang goreng
buatan mama menambah nikmat sarapan pagi ini. Sarapan yang terasa sedikit
berbeda dengan pagi yang lainnya. Biasanya ketika ku bangun, ku dapati mama
sedang memandangi periuk dengan air yang sudah mendidih berulang-ulang. Tidak
tahu apa yang harus dilakukan dengan air panas itu. Sukyur-sukyur, kalau aku
kakak ku mengeluarkan seribu rupiah untuk beli gula supaya bisa buat teh hambar
yang bisa dibagi untuk kami bertiga.
Meskipun begitu, aku tidak pernah dengar mamaku mengeluh. Hmmm mamaku memang berhati lembut, badannya nampak kurus, kulitnya makin hitam legam karena memanggang diri di terik seharian, menjadi kuli cetak bata merah adalah pilihan utama di samping menerima sewa tenun sarung, untuk keperluan hidup aku, kakak ku yang sudah di bangku SMA dan Mama Burgaku. Begitulah ia biasa disapa. Bapak ku pandai melaut, sehingga ikan pancingannya bisa kami jual untuk bisa beli beras. Namun terkadang, sikap egois bapak yang suka mabuk juga membuat kami merasa sulit jika uang hasil jualan ikan dihabiskannya di kuwu[1] milik tetangga maka kami tak bisa makan sehari atau bahkan dua hari. Untung masih ada ubi yang bisa mama ku rebus sebagai pengganti nasi. Walau demikian, kehadiran bapak tetap membuat keluarga kami sedikit lebih baik. Semenjak ditinggal pergi bapak, kehidupan kami agak sulit. Apalagi bapak merantau, tanpa kiriman, bahkan tanpa kabar. Terakhir aku dengar kalau bapak sudah beristri lagi. Aku bahkan tidak mendengar suara caci maki mama karena ulah bapak itu. Walau sempat kubaca guratan rindu di wajah mama, namun aku tidak dengar suaranya berkisah tentang bapak. Namun, yang pasti di tengah kerinduan mama pasti ada senyum kemerdekaan. Merdeka dari arogansi bapak selama bersama kami. Bapa sering mabuk bahkan mama sering jadi sasaran amarah bapak yang tidak jelas. Sebenarnya aku sendiri merindukan bapak. Tapi, kalau melihat mama lebih banyak tersenyum seperti sekarang, aku malah jadi senang kalau bapak tidak ada. Sedikit merasa berdosa terhadap bapak juga, tapi daripada melihat mama menderita lebih baik seperti ini saja. Toh, di sana bapak juga sudah bahagia dengan kehidupan rumah tangga barunya. Biarlah aku, kakak dan mama menata kehidupan kami yang baru.
Suasana zona belajar ku tampak sepi. Hanya terdengar gaung suara guru yang mengajar di teras rumah itu. Mati aku. Aku terlambat lagi. “ Sebaiknya aku masuk saja atau pulang saja, ya?”, berseliweran pertanyaan dalam benakku. Kalau aku masuk artinya aku harus siap dikhotbahi guru bahasa Inggris ku itu, karena aku terlambat sejauh ini. Kalau aku pulang, besok pasti dapat jatah lebih dari wali kelasku lagi. Aku terpojok dalam kebingungan di pojok rumah Bu Eta, tempat aku dan beberapa teman ku belajar di masa pandemi ini. Aku dan kawan-kawan biasanya bersembunyi di sudut rumah itu kalau terlambat. Kalau aku masuk dan menceritakan sejujurnya keadaanku, mungkin saja bisa dimengerti. Ah, tidak mungkin. Biasanya kalau sudah marah, Ibu sudah tidak mau mendengarkan alasan apapun. Salah aku juga. Kemarin coba aku cukup kerja setengah hari, pasti aku tidak terlalu capek sampai terlambat bangun begini. Tapi, mana cukup buat beli beras? Uang mama sudah benar-benar habis. Kemarin sudah kasih kakak buat tambahan cicil SPPnya. Untung juga kakakku pulang sekolah langsung cetak bata merah sehingga bisa bantu mama bayar uang sekolahnya. Hmmm, masuk? Tidak? Masuk? Tidak?”, berkejaran pertanyaan memenuhi pikiranku.
“ Mehan?”,
sapa suara itu tiba-tiba di belakangku. Tengkuk ku merinding bagai dihantui
setan tengah malam, demi mendengar suara lantang itu. Rupanya Bu Eta melihat
ku, lalu menyusul ku dari arah dapurnya.
“ Kau sudah
terlambat, sembunyi di sini lagi. Dasar pemalas. Ini sedikit lagi pasti kau mau
bolos sudah.” Melengking suara itu bagai tembakan mitraliur saja.
“Mati aku,” rupanya persembunyian ku tercium guru bahasa Inggris ku. Jantung ku berpacu keras. Persendianku seperti terlepas. Aku tak berani menatapnya lagi. Tanganku direnggutnya begitu saja dengan kasar. “ Ayo ikut, aku. Biar aku antar ke Wali Kelasmu nanti.” Aku berlangkah pasrah mengikuti irama langkah penuh amarah di depanku. Tak berani melawan sedikitpun. Rupanya aku digiring ke sekolah yang tak jauh dari rumah bu Eta, tempat wali kelasku kebetulan sedang menjalankan tugas piketnya.
***
Di meja piket, wali kelasku
sedang sibuk di depan laptopnya. Biasa, kegiatan mengusir sepi karena di
sekolah sedang sepi tanpa guru ataupun siswa yang belajar. Semua belajar di
zona belajar masing-masing.
“Ini, Ibu. Dia ini setiap saya les, hilang
terus. Hari ini baru muncul tapi sembunyi di sudut rumah sana. Pakaian juga
kotor, dekil. Dasar pemalas, pemogok. Itu mau kasih nilai berapa itu? Ini Ibu
atur sudah. Saya mau les.” Didorongnya aku dengan kasar ke arah wali kelas
hingga hampir aku tersungkur di depan
meja. Di depan wali kelas ku, aku merasa seperti seorang penjahat yang siap
diadili. Kepalaku masih belum berani ku angkat. Apalagi menatap wajahnya aku
tak sanggup. Aku membisu. Siap diinterogasi.
“Mehan, kau
kenapa?”, tanya wali kelasku dengan nada sabar dan tenang. Sungguh di luar
bayanganku. Rasanya seperti setetes embun penyejuk di tengah terik amarah yang
tadi menyengat jiwaku.
“Aku terlambat, Bu. Maafkan aku,” jawabku
masih menunduk. Sedikit melirik ke arahnya. Aku lihat sepertinya wali kelasku
juga merasakan kesakitanku. Dia menatapku teduh. Sambil tersenyum dia berkata,
“ Maksudku mengapa kau terlambat?” Melihat senyum itu, aku pun tersenyum
menyadari kekeliruanku. Namun aku malu menceritakan yang sebenarnya. “ Aku
terlambat bangun, Bu.”, jawabku seperlunya.
“ Kenapa?
Memangnya jam berapa kau tidur?”
“ Jam 7.”
“ Hah? Jam
7? Masa, bisa terlambat bangun. Kau tidur sampai over dosis?”, katanya sedikit
bercanda. Aku tertawa kecil.
“Kau
nonton?”, lanjutnya penuh selidik.
“Iya.”,
jawabku berbohong. Aku tidak ingin mengatakan yang sebenarnya. Aku malu
penderitaan keluargaku diketahui orang lain. Sebenarnya aku sedikit percaya
pada wali kelasku ini. Tapi, belum siap rasanya aku bercerita. Biarkan saja
dulu. Tiba-tiba dia bertanya, “ Kau tau, aku sayang kamu?” Aku terperangah dibuatnya. “ Apa
kau tahu aku juga peduli padamu?” Aku mengangguk. Hampir saja setetes air
mataku meronta ke luar dari mataku yang tak berani ku adukan dengan tatapnya
yang teduh itu. Betapa ku membaca rasa cintanya dari setiap kata yang mengalir
dari mulutnya. “ Apa kau percaya padaku?”, lanjutnya penuh selidik. “I....iya,
Bu.” Jawabku terbata. “ Aku juga percaya bahwa kau tidak sengaja datang
terlambat. Apa aku boleh tahu alasan keterlambatanmu?,” tatapnya berwibawa. “
Aku nonton, Bu,” aku berbohong lagi.
“Apa jawaban itu pantas untuk orang yang kita
percayai?”, lanjutnya lagi.
Aku tertunduk semakin lesu. Aku merasa berdosa
telah membohongi wali kelasku ini. Lagi dan lagi.
“Ma...maafkan aku, Bu,” segera Ibu Resti
mengambil sebuah kursi, meletakannya di sampingku.
“Duduklah!”
“Terima
kasih, Bu.”
“Sekarang
ceritakan masalahmu padaku.”
Awalnya aku
agak ragu. Namun setelah membisu sejenak aku mulai mengisahkan perih yang ku
benamkan selama ini. Tak satu pun kata yang ku ucapkan terlewat dari
pendengaran Ibu Resti. Tampak dia begitu terhanyut oleh arus penderitaanku yang
rumit. Dia menarik napas berat. Seolah merasakan beban yang aku hadapi. Namun belum
sempat Ibu Resti berkata apapun, tiba-tiba guru bahasa Inggrisku muncul lagi
dengan wajah garang.
“ Saya sudah
bilang anak ini terlalu pemalas, penipu tapi Ibu masih bisa tangani dia dengan
senyum. Itu yang buat dia manja, seenaknya saja datang belajar. Dia kira nenek
moyangnya yang bangun sekolah ini mungkin”, sambarnya dengan nada yang keras.
Belum lagi semua kata yang mengalir deras bagaikan tembakan mitraliur itu,
semakin menyayat hatiku. Namun aku tetap tertunduk dalam diam.
“Itu lihat.
Masker saja tidak ada. Pasti sengaja lupa supaya dipulangkan tu. Dia pura-pura
tunduk tapi tipu itu. Pasti besok ulang lagi.” Sambungnya lagi tanpa ampun.
Rupanya belum puas kata-kata penghakiman itu.
“Cukup,
Ibu. Jangan diteruskan lagi.”, tiba-tiba Ibu Wali kelasku menyela datar.
“Cukup apa?
Saat mereka salah Wali kelasnya bela. Giliran sidang nilai dulu baru mulai mengemis
sudah.”, sambar guru Bahasa Inggrisku tidak kalah sengitnya.
“Saya
bilang hentikan, Bu. Kalau Ibu bisa urus sendiri, mengapa harus membawanya ke
sini? Usir saja dia dari sekolah ini sekalian, biar Ibu puas.”, meninggi suara
Wali kelasku tak bisa menahan sabar.
“Kalau Ibu
tidak pernah memberi dia kesempatan bicara, dari mana Ibu tahu masalah yang
dialaminya? Anak tidak butuh dimarahi saja, tapi didengarkan juga”, lanjut Wali
Kelasku seakan meluluhkan arogansi guru Bahasa Inggrisku itu.
“Ibu, kalau
Ibu merasa mampu menanganinya, mengapa Ibu membawanya padaku?”, balas Wali
kelasku dengan sedikit kesal.
“Saya bawa
ke sini untuk dihukum, supaya dia tobat.”,timpalnya sengit.
Dalam hati
aku merasakan perih yang dalam. Ya, aku melupakan masker ku karena terlalu
terburu-buru. Ada rasa bersalah berkecamuk dalam dada mendengar perseteruan
kedua guruku. Tak tahan air mataku menetes. Ku angkat wajahku mengulur tangan
pada wali kelasku yang sedang kesal itu.
“Maafkan aku,
Bu. Semua ini gara-gara aku, “ kataku dengan suara tertahan. Tak sadar derai
air mataku berguguran. Baru ku coba palingkan wajah ke guru Bahasa Inggrisku,
berniat berlangkah ke arahnya tapi beliau sudah palingkan wajah marahnya sambil
mencibir sinis.
“Mehan,
duduk.”, demikian cegah Wali kelasku melihat sikap guru Bahasa Inggrisku. Aku
menangis sejadinya. Kalau tak iba dan hormat aku pada Wali kelasku ini, aku mau
berlari keluar dari ruangan itu. Apalagi suasana semakin ramai. Beberapa guru
mulai datang dari zona belajar masing-masing dan mendengar keributan itu. Aku
lihat wali kelasku menyeka air matanya, entah karena kasihan padaku, atau
karena malu sudah bertengkar dengan teman gurunya demi aku.
“ Sudah,
Mehan. Tak usah menangis. Kami hanya bersalah paham. Nanti juga akan
baik.” Kata Wali kelasku seraya mengelus
punggungku dengan lembutnya. Ada kasih keibuan yang kurasakan mengalir dalam
darahku. Akhirnya, atas izinnya juga, aku diperbolehkan pulang untuk menenangkan
diri. Aku berlangkah lusuh melewati meja Bu Eta, guru bahasa Inggris ku yang
tampak tak mau peduli padaku.
“Ah, andai
ibu tahu, kalu aku sangat merindukan kebebasan. Aku rindu belajar tanpa beban.
Karena beban hidup ku di rumah sudah cukup berat. Namun, aku tak bisa
menghindari bahwa kesulitan ku di rumah akan selalu berdampak dalam
kegiatan belajar ku. Andai semua guru
pengertian seperti bu Resti, wali kelas ku itu, pasti aku akan merasa sedikit
merdeka. Hmm katanya..... Indonesia ini sudah merdeka selama 75 tahun, tapi aku
masih merasa terjajah. Kapan baru bisa merdeka yang sesungguhnya?
Anak punya rasa dan hati, jangan menghakimi tanpa bukti apalagi menghukum tanpa rasa. Mantap menuju merdeka belajar
ReplyDeleteterimakasih. merdeka
DeleteIyah.. Anak butuh tempat untuk bercurhat. . Kalau semua beban ia tanggung dengan usia yg masih belia, belajarnya pun akan tak beraturan. 😊 ceritanya sama seperti apa yang aku rasakan dulu. 😊👍
ReplyDeletemerdeka
Delete