Teori Evolusi: Peradaban yang Mengubah Eksistensi Manusia
Pendahuluan
Evolusi merupakan suatu
proses yang mengubah kehidupan manusia. Tatanan kehidupan manusia yang berubah,
menuntut pula suatu perubahan dari waktu ke waktu. Aktivitas, cara kerja,
analisis dan juga intelek (dalam hal ini cara berpikir) manusia pun tak luput
dari evolusi yang hadir di dunia.
Jadi, evolusi turut
mengambil peran utama dalam eksistensi manusia. Secara etimologi evolusi
berasal dari bahasa Latin: “e” artinya keluar,
dan “volvere” artinya” artinya bergulung.
Istilah evolusi banyak digunakan dalam berbagai disiplin. Dalam bidang biologi,
kata evolusi dimaknai sebagai “transformasi biologis”, yaitu perkembangan dari
suatu organisme yang sederhana kepada organisme yang semakin kompleks.[1]
Sudah menjadi
pengetahuan dasar dan umum bagi umat manusia bahwa evolusi adalah salah satu
cabang dalam ilmu pengetahuan. Cabang evolusi ini berbicara tentang sebuah
perubahan yang terjadi pada makhluk hidup atau spesies secara gradual atau
secara perlahan-lahan. Teori evolusi menjadi sebuah teori yang diakui (atau
juga dipertentangkan) ketika dipopulerkan oleh seorang ilmuwan Inggris yang
sangat terkenal, yaitu Charles Darwin (1809-1882). Teori Darwin dianggap
sebagai teori evolusi modern karena teori Darwin didasarkan atas temuan-temuan
atau bukti-bukti empiris yang didapatkannya selama melakukan observasi ilmiah
secara langsung.[2]
Teori evolusi Darwin
bisa dikatakan sebagai suatu sejarah perjalanan kehidupan manusia dalam ruang
dan waktu. Namun dalam perkembangannya, teori evolusi ini seringkali menjadi
bahan perdebatan atau pertentangan. Salah satunya adalah kaum agamawan.
Mengapa? Alasannya bahwa teori ini seakan-akan menyangkal kehadiran Sang
Pencipta. Teori ini dianggap bertentangan dengan teori penciptaan dalam Kitab
Suci. Teori evolusi sebenarnya hadir dan berkembang bukan untuk membuat manusia
meragukan kebenaran dalam Kitab Suci, melainkan untuk memperkuat keyakinan
seseorang terhadap kebenaran agamanya.[3]
Evolusi:
Titik Balik Makhluk Berakal Budi
Selain menyebut manusia
sebagai makhluk sosial, para filsuf klasik juga menyebut manusia sebagai makhluk
berakal budi. Kedua konsep ini berisi penegasan tentang keberbedaan dan
kekhasan manusia dibandingkan dengan makhluk ciptaan lainnya.[4]
Rumusan kesadaran diri manusia sebagaimana pernyataan Descartes “saya berpikir, maka saya ada”, (cogito
ergo sum), tentu bukan satu-satunya kebenaran tentang manusia. Manusia bukanlah
hanya sekadar makhluk berakal, tetapi di satu pihak juga adalah makhluk
berbudi. Hal ini merupakan titik balik dari eksistensi manusia, yaitu titik
balik manusia dari evolusi menjadi makhluk berakal budi.
Manusia hidup dalam
ruang lingkup akal budi. Akal budi berperan pada 2 tataran, yaitu teoretis dan
praktis. Peran teoretis dimaksudkan bahwa dengan akal budi, manusia dapat
mengerti dan memahami apa yang ada. Sedangkan dalam praktis, dimaksudkan bahwa
akal budi membantu manusia melakukan apa yang harus dilakukan dan mencegah apa
yang seharusnya tidak boleh dilakukan.
Manusia dituntut agar
berperilaku sedemikian rupa sehingga tindakannya masuk akal dan dapat
dipertanggungjawabkan. Santo Thomas Aquinas, dalam hal ini, mengatakan bahwa
rasio praktislah yang akan mengarahkan sikap dan tindakan manusia. Pilihan pada
manusia adalah kebebasan.
Evolusi menjadikan
manusia hidup dalam suatu pencarian “kepastian”. Seorang Filsuf berkebangsaan
Inggris, ingin menemukan suatu “kepastian” yang benar, bahwa semua realitas itu
organis, baik benda mati, binatang, tumbuhan maupun manusia bahkan Allah. Dalam
hal ini, filsafat Proses Whitehead mau menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada
“semuanya mengalir”,[5]
atau apa yang dikatakan oleh Heraclitus tentang panta rhei. Di dalam hidup yang berproses bersama suatu pencarian
“kepastian” inilah, manusia mampu untuk menempatkan akal budi (ratio) sebagai
pegangan dalam memandang evolusi sebagai bagian dari peradaban.
Membangun
Peradaban Melalui Pendidikan
Capra dalam bukunya
Titik Balik Peradaban menjelaskan, abad sekarang adalah abad ilmu pengetahuan,
teknologi dan spiritual.[6] Abad ini ditandai dengan adanya
keseimbangan, keserasian dan keharmonisan antara dunia fisik dan dunia
spiritual. Untuk mencapai keseimbangan, keselarasan dan keserasian kehidupan
fisik dan spiritual haruslah diperlukan upaya pendidikan. Inilah titik balik
evolusi yang juga berpengaruh terhadap eksistensi manusia.
Pendidikan sejatinya
adalah hal yang urgen dewasa ini. Salah satu upaya untuk membangun tradisi
keilmuan yang tinggi adalah melalui pendidikan. Secara umum, pendidikan
diartikan sebagai upaya mengembangkan mutu pribadi dan membangun karakter yang
dilandasi oleh nilai-nilai agama, filsafat, psikologi, sosial budaya, ilmu
pengetahuan serta teknologi. Dari pengertian ini, bisa dikatakan bahwa dalam
membangun suatu peradaban dibutuhkan waktu yang cukup panjang dalam mengubah
karakter dan cara berpikir. Mengubah cara berpikir dan mengubah karakter dapat
meningkatkan suatu peradaban yang sesuai zaman melalui pendidikan.
Kehadiran teori
evolusi, yang adalah juga bagian dari ilmu pengetahuan, adalah juga kehadiran
sebuah peradadan baru yang mengubah eksistensi manusia. Evolusi adalah perkembangan
makhluk hidup dari yang tidak sempurna menuju hasil yang sempurna atau sesuai
dengan yang diharapkan. Pendidikan juga merupakan jantung dari sebuah
peradaban. Melalui pendidikan, eksistensi manusia bergerak dari yang tidak
bermartabat menuju yang bermartabat.
Di sinilah kehadiran
akhlak memberi pengaruh. Akhlak dan peradaban tidak pernah terpisahkan. Sejarah
mencatat, akhlak menjadi penentu jatuh bangunnya sebuah peradaban. Peradaban
dan akhlak ibarat jasad dan roh, bila roh itu sirna, sirna pula jasad yang fana
itu. Selama akhlak suatu kaum masih bertahan, maka kaum itu akan bertahan
sebaliknya, bila akhlak kaum itu sirna, maka lenyap sudah eksistensi peradaban
kaum itu. Inilah titik evolusi dalam kaitannya dengan membangun suatu peradaban.
Kesimpulan
Secara sederhana
evolusi bisa diakatakan sebagai kemajuan adaptasi pada organisme hidup terhadap
lingkungannya; dengan maksud mempertahankan hidup. Charles Darwin memaknai evolusi
sebagai perkembangan atau dinamika intrinsik yang berakar sama untuk semua
jenis organisme, betapa pun bervariasi bentuk dan kompleksitasnya.[7]
Teori evolusi sendiri berbeda dengan ajaran kreasionisme.
Kreasionisme sendiri juga disebut sebagai teori penciptaan. Ajaran ini
meyakini bahwa ada Pencipta, yaitu
adanya adikodrati yang tidak diciptakan.
Teori evolusi dan
kreasionisme dapat dipandang sebagai sebuah Oxymoron,
yaitu 2 hal yang bertolak belakang, tetapi ada di dalam 1 objek yang sama.
Secara harafiah, Oxymoron, terdiri
dari 2 kata, yaitu Oksus, yang
artinya tajam atau cerdas, dan Moros, yang
artinya tumpul atau bodoh. Kedua paham ini berbeda secara teori, namun
memandang satu objek yang sama yaitu adanya sebuah perubahan. Inti dasar dari
teori evolusi adalah seleksi alam, sedangkan kreasionisme mempertahankan bahwa
dunia dan alam hidup atau mati, diadakan oleh suatu tindakan penciptaan
tunggal.[8]
Keseluruhan pengalaman
yang dihadirkan oleh teori evolusi dan juga ajaran kreasionisme akhirnya mengubah
eksistensi manusia. Teori evolusi masuk dan menjadi sebuah peradaban yang urgen
dalam eksistensi kehidupan manusia. Inilah titik balik kehadiran manusia dalam
menghadapi peradaban. Dalam menanggapi peradaban, eksistensi manusia dihadapkan
dengan suatu perubahan mental dan karakter. Perubahan mental dan karakter
inilah yang akan menyaingi atau bahkan berjalan bersama peradaban.
Pendidikan menjadi
jalan utama menuju perubahan dalam peradaban. Akhirnya di dalam pendidikan,
manusia dapat menyadari dirinya sebagai eksistensi manusia, yaitu manusia yang
berakal budi, sebagai titik balik. Manusia yang berakal budi harus berjalan
bersama pengalaman praktis. Ini harus menjadi dasar pada pengalaman praktis,dan
manusia harus menyadari bahwa berakal (ratio) saja tidak cukup, manusia butuh
suatu relasi (relatio) sosial sebagai makhluk sosial, sehingga ia berkembang
sebagai makhluk pribadi dan sosial. Dan itulah manusia dalam keutuhannya.
Oleh: Steven N. Ch Saunoah
(Mahasiswa Fakultas Filsafat UNWIRA)
[1] Siswanto, Joko, Orientasi Kosmologi, UGM Press, hal.
56.
[2] Ibid, hal. 58.
[3] Muhammad Taufik, Leo, Teori Evolusi Darwin: Dulu, Kini dan Nanti,
(jurnal Filsafat Indonesia Vol. 2 No. 3 Tahun 2019).
[4] Rm. Charles Suwendi,
Pr, Gita Sang Surya: Madah Persaudaraan
Semesta (Vol. 6, No. 2, Maret-April 2011), hal. 2.
[5] Kosat, Oktovianus, Identitas Diri Manusia dalam Proses Menjadi
dari Satuan-Satuan Aktual, UNWIRA Press, hal. 3.
[6] Prof. Dr. Achmad
Juntika Nurihsan, M.Pd, Membangun
Peradaban, refika Aditama, hal. 9.
[7] Siswanto, Joko, Orientasi Kosmologi, UGM Press, hal.
56.
[8] Ibid, hal. 55.
Post a Comment for "Teori Evolusi: Peradaban yang Mengubah Eksistensi Manusia"
Komentar