Siapa yang Sebar Hoaks? Tanggapan untuk Pieter Bala Wukak
Setelah Eliaser Yentji
Sunur, bupati definitif Kabupaten Lembata pergi menghadap Tuhannya, publik
Lembata merasa ada hembusan udara segar yang datang dari sosok Thomas Ola
Langoday selaku Plt. Bupati Lembata. Publik Lembata mulai bebas bicara,
termasuk para elit yang pernah satu meja makan dengan Yentji Sunur.
Walaupun terkesan
mengambil posisi diam ketika Yentji Sunur masih berkuasa mutlak, Thomas Ola
ternyata adalah sosok yang tegas. Hal ini, terlihat jelas usai Covid-19
merenggut nyawa Yentji Sunur, bupati kontroversial itu. Membaca “ surat cinta” balasan
kepada warga Lembata diaspora, Justin Laba Wejak, spirit baru dalam memperbaiki
carut-marut Lembata mulai terasa pada sosok Thomas Ola – apakah Yenji Sunur pernah
terbuka seperti Thomas Ola?
Memperbaiki birokrasi
yang selama kepemimpinan Yentji Sunur terkesan “asal tempel,” mulai
mamanfaatkan Rumah Jabatan Bupati Lembata yang ditinggalkan begitu saja oleh
Yentji Sunur – jangan lupa ada cerita hitam terkait sumur di rumah tersebut –
adalah beberapa bukti bahwa Thomas Ola memiliki kemauan kuat untuk memperbaiki
Lembata.
Mestinya, spirit
seperti ini didukung oleh semua elemen, khususnya DPRD Lembata, bukan dengan
alasan infantil menjebaknya untuk berhadapan dengan Polisi sebagaimana sedang
direncanakan oleh Pieter Bala Wukak bersama partai Golkar, partai yang
mengantar Yentji Sunur menjadi bupati – dengan hasil proyek mangkrak?
Terlihat perbedaan
strategi dalam melayani masyarakat antara alm. Yentji Sunur dengan Plt. Bupati
Lembata saat ini. Yentji Sunur, terlihat dari rekam jejaknya selama menahkodai
Lembata telah melahirkan banyak kontroversi di tengah publik. Yentji Sunur
juga, menurut saya adalah bupati yanng tertutup, tidak demokratis dan
menahkodai Lembata sesuai kenikmatan pribadi.
Coba anda bayangkan, bagaimana
proses awal, perencanaan pembangunan proyek raksasa yang bernama Jeti apung
Awololong? Apakah Yenji Sunur, terbuka mendengar aspirasi masyarakat kritis,
apakah ada AMDAL? Apakah ia pernah menanggapi secara bijak perjuangan mahasiswa
(Ampera Kupang-Front Mata Mera) yang berjuang dengan tulus demi kebenaran di
balik kasus tersebut?
Selain itu, rumah
jabatan Bupati Lembata yang terletak di tengah kota, oleh Yentji Sunur dianggap
tidak layak huni. Padahal, jika dilihat secara kasat mata rumah sakral orang
Lembata tersebut masih sangat layak huni, apalagi diperbaiki bentuk fisiknya.
Namun, fakta bicara
lain sesuai keinginan pribadi sang bupati. Ia memilih untuk menetap di rumah
ternyaman yang jauh dari pemukiman masyarakat, dengan bentuk fisik layaknya
istana raja. Kuma resort nama istana tersebut. Lebih kejam lagi, uang rakyat
dipakai untuk menyewa istana pribadi tersebut. Hal inilah yang mendorong salah
seorang putra terbaik Lembata, Ansel Deri, menulis surat terbuka untuk
mengungkapkan keresahan dirinya juga keluh kesah masyarakat Lembata.
Apalah daya, surat
tersebut, tak mendapat respons balasan dari sang penguasa. Hal ini berbeda
dengan sosok Thomas Ola. Ia sangat terbuka terhadap semua aspirasi dalam bentuk
apa pun. Oleh karena itu, Bupati Yentji Sunur, menurut saya bukanlah sosok
pelayan sejati!
Walaupun, ia sudah
meninggalkan Lembata untuk kekal, kita perlu belajar padanya – yang baik kita
pertimbangkan, yang buruk mesti tetap dikritisi. Sebab, sudah pasti akan ada
penerusnya yang dapat ditemukan dalam diri para politisi bunglon.
Politisi jenis itu akan
selalu membela perbuatan almarhum Yentji seratus persen walaupun terlihat jelas
ada banyak kesalahan. Dengan alasan sealiran partai, politisi yang membelanya
hilang nurani dan nalar kritisnya. Masyarakat Lembata mesti terus mengontrol
karakter politisi bunglon ini.
Siapa
yang Sebar Hoaks
Rocky Gerung pernah
bilang, penyebar hoaks terbaik adalah pemerintah. Artinya, para elit pemerintah
atau politisi memiliki potensi bicara hoaks lebih dominan. Hoaks untuk
sejahterakan rakyat, hoaks dalam bentuk proyek mangkrak, hoaks terkait kantor
camat dan seterusnya. Ini beberapa contoh hoaks yang bisa kita temukan di
Lembata.
Nah, terkait hoaks ini,
kini viral, berita bahwa partai Golkar
akan polisikan Thomas Ola terkait pernyataan honor Bupati Lembata. Berita yang
dimuat pada viktorynews.id mengingatkan saya pada nasib beberapa warga Lembata
yang pernah dilaporkan oleh alm. Yentji Sunur dan Pieter Bala Wukak ke Polres
Lembata usai demonstrasi di Peten Ina.
Menurut saya, kebiasaan
melapor ke pihak kepolisian oleh seorang politisi adalah sebuah strategi
membungkam suara-suara kritis masyarakat. Politisi yang “cengeng” seperti ini
tidak memberikan nilai positif untuk proses demokratisasi di sebuah daerah yang
kita sebut Lembata.
Kebiasaan buruk semacam
ini akan membuat rakyat tertekan dan takut mengekspresikan suara kritisnya. Mestinya,
suara kritis masyarakat ditanggapi pula secara kritis dan bijak berdasarkan
validitas data oleh para elit agar sebuah masalah yang menjadi polemik bisa
final diselesaikan, bukan menciptakan persoalan baru.
Pieter Bala Wukak,
mantan orator demontrasi yang kita kenal sangat tajam suara kritisnya tempo
dulu, kini berencana lagi bersama partai Golkar akan polisikan Thomas Ola
gara-gara peryataan sepele. Menurut Bala Wukak sebagaimana berita pada victorynews,
pernyataan Thomas Ola adalah vitnah dan hoaks.
Pertanyaannya; apakah
Thomas Ola sedang menyebarkan hoaks atau justru peryataan Pieter Bala Wukak-lah
sebenarnya adalah hoaks sesungguhnya? Mari kita lihat.
Sesungguhnya, pemimpin
yang berjiwa melayani adalah ia yang tidak mementingkan kekayaan pribadi
termasuk honor bernilai fantastis. Ia mesti tahu diri dan merasa malu jika
jumlah honor tidak sinkron dengan kualitas pelayanannya terhadap publik. Justru
karena itu, ketika ditanya, apakah Thomas Ola akan menerima honor sebesar 408
juta per bulan, ia menolaknya. Sebab, honor sebesar itu terlalu memboroskan
anggaran.
Honor fantastis
tersebut sudah lama menjadi polemik di tengah masyarakat Lembata. Namun, kebenarannya
– apakah diterima atau tidak oleh Yentji Sunur tidak pernah diinformasikan
secara jelas kepada publik.
Akibatnya, polemik
tersebut terus berlanjut hingga sekarang. Ini salah siapa? Menurut informasi
mutakhir bahwa honor tersebut tidak pernah diterima oleh almarhum setelah
dikaji ulang bertolak dari polemik masyarakat. Namun, anehnya, perubahan besaran
honor tersebut dirahasiakan seolah-olah itu adalah harta warisan nenek moyang
mereka.
Ketika Thomas Ola
menyinggung soal ini, Pieter Bala Wukak bersama partai Golkar lagi-lagi ingin
menempuh jalur hukum. Ini langkah infantil, cengeng dan tidak memberikan
edukasi politik secara baik untuk masyarakat.
Sebenarnya sederhana,
Pieter Bala Wukak bersama Golkar cukup memberikan klarifikasi valid jika tidak
puas dengan pernyataan Thomas Ola, bukan mempolisikannya. Bala Wukak bersama
Golkar mesti bersyukur karena Thomas Ola mulai memperbaiki Lembata setelah
ditinggalkan oleh atasan mereka, Yentji Sunur. Perubahan besaran honor yang
dirahasikan selama ini adalah sebuah kesalahan besar para elit, sebab mereka
telah membiarkan masyarakat menikmati sebuah berita yang tidak valid.
Para elit membiarkan
masyarakat berdebat 24 jam terkait honor, masyarakat terus bingung, terombang-ambing,
terpecah-belah, pro-kotra, saling sikut dan para elit duduk menertawakan mereka
dari atas tower kekuasaan.
Maka, kita mesti
berterima kasih kepada Thomas Ola yang membuka kembali rahasia tersebut. Akhirnya,
kebenarannya pun menjadi benderang. Karena itu, jangan saling lapor. Anda, para
elit, khususnya Bala Wukak dan partai Golkar harus lebih banyak merefleksikan
cara kerja almarhum Yentji Sunur, bukan mencari celah kecil untuk menjerat
Thomas Ola, sang pembaharu yang membawa harapan untuk Lembata. (Oleh Admin)