Pantai Bongbuto dan Paheng Wa’: Surga Tersembunyi di Kedang, Lembata
![]() |
Foto oleh Even Junior |
Rakatntt.com – Di kala dunia pariwisata semakin
menggeliat di Indonesia, pantai Bongbuto dan Paheng Wa’ masih tetap ibarat
surga tersembunyi hingga kini.
Alamnya semisal perawan murni yang belum
disentuh atau dieksploitasi. Siapapun yang bertandang ke sana, pasti semakin
tidak puas untuk mau kembali lagi.
Hati pengunjung akan melengklet erat dengan
panorama pantai dan alam sekitar yang otomatis menjadi daya tarik tersendiri.
Sunrise di musim kemarau sering muncul tepat di
permukaan laut, tepat di samping pulau Lapan yang rata seperti lapangan. Pulau
Lapan adalah salah satu gugus kepualauan Alor yang berbatasan dengan Kabupaten
Lembata bagian timur.
Sinar matahari pagi akan berpendar-pendar pada
permukaan laut dan menyinari kota Wairiang dengan gagah dari arah timur.
Wairiang adalah sebuah kota kecil yang merupakan Ibu Kota Kecamatan Buyasuri,
Kabupaten Lembata.
Dari Wairiang, petualangan dan persinggahan atau
perhentian selama di jalan boleh dimulai hingga tiba di destinasi utama: pantai
Bongbuto dan Paheng Wa’. Untuk sampai di kedua pantai ini, bisa melalui jalur
laut yang akan menghabiskan waktu sekitar satu jam lebih.
Jika memakai jasa transportasi laut, bisa
bertanya pada warga. Transportasi laut biasanya milik perorangan yang tinggal
di Wairiang atau sekitarnya dan biasanya berlabu di kota itu.
Perjalanan laut akan lebih menggoreskan kenangan
di musim kemarau. Hal ini karena air laut sangat tenang seperti sebuah lapangan.
Mata para pengunjung akan dikejutkan oleh
barisan bakau yang tidak bertepi setelah memasuki Desa Kalikur WL.
Selain jalur laut, jalur yang tidak kalah
menantang naluri para petualang adalah jalur darat. Jalur darat dapat ditempuh
dalam tempo sekitar dua jam perjalanan.
Jalur darat ke arah
timur ini membutuhkanm kesabaran ekstra. Jalan aspal atau lantainisasi hanya
sampai di Desa Rumang, sekitar empat kilometer dari Wairiang. Selanjutnya, para
pengendara perlu berjibaku mengukur "via dolorosa" : "jalan
parah".
Jalan asli tanah
berbatu, cukup menantang kesabaran, tetapi sekaligus mengasyikkan bagi
pengendara yang mau bertualang sampai ke tujuan akhir. Debu jalanan setebal dua
sentimeter akan mengepul dan menutupi kendaraan roda empat.
Musim barat adalah
musim berlabuhnya kendaraan roda empat. Jika berani beroperasi, maka semua ban
akan tertelan habis ke dalam lumpur. Namun, Pemda Lembata dalam waktu dekat
sudah membuka isolasi darat ini, sehingga akses ke pantai Bongbuto dan Paheng
Wa’ semakin mudah.
Di musim kering, sepanjang jalan, pemandangan pengendara akan
dihias oleh padang savana (rumput) sekaligus pohon-pohon palawan yang bertumbuh
tegar di atas tanah-tanah kerontang bercadas.
Terkadang pengendara harus melewati ladang-ladang warga yang berjejer di kiri kanan; burung-burung pun bernyanyi mengiringi perjalanan.
Kalau pengendara berangkat pada hari Senin, itu sebuah
keberuntungan. Pengendara akan menyambangi dua pasar tradisional di tepi
pantai.
Pertama, pasar Ogaq. Setelah kira-kira 50 menit menyetir,
pengendara akan sampai di pasar Ogaq. Pengunjung pasar umumnya saling barter
hasil ladang dengan aneka jenis ikan.
Pengendara bisa bersantai dan menikmati ikan bakar/panggang
dengan ketupat. Akan menjadi lengkap kalau disuguhkan minuman tuak putih dari
pohon lontar.
Tinggal memilih minuman tuak yang manis atau pahit. Harganya
murah meriah. Hanya mengelus dompet dan mengeluarkan Rp 10.000-Rp 15.000, sudah
bisa makan sampai lebih dari kenyang.
Sambil mengunyah santapan, telinga dan mata pengendara akan dimanjakan oleh suara burung camar yang berdendang riang di sela-sela hutan bakau. Juga angin laut yang sepoi tak bosan-bosannya berhembus membelai tubuh.
Setelah pasaq Ogaq, hanya perlu waktu sekitar 30 menit untuk
tiba di pasar Tamalhaur. Pasar Tamalhaur berlokasi di Desa Tobotani. Pasar ini
sangat strategis sebab menjadi titik temu para pengunjung yang berasal dari dua
kabupaten: Lembata dan Alor.
Pengunjung pasar Tamalhaur yang datang dari Kabupaten Alor
membawa pelbagai jenis ikan segar maupun kering yang telah diasinkan. Jualan
khas dari Alor adalah periuk-periuk tanah yang dibentuk dalam berbagai bentuk
dan ukuran.
Ada pula pedagang menengah dari Wairiang yang menjual Sembako,
pakaian dan perlengkapan rumah tangga. Petani yang mengunjungi pasar Tamalhaur
menjual hasil ladang dan lebih sering dibarter dengan barang-barang kebutuhan
hidup.
Selepas kawasan Tamalhaur di Desa Tobotani, suguhan perjalanan
selanjutnya adalah pasir putih yang membentang sepanjang pantai. Belum ada
orang yang mengukurnya secara pasti, tapi sekitar puluhan kilometer panjangnya.
Dari sini, pengendara sedang merapat dan memasuki pintu "surga" yang
menjadi destinasi wisata utama yaitu Bongbuto dan Paheng Wa’.
Di pantai Bongbuto terdapat sebuah tempat bernama Bour. Disebut
Bour karena mengikuti nama sebuah pohon dalam bahasa Kedang yang tumbuh di pantai
itu. Pantai ini punya keunikan.
Ada daratan kecil, berderet, cukup luas yang dikelilingi laut.
Keajaiban alam ini terjadi seperti ada tangan tersembunyi yang menata pantai
ini, entah sudah berapa lama. Daratan ini timbul dari gundukan terumbu karang
yang dipecahkan oleh ombak dan digulung menyatu. Entah sudah berapa lama
usianya.
Mungkin sudah mencapai ratusan bahkan ribuan tahun pecahan
terumbu karang ini menimbun di sana. Pemandangan paling cantik dari daratan ini
terjadi saat air laut surut. Sebab daratan mini ini tampak terlalu indah
natural dan seperti meminta untuk dipoles secara profesional.
Panorama pantai Bongbuto dan Paheng Wa’ akan semakin memesona
ketika ada kapal tangki atau kapal barang yang melintas di dekat bibir pantai.
Kapal-kapal dari pantai selatan Lembata, laut Sawu dan laut Flores selalu rajin
keluar masuk sehingga meramaikan lalu lintas di selat ini. Sementara itu, dekat
di hadapan mata, terbentang gugus kepulauan Alor yang anggun seperti seperti
seorang gadis yang sedang berdandan. Gugus kepulauan Alor dan sebagian utara
pulau Lembata membentuk selat yang bisa berbahaya di malam hari sebab cukup
dangkal.
Namun demikian, hamparan pasir putih dan debur ombak di pantai
Bongbuto dan Paheng Wa’ selalu membuat para pengunjung tak pernah puas untuk
mandi dan berjemur. Pengunjung boleh juga menyalurkan hobi memancing sebab
ikannya jinak dan rajin menyambar umpan cacing.
Pantai ini tidak tercemar oleh sampah maupun limbah kapal.
Dinamakan Paheng Wa’ mengacu pada sosok bebatuan yang kelihatan seperti ditanam
dan berdiri di pinggir pantai yang tak pernah bergeming oleh ombak setiap
musim.
Kalau pengunjung berani, boleh naik ke atas batu dan melompat
tercebur ke dalam laut. Lalu, boleh naik kembali berjemur di atas batu karang
itu.
Bagi pengunjung yang ingin melakukan trekking untuk menikmati
pemandangan dari atas bukit, silakan mendaki dan berhenti di lokasi bernama
'Awan'. Bukit Awan itu berada di ketinggian sekitar ratusan meter di atas
permukaan laut dan sering pula diduduki awan.
Bagi orang yang biasa berjalan cepat, hanya sekitar satu jam
sudah di puncak. Di bukit ini, pengunjung boleh menikmati padang savana yang
sebagian kecil sudah diolah warga menjadi ladang tadah hujan.
Pandangan dari atas bukit ke arah selat merupakan keindahan
tersendiri yang tidak akan cukup dibahasakan. Memori yang tak pernah
terlupakan. Pasalnya, gugus kepulauan Alor seakan ditarik merapat ke pantai
Bongbuto dan Paheng Wa’.
Tambahan lagi, ketika mata memandang kapal-kapal yang melintasi
selat, akan menambah rasa betah berada di bukit "Awan". Keindahan ini
terlalu sayang untuk tidak diabadikan oleh kamera.
Perlu diketahui pula bahwa lokasi dimana pantai Bongbuto dan
Paheng Wa’ berada adalah milik warga Desa Mampir, Kecamatan Buyasuri, Lembata.
Kawasan ini, puluhan tahun lalu adalah hamparan savana yang dikelola menjadi
ladang karena subur. Warga Mampir datang mengolah tanah, mencangkul dan menanam
padi, ubi, jagung sebab tanah di Desa induk kurang memberikan rejeki yang
maksimal.
Hasil panen disimpan pada lumbung-lumbung yang telah disiapkan.
Setiap hari Kamis dan Sabtu, para warga Mampir pulang ke Desa induk untuk
beribadah pada hari Jumat dan Minggu. Sesudah itu kembali lagi ke Bongbuto
untuk menggembalakan ternak, berburu dan memancing.
Akses penerangan tidak lama lagi akan merambah ke Bongbuto sebab
saat ini jaringan atau instalasi listrik sudah sampai di Desa Tobotani. Jalan
aspal menuju Desa Tobotani pun hanya menunggu realisasi dari Pemda Lembata.
Terlepas dari akses jalan dan listrik, warga Desa Mampir di
Bongbuto memiliki tiga sumur galian dan satu sumur bor berkat upaya Bapak
Gergorius Amo Robiwala, seorang warga Desa Mampir.
Persediaan air minum selalu melimpah untuk kebutuhan sekitar 50
kepala keluarga. Warga Bongbuto juga terkenal dengan keramahtamahan terhadap
setiap tamu yang datang, termasuk pengunjung yang datang ke kedua pantai ini.
Ada pula pohon rindang di pantai sebagai pelindung saat duduk makan siang atau
sekedar berbaring melepas lelah sambil membiarkan diri dibelai oleh angin laut.
Apapun terjadi, Bongbuto dan Paheng Waq mempunyai pesona pantai
dan alam lebih indah dari yang pernah dibayangkan. Ada semacam magnet
mahadahsyat yang selalu menarik pengunjung untuk merasakan alamnya yang masih
sungguh perawan.
Gundukan karang yang menjadi daratan kecil nan molek di Bour
dengan genangan air laut di sekelilingnya dan Paheng Wa’ yang menghidangkan
pasir putih dan riak ombak serta pemandangan gugus kepulauan Alor yang menawan,
akan tetap setia sampai kiamat menanti pengunjung datang menghampiri.
Siapapun yang satu kali datang ke pantai ini, dijamin dua kali untuk tetap kembali lagi. Itulah magnet dari pantai Bongbuto dan Paheng Waq, "surga" tersembunyi di Kedang-Lembata. ***
Ditulis oleh Rofinus Pati, Penghuni Likotuden, Kawalelo, Larantuka
(Sebuah Laporan Perjalanan), Fotografer: Even Junior