Tabu bagi Masyarakat Kampung Hobamatan, Desa Mahal 1, Kedang
Seperti suku-suku yang lain,
suku kedang pun memiliki banyak
larangan yang diwariskan sejak dahulu dan masih dipertahankan hingga kini.
Masyarakat suku ini memercayai bahwa setiap larangan merupakan hal yang sakral
sehingga tidak bisa dibantah. Suku kedang
sendiri meliputi kurang-lebih 44 kampung dan yang menjadi sentral dalam tulisan
ini ialah masyarakat kedang yang mendiami kampung Hoba’matan, Desa Mahal 1, Kecamatan
Omesuri, Kabupaten Lembata.
Konsep tentang tabu menurut masyarakat Desa Mahal 1, merupakan norma yang bernilai tinggi sebab memiliki sumbangan fungsi bagi kehidupan mereka. Tabu dalam bahasa kedang disebut puting ireng. Istilah ini sebenarnya terdiri atas dua kata yang berbeda arti. Puting merupakan kata larangan yang biasanya ditujukan kepada semua orang dan tidak dibatasi oleh jangka waktu tertentu. Sedangkan ireng merupakan kata larangan (haram) yang menegaskan maksud dari kata puting.
Misalnya, puting hengan atau tidak mengonsumsi jagung titi maka orang tersebut akan disebut ireng hengan atau dia dilarang makan jagung titi karena jenis makanan tersebut haram baginya. Ireng juga mau menegaskan jenis-jenis makanan atau benda-benda lain yang harus dihindari oleh orang yang sedang puting.
Untuk menegaskan bahwa larangan yang dimaksud memiliki nilai penting dan harus ditaati, maka dua kata di atas diintegrasikan menjadi kata puting ireng yang secara implisit memiliki makna larangan yang sangat radikal. Jika melanggar, risiko negatif akan menimpah pelanggar.
Suku Pitu Lelang Leme di Kampung Hoba’matan
Kampung Hoba’matan dihuni oleh beberapa suku/klan. Persatuan semua suku ini disebut suku pitu lelang leme. Adapun nama suku-suku tersebut ialah Hoba’matan, odel wala, orolaleng, lobe’mato, peu uma, peu obu’, Botung Raba dan Umen Ebon. Namun, secara administratif, suku-suku tersebut sudah terbagi dalam dua Desa. Misalnya, anggota dari suku odel wala, peu uma, peu obu’, oro laleng, umen ebon sudah terbagi dalam wilayah Desa Mahal 1 dan 2.
Walaupun demikian, secara adat, suku-suku tersebut tetap masuk dalam wilayah kampung Hobamatan yang disahkan dengan konsep suku pitu Lelang leme. Perlu juga diketahui bahwa, suku Botung Raba dan Umen Ebon sesungguhnya memiliki kampung lama (dasar berdirinya suku) bukan terdapat di kampung Hobamatan, maka mereka disebut sebagai Tude’ Erung Pai’ la’ atau sahabat yang datang ke Hobamatan untuk mengolah tanah demi kehidupan. Hal ini bisa berdasarkan faktor kekeluargaan, persahabatan dst.
Pada mulanya, desa Mahal 1 dan 2 digabung menjadi desa Mahal. Kata Mahal merupakan akronim dari Matan Lama Mangan, Hapu Lama Boleng. Ungkapan tersebut diambil dari bahasa sakral milik dua suku besar – secara kuantitas – yaitu suku Hoba’matan dan Leu Hapu. Namun, seturut perkembangan jumlah penduduk, Desa Mahal kemudian dimekar menjadi Mahal 1 dan 2.
Ada beberapa suku yang masuk secara administratif dalam Desa Mahal 1 yaitu: orolaleng, odel wala, leu ape, peu uma, peu obu’ botung raba dan Hoba'matan. Khusus untuk suku Leu Ape, secara adat/suku pitu lelang leme, termasuk dalam kampung Leu Hapu yang meliputi tiga suku yaitu E’a Pu’en (Puken Lama Duli), Leu Hapu (Hapu Lama Boleng), Leu Ape (Kape Lama Bura’). Sedangkan suku lainnya, secara adat masuk dalam Kampung Hobamatan yang meliputi Riang Bao (Secara administratif masuk desa mahal 2) dan mahal 1 secara keseluruhan.
Tulisan Ini menggambarkan tabu bagi masyarakat kampung Hobamatan, yang kini masuk dalam wilayah Desa Mahal 1.
Ø Pengertian Budaya
Menurut koentjaraningrat, kebudayaan merupakan keseluruhan sistim gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dimiliki manusia dengan cara belajar. Kebudayaan dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu, budaya nasional dan budaya lokal. Budaya nasional adalah salah satu budaya daerah yang paling menonjol dalam suatu negara. Budaya lokal merupakan segala macam adat dan tradisi yang menyatukan sekelompok manusia yang menetap pada suatu wilayah tertentu, serta mempunyai kekhasan, seperti suku, bahasa, agama tradisional, serta ikatan dengan leluhur.[1]
Semua pengertian budaya di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya merupakan salah satu bagian penting dalam kehidupan masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun dan menjadi kekhasan yang dibanggakan atau diterima oleh suku atau sekelompok manusia tertentu. Budaya tidak terbatas pada satu kekhasan tertentu tetapi memiliki banyak kekayaan yang menjamin kehidupan masyarakat sehingga masih dipertahankan. Salah satu kekayaan budaya yang masih dipertahankan oleh masyarakat yaitu konsep tentang tabu atau larangan.
Pantang atau tabu
(taboo) berasal dari bahasa polinesia (orang-orang yang tinggal di pulau-pulau
tengah di samudra pasifik: Hawai-Selandia Baru) yang berarti larangan.[2]
Tabu Dalam Pandangan Orang
Hoba’matan
Sebagaimana telah dibahas di atas, Masyarakat Hoba’matan sangat konservatif untuk menjaga norma sosial (tabu) yang diwariskan leluhur kepada mereka. Alasan yang mendukung penjelasan ini ialah bahwa warisan berupa norma sosial memiliki manfaat yang masih aktual sehingga tidak mampu dieliminasi oleh norma modern yang penuh dengan kebebasan. Untuk mengkonkretisasi hubungan antara Masyarakat Hoba’matan dengan tabu yang diwariskan oleh leluhur, maka penulis membaginya menjadi beberapa jenis tabu dan fungsinya bagi kehidupan mereka.
Puting talu merupakan sebuah istilah khusus yang ditujukan hanya kepada orang-orang tertentu. Talu merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut benda-benda khusus yang diyakini memiliki kekuatan gaib, misalnya talu beru (bentuknya seperti kelereng) atau wa’ (bentuknya seperti batu). Benda-benda ini secara ajaib ditemukan oleh orang yang bersangkutan melalui pengalaman mistis, misalnya melalui petunjuk dalam mimpi atau dengan sendirinya ditemukan di dalam kamar, saku baju atau di dalam dompet.
Melalui penemuan benda-benda ini, orang yang bersangkutan dipercayakan
langsung oleh leluhur dan wujud Tertinggi untuk puting talu. Maksudnya, dia diberi tugas oleh leluhur untuk menjadi
dukun atau kepala suku sehingga harus ireng
beberapa jenis makanan atau benda-benda lain. Irengyang harus ditaati ialah
tidak menjadikan kayu bakar dari pohon kemiri untuk memasak makanan juga masih
banyak yang lain.
Tabu (seterusnya puting) ini hanya ditujukan kepada kaum laki-laki dalam satu suku tertentu dan biasanya hanya untuk laki-laki sulung. Artinya, dia disebut puting talu bukan karena kemauan sendiri melainkan karena kemauan dari leluhur. Puting talu merupakan sebuah warisan dari leluhur dan tidak akan punah.
Warisan semacam ini harus ditaati secara mutlak oleh orang yang bersangkutan karena mempunyai pengaruh bagi orang tersebut. Jika dia melanggar kepercayaan itu, ia akan menerima risiko negatip yang datang secara alamiah. Misalnya, secara mendadak seluruh tubuhnya akan berubah menjadi luka-luka bernanah atau menjadi orang gila yang mandatangkan kecemasan bagi orang lain. Dampak fatal jika dia menjadi orang gila ialah, dia bisa membunuh anggota keluarganya.
Untuk mendamaikan orang tersebut dengan leluhur, maka harus diadakan sebuah ritual yang disebut pui’ bita batong hoko atau topun buhu’. Ritual ini dilakukan oleh seorang laki-laki dengan meludahkan sirih-pinang kepada orang tersebut mulai dari dahi, pipi, dagu, belakang, pusat, lengan, siku, pergelangan tangan, dan ujung jari tangan. Selain itu, pada bagian lutut, pergelangan kaki, dan ujung jari kaki. Sebelum diadakan ritual ini, sirih dan pinang disimpan di luar rumah selama satu malam. Selain ritual topun buhu’ bisa diadakan ritual teme’ talu yaitu merendam benda talu beru dalam segelas air putih lalu diminum oleh pelaku.
Puting wula loyo jika diterjemahkan artinya larangan bulan dan matahari. Puting jenis ini merupakan larangan yang sangat keras bagi suami dan istri yang lahir dari satu rahim atau incest. Menurut pandangan orang kedang, wula dan loyo merupakan dua dewa yang bersaudara sekaligus selalu bermusuhan.
Puting Wula loyo ditujukan bagi semua orang kedang khususnya yang menetap di kampung Hoba’matan. Semua laki-laki maupun yang perempuan dilarang untuk menikah incest karena akan mendatangkan mala petaka misalnya, keturunan mereka akan mengalami kecacatan fisik dan mental atau mandul.
Jika pasangan suami-istri melanggar aturan ini maka mereka harus melakukan ritual poan tun toba’ (upacara tobat). Upacara ini dilakukan oleh seorang dukun besar (molan rian) dengan hewan korban yaitu babi atau kambing. Pasangan yang melakukan ritual ini memohon pengampunan dari Amo Nimon Rian Arin Bara’ Hura’ Nimon Harang Wala (Tuhan pencipta yang maha besar) sekaligus memohon rahmat keturunan.
Oka merupakan nama sejenis tumbuhan yang diyakini oleh orang kedang memiliki kekuatan gaib. Menurut keyakinan populer di Kedang, oka pada mulanya adalah seorang manusia. Dia tidak memiliki keturunan sehingga ketika meninggal dunia di atas kuburnya tumbuh sejenis tumbuhan yang disebut oka bareno.
Orang kedang khususnya Hoba’matan yakin bahwa oka memiliki kekuatan gaib yaitu bisa menembak manusia yang melintas di tempatnya apalagi membuang air besar atau kecil. Puting oka ditujukan kepada semua orang. Oka biasanya terdapat di daerah pinggir pantai. Tumbuhan ini tumbuh berkelompok pada satu tempat tertentu dan semua orang dilarang untuk masuk ke tempat ini kecuali meminta izin terlebih dahulu.
Orang yang melanggar larangan ini akan ditembak secara ajaib oleh oka sehingga kemungkinan besar ia akan terkapar tidak sadarkan diri seperti teroris yang ditembak oleh tentara. Jika orang yang sudah terkena tembakan oka tidak segera dibawa ke dukun atau orang-orang tertentu yang memiliki potensi meyembuhkan, maka orang tersebut pasti akan meninggal dunia.
Adapun proses untuk menyembuhkan pelanggar yaitu meminta bantuan dukun atau orang-orang khusus untuk menyampaikan permohonan maaf kepada tumbuhan oka. Setelah itu, mereka meminta izin kepada oka untuk mencabut akarnya sebagai obat untuk menyembuhkan pelanggar. Orang-orang khusus ini akan mengunya akar tumbuhan oka selanjutnya menempelkan pada bagian yang terkena peluru oka. Perlu diketahui juga bahwa oka merupakan tumbuhan yang menjaga keamanan seluruh wilayah kedang khususnya Hoba’matan sehingga orang sangat takut jika berbicara tentang oka apalagi melewati lokasinya.
Ø Puting Neda
Disebut puting neda karena berkaitan dengan hubungan atau relasi antara manusia dengan jin penghuni air. Puting neda berarti tidak mengambil barang-barang milik neda atau jin air. Barang-barang tersebut bisa berupa emas, uang, kelereng, cincin, ataupun barang-barang lain yang menarik mata setiap orang yang memandangnya. Puting ini ditujukan kepada semua orang tanpa terkecuali.
Orang Hoba’matan percaya bahwa neda merupakan jin yang suka menggoda atau menipu manusia sehingga dia meletakkan barang-barang tersebut di pinggir mata air untuk mengelabui manusia. Jika setiap orang yang melihat barang-barang tersebut dan bernapsu untuk mengambilnya maka dia akan jatuh sakit hingga berujung meninggal dunia.
Orang Hoba’matan percaya bahwa sang korban telah menjadi milik neda karena sudah dibayar oleh neda melalui barang-barang tersebut yang merupakan belis dari neda. Jika dia sakit atau meninggal dunia berarti dia telah “berhubungan seks” dengan jin air. Oleh karena itu harus segera disembuhkan melalui ritual poan neda.
Ritual ini biasanya dilakukan dibawah pohon rita dan dipimpin oleh seorang dukun atau molan. Isi dari ritual ini bermaksud untuk ame’ neda atau berpamitan secara sopan dengan neda. Selain itu, bermaksud untuk meminta maaf kepada neda sembari meminta izin untuk mengambil kembali sang pelaku dari kekuasaan neda.
Ø Puting Weru
Puting weru berasal dari kata werun artinya baru. Puting ini berkaitan dengan budaya ka weru atau makan jagung muda; jagung yang masih baru. Puting ini ditujukan hanya kepada beberapa orang (laki-laki) dalam satu suku tertentu di kampung Hoba’matan. Mereka dilarang untuk mengonsumsi jagung muda pada musim panen bersama orang-orang lain.
Artinya, pada musim panen jagung muda, hanya orang yang tidak puting weru yang secara bebas menikmati jagung muda, sedangkan mereka memiliki jadwal khusus untuk mengonsumsi jagung muda. Jadwal yang dimaksudkan adalah setelah musim panen sehingga mereka harus menanam jagung pada akhir musim hujan. Mereka baru bisa mengonsumsi jagung pada pesta ka weru atau makan jagung baru. Jika puting weru dilanggar maka konsekuensi destruktif yang akan menimpah para pelaku ialah, diserang penyakit bisul atau lebih ekstrim menjadi orang gila.
Untuk menyembuhkan jenis penyakit ini, harus diadakan ritual buhu’ ue mal. Ritual ini sama dengan ritual penyembuhan dalam puting talu yaitu mengunya sirih dan pinang lalu diludahkan oleh dukun kepada pelaku.
Ø Puting Ahar
Puting ahar ditujukan kepada kaum perempuan khususnya istri dari kaum laki-laki yang sedang puting talu. Artinya, puting talu (laki-laki) memiliki hubungan dengan puting ahar untuk perempuan. Jika seorang suami puting talu, istrinya harus puting ahar. Para istri yang dimaksud dilarang untuk mengonsumsi daging kambing dan beras putih. Jika melanggar, mereka akan diserang penyakit rematik pada tubuh sehingga mereka mengalami kesulitan untuk bergerak khususnya berjalan.
Proses untuk meyembuhkan para pelaku yaitu melalui ritual buhu’ ue mal seperti yang dilakukan pada proses penyembuhan dalam puting talu. Mengunya sirih dan pinang lalu diludahkan oleh seorang dukun kepada sang pelaku.
Ø Puting Hengan
Puting hengan artinya sebuah larangan untuk mengonsumsi jagung titi pada saat penguburan jenazah dari anggota suku Leu ape. Puting ini sebenarnya hanya berlaku bagi anggota suku leu ape tetapi sekarang sudah dilarang untuk semua orang yang terlibat pada penguburan jenazah yang berasal dari suku tersebut. Artinya, pada saat ada orang dari suku leu ape meninggal dunia, semua partisipan yang diundang hadir dilarang untuk membawa jagung titi ke tempat duka.
Jika ada orang, baik yang berasal dari suku leu ape maupun suku lain yang hadir di tempat duka mengonsumsi jagung titi, maka dampaknya akan menimpah anggota suku leu ape.
Dampak yang dimaksudkan yaitu anggota suku leu ape akan meninggal dunia secara bertahap atau yang dikenal dengan istilah uan bunga, uhe bunga artinya mereka akan punah (suku leu ape). Oleh karena itu, harus diadakan ritual roho tuan untuk meminta ampun kepada leluhur. Ritual ini merupakan sebuah tanda tobat atau meminta maaf kepada leluhur.
Pelaku yang bersangkutan akan menyiapkan tua’ dan nuta’ (atau tuak putih dan sarung adat yang biasa dibentangkan pada tubuh jenazah) sebagai ganti atau denda atas kesalahan yang telah mereka lakukan. Seorang dukun akan mengangkat sarung adat dan memberi tuak kepada leluhur sambil memohon ampun kepada laluhur agar suku leu ape tidak punah.
Ø Puting Tun I’a Turin
Puting tun i’a turin berarti larangan untuk membakar ikan kering pada hari duka atau pada saat seorang anggota dari suku leu ape meningggal dunia. Puting ini merupakan kelanjutan dari puting hengan di atas sebab dilarang pada waktu dan suku yang sama. Orang leu ape maupun para partisipan yang hadir pada saat seorang anggota suku leu ape meninggal dunia dilarang untuk membakar ikan kering karena berkaitan dengan asal-usul nama suku tersebut. Diceritakan oleh Amo Pulang Lewo bahwa nama suku leu ape berarti kampung kapas.
Nenek moyang mereka pernah menanam tumbuhan kapas tatapi dilahap habis oleh api sehingga mereka dilarang untuk membakar ikan kering sebab akan mengakibatkan kepunahan anggota suku leu ape. Jika ada yang hendak membakar ikan kering maka harus dilakukan di tempat lain atau bukan di rumah milik suku leu ape dan tidak boleh diketahui oleh anggota suku leu ape.
Jika ada yang melanggar, akan diadakan ritual roho tuan atau penyesalan oleh seorang dukun mewakili anggota suku leu ape. Pelaku menyediakan tuak putih dan sehelai kain adat kedang (atau Nuta’ yang biasa dibentangkan pada tubuh jenazah) sebagai bukti denda untuk membayar kesalahan yang telah ia buat, sambil memohon kepada Tuhan dan leluhur agar anggota suku leu ape tidak punah.
Catatan Kritis
Melihat semua jenis tabu yang telah diulas di atas, sejenak terlihat sangat negatip dampaknya bagi masyarakat Hoba’matan, namun di balik semua fakta ini tersimpan hal menarik yang perlu dipertahankan. Hemat saya tabu yang masih dipertahankan oleh orang Hoba’matan memiliki nilai positip bagi kebebasan mereka dalam membangun relasi dalam kehidupan bermasyarakat maupun dengan alam lingkungan. Sebenarnya, warisan leluhur semacam ini mau menegaskan kepada mereka untuk mengontrol kehendak bebas mereka sebagai manusia.
Jika tidak ada tabu yang diberlakukan maka mereka akan menggunakan kehendak bebas mereka tanpa memerdulikan orang lain dan alam sekitar. Nilai positip lain yang perlu digali dalam budaya puting ireng ini ialah hukum kausalitas dalam hidup bersama. Jika tanpa satu hukum timbal-balik yang mengatur kehidupan mereka, tentu saja semua yang diwariskan leluhur akan punah. Tujuannya supaya semua ajaran sakral dari leluhur tetap dijaga keawetannya. Selain itu, nilai ini bermaksud untuk mengajarkan kepada mereka tentang arti ketaatan dan hukuman bagi yang keras kepala.
Hal lain yang saya soroti dalan catatan kritis ini mau menegaskan bahwa warisan leluhur itu bermanfaat jika berguna bagi kelangsungan hidup mereka di zaman ini sehingga tetap bertahan dan sudah terbukti bahwa masyarakat Hoba’matan masih mencintai aturan yang telah diwariskan leluhur kepada mereka. Artinya, mereka tetap melihat tabu sebagai aturan yang baik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, leluhur dan alam sesuai dengan batasan-batasan klasik dalam budaya puting ireng yang masih produktif hingga kini. Jika tabu tidak bermanfaat, mungkin sudah punah dimakan oleh waktu.
Penutup
Semua yang berkaitan dengan budaya tidak terlepas dari makna aslinya yaitu ‘buddhi’ dan ‘daya’, artinya semua yang diwariskan merupakan hasil dari aktivitas manusia yang sudah dipertimbangkan secara rasional. Budaya tabu yang dilahirkan oleh orang Hoba’matan merupakan sesuatu yang dihasilkan secara alamiah tanpa terkontaminasi dengan perkembangan zaman. Mereka tetap memertahankan budaya tersebut karena ada nilai positip yang menyentuh hidup mereka.
Jika tidak ada nilai positip, tentu akan ditolak secara spontan atau tidak bertahan lama. Namun, fakta membuktikan bahwa budaya tersebut tetap diwariskan karena mampu mengatur alur kehidupan mereka dalam berelasi dengan Tuhan, leluhur, sesama, dan alam lingkungan.
Selain itu, aturan tabu yang diwariskan leluhur sudah dipertimbangkan sehingga tidak melebihi kemampuan manusia atau orang yang sedang puting. Hal ini mengafirmasikan bahwa relasi antara leluhur, alam, Wujud Tertinggi dan manusia selalu berjalan normal jika aturan-aturan yang ada dalam suatu kebudayaan tertentu tetap dipegang teguh sebagai modal, kekhasan dan sesuatu yang perlu dibanggakan.
Akhirnya, di mana pun kita hidup selalu ada aturan yang berlaku termasuk dalam budaya kita masing-masing. Jika tidak ada aturan yang berlaku tentu kehidupan kita akan berjalan tanpa orientasi yang pasti. Budaya puting ireng yang diproduksi oleh orang Hoba’matan memberikan contoh yang pas sesuai dengan konteks kehidupan kita, baik sebagai warga negara, umat beragama maupun manusia yang berbudaya.
Oleh Rian Odel
Daftar Pustaka
Pidjiastiti, Puline. Sosiologi Kelas xi. Jakarta: Gramedia, 2007.
Wangge, Patrick. “Pire Mitan, Pantang Bagi Nitu Orang sikka-Krowe.” Warta Flobamora 58/3-5 Desember 2017.
Datenutur, Rilly. Wawancara per telepon seluler, 10 Februari 2018.
Odel, Leonardus Leu. Wawancara per telepon seluler, 13 Februari 2018.
Leu ape, Pulang Lewo. Wawancara per telepon seluler, 16 Februari 2018.
Molan Amo Hola dan Bapak Rafael sorong Hobamatan.
Wahhhh keren,,,Kaka hebat...👏👏
ReplyDeleteterimkasih ya
DeleteWah, Saya bisa belajar dari sini.
ReplyDeleteTetao Semangat ngeblog!
terimakasih kawan.
Delete