GEREJA DAN POLITIK (Sebuah Tanggapan Terhadap Pemilu 2019)
Perlu diakui bahwa
salah satu peran sentral Gereja yaitu melayani politik dasariah manusia yaitu bonum commune. Gereja bukan institusi agama yang sentralistik atau
mementingkan diri sendiri melainkan eksistensi fundamentalnya yaitu demi
mewujudkan kerajaan Allah yang dalam konteks ini hadir melalui momentum politik
2019. Tujuan tersebut akan tercapai jika Gereja sungguh-sungguh menyadari bahwa
egoisme agama bukan menjadi jalan untuk membela diri melainkan akan mencoreng
konsep Gereja sebagai pembawa kesejukkan bagi banyak orang baik bagi Gereja
sebagai institusi agama maupun bagi Negara dalam konteks yang lebih luas.
Tantangan yang dihadapi
Gereja menjelang Pemilihan umum (pemilu) yaitu berkaitan dengan jadwal
pencoblosan yang terjadi pada 17 April 2019; sehari sebelum Kamis Putih. Jika
Gereja hadir sebagai institusi agama yang “angkuh” tentu saja jadwal yang
ditetapkan oleh KPU tersebut dinilai haram dan menuai gelombang protes tanpa
akhir bahkan mungkin secara “radikal” melalui demonstrasi tanpa diskursus. Hal
ini sudah mulai terbukti oleh adanya beberapa tanggapan kontra dari Gereja,
misalnya para Uskup Regio Nusa Tenggara pernah berupaya meminta pemerintah
untuk mengubah jadwal Pemilu karena bertepatan dengan perayaan Pekan Suci
(Indonesia.ucanews.com). Namun, upaya tersebut bukan sebuah “ancaman” terhadap
Negara melainkan perlu dilihat secara positif sebagai ekspresi kebebasan
berpendapat dan tanggung jawab terhadap sebuah keadilan yang mesti lebih serius
diperhatikan oleh Negara. Hasil akhir dari desas-desus isu kontroversial
tersebut yaitu Gereja secara tulus membuktikan kedewasaannya sebagai institusi agama
yang bukan hanya melayani Tuhan melainkan juga demi tercapainya bonum commune (pro Ecclesia et Patria).
Partisipasi
Politik Gereja
Menyimak situasi
politik 2019 yang sedikit mengganggu anggota Gereja dalam menyiapkan diri
menjelang perayaan paska, Gereja justru menjawab sebuah jalan tengah yang
sangat positif dan tentunya membanggakan. Tanggapan kontra dari beberapa tokoh
Gereja bukan menjadi bukti egoisme Gereja secara mutlak melainkan memberikan
angin segar dalam konteks relevansi agama (kristen) dan politik. Relevansi Gereja
dan negara bukan mendatangkan konflik biner melainkan mengonstruksi hubungan
harmonis demi mencapai sebuah solusi terbaik dan selanjutnya Gereja telah membuktikan
itu. Partisipasi politik Gereja sudah tampak secara positif ketika gelombang
protes tidak dilegalisasi untuk menggagalkan jadwal Pemilu yang ditetapkan oleh
KPU, melainkan menyerahkan diri seutuhnya sebagai tanda Gereja sangat
menghormati Negara. Gereja tentu sangat memahami situasi politik 2019 sehingga
memilih untuk lebih netral dan bukan merangsang bangkitnya sebuah konflik yang
menuai perdebatan mubazir yang merugikan banyak orang, sebab agama adalah
institusi damai bukan sebaliknya memproduksi kekacauan masif. Artinya, di
hadapan Negara, Gereja sangat serius merealisasikan ketaatannya sebagai warga
negara yang rasional dan memahami jalan terbaik dalam membangun masyarakat
khususnya pada momen tapal batas Pemilu demi menciptakan demokrasi yang
menjamin kebaikan umum. Tujuan bonum comunne mesti dilihat sebagai nilai
tertinggi di hadapan Gereja dan Negara, maka untuk sampai pada harapan
tersebut, Gereja mesti tetap waras dan dewasa membaca konteks politik. Bonum
commune bukan semata-mata tanggung jawab Negara melainkan juga sumbangan
positif dari Gereja sangat menentukan arah politik yang positif demi masa depan
terbaik. Hal tersebut mengandaikan Gereja menampilkan diri sebagai institusi
agama yang rendah hati dan aktif mewartakan wajah Kristus yang tidak sombong.
Refleksi
Bersama
Walaupun Gereja
terkesan “Kalah” dalam memberikan aspirasi, bukan berarti Negara seenaknya
menentukan Undang-Undang secara egosentris. Kerendahan hati Gereja dalam
menanggapi Pemilu 2019 mesti lebih serius dilihat sebagai bahan positif untuk
direfleksikan secara bersama baik Gereja maupun Negara bahwa relevansi positif
dan harmonis adalah jalan lurus untuk menjamin bonum commune.
Pascakonsili Vatikan II, Gereja secara sadar merefleksikan sebuah model ideal
membangun dunia. Dunia yang diimpikan yaitu mulai membangun kerja sama dengan
institusi di luar Gereja baik itu agama lain maupun Negara sebagai institusi
yang mutlak diperlukan kehadirannya. Sebelumnya, Gereja melalui Paus Leo XIII
sudah mulai merancang strategi baru yang lebih terbuka melalui Aeterni Patris yang membuka pintu bagi Gereja untuk berdemokrasi (Bevans,
Terj. Florisan, 2013). Menurut saya, demokrasi yang dimaksudkan di sini bukan
hanya secara intern melainkan juga ekstern yaitu partisipasi politik.
Selanjutnya, Gereja katolik dari waktu ke waktu selalu merefleksikan dan
membaharui diri dalam menggapai perkembangan dunia. Maksud penulis ialah bahwa
sebuah solusi bisa tercapai secara baik dalam kurun waktu yang terus berlanjut
jika Gereja maupun Negara selalu merefleksikan dirinya. Paus Pius XII, dalam
pesan Natal 1994 menyerukan kepada semua orang yang berkehendak baik agar
perdamaian dunia didasarkan pada hormat terhadap Hak-Hak Asasi Manusia bahkan
ensiklik Cantesimus Annus mengajarkan dukungannya kepada Negara
demokrasi karena dengan itu Gereja bisa aktif berpartisipasi dan mengontrol
politik. Dalam konteks tulisan ini, kedua institusi tersebut mesti bersama-sama
merefleksikan sumbangannya bagi kemaslahatan masyarakat luas. Hal ini bisa
tercapai jika masing-masing institusi tidak angkuh atau melihat diri sebagai
yang paling benar dalam menentukan arah politik yang sesungguhnya. Gereja tetap
membutuhkn Negara, demikian juga sebaliknya. Ide pokok Habermas sangat laris
dalam konteks seperti ini yaitu diskursus rasional. Penafsiran- penafsiran
egosentris agama maupun Negara mesti dirombak dan direvisi secara kontekstual
dan rasional sebab jika tidak, Gereja dan Negara akan selalu bertarung dalam
memaparkan idealismenya secara ekslusif tanpa memerhatikan argumentasi pihak
luar yag mungkin lebih substantif.
Belajar dari Jadwal
Pemilu 2019 yang sudah ditetapkan oleh KPU, bukan berarti memberi gambaran
bahwa Negara adalah institusi mutlak dalam mengambil sebuah kebijakan melainkan
juga mesti mendengarkan pihak lain. Momentum Pemilu 2019 menjadi bukti bahwa
Gereja dan Negara sagat harmonis dan saling mendukung. Gereja tidak merongrong
Undang-Undang yang diciptakan secara sepihak oleh Negara walaupun terkesan
tidak adil tetapi juga Gereja tetap menuntut tanggung jawab Negara untuk
belajar dari pengalaman tersebut. Artinya, momentum politik kali berikut mesti
dievalusasi secara matang sebelum menentukan sebuah aturan sehingga tidak
mengganggu Gereja dalam menjalankan perayaan keagamaan sebab Gereja adalah
bagian resmi dari Negara. Nafsu politik tidak boleh mengorbankan agama dan
sebaliknya ajaran teologis Gereja harus tetap menghormati kebenaran lain yaitu
Negara sehingga tidak terjadi benturan atau ingin menang sendiri.
(Oleh Admin)