Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Tidur Tak Nyenyak di Rumah Sendiri, Kisah Tersisa dari Bencana Lamawolo Lembata

 

Longsor Batu di Lamawolo, Ileape Timur, Lembata, NTT

RakatNTT.com – Dua tahun telah berlalu membawa pergi kisah-kisah duka bencana batu longsor dan banjir di Desa Lamawolo, Kecamatan Ileape Timur, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.

Bencana alam dahsyat yang disebabkan oleh cuaca ekstrim Siklon Tropis Seroja 2021 lalu telah memakan korban jiwa dan meninggalkan rasa traumatis yang berkepanjangan. 

Tumpukkan batu yang longsor dari gunung Ileape hingga kini masih menjadi pemandangan sedih di tengah Desa Lamawolo. Bebatuan tersebut telah menghancurkan belasan rumah di RT 08, Desa Lamawolo. 

“Sekitar belasan rumah di situ (yang hancur) Ama,” ungkap Mama Thresia Tuto yang mengaku sudah empat malam tidur tak nyenyak di rumahnya. Ia adalah warga pengungsi dari Lamawolo yang kini menetap di Tanah Merah. 

“Ama kami sudah mengungsi di Tanah Merah tapi anak laki-laki saya tidak mau. Dia tinggal jaga rumah disini karena sekolah di sini,” cerita mama Thresia Tuto dengan dialek khas Ileape, Sabtu, 15 April 2023.

Ia mengaku masih trauma saat datang ke Lamawolo mengunjungi rumahnya yang selamat dari amukkan banjir dan bebatuan yang datang dari gunung.  Rumah dua kamar tersebut kini terlihat seperti anak tanpa orangtua. Di bagian dalam rumah sudah dibersihkan karena terdapat lumpur yang mengering.

“Kami bayar orang bersihkan rumah satu juta rupiah karena lumpur banyak,” lanjut Mama Thresia Tuto. 

Ia menceritakan bahwa alasan ia datang ke rumahnya hanya untuk mendampingi anak laki-lakinya yang sedang mengikuti Ujian Sekolah di salah satu SMA terdekat di kampung tersebut. Tak hanya mama Thresia Tuto, beberapa warga RT 08 lainnya juga terlihat datang ke Lamawolo. Ada yang sedang meniti jagung, ada yang memberi makan ternak babi dan beberapa aktivitas lainnya kemudian akan pulang ke tempat pengungsian di Tanah Merah.

Potret kebahagiaan seperti sebelum bencana datang dapat tergambar sedikit di wajah mereka saat menyapa kami yang datang mengunjungi kampung mereka. 

Beberapa anak kecil terlihat berlari-lari di lorong desa sambil berteriak-teriak suka cita menggunakan bahasa daerah. Sekelompok anak muda terlihat pula sedang duduk berdiskusi sambil tertawa di sudut salah satu rumah yang sebagian bangunanya sudah rusak karena ditimbun bebatuan ganas dari gunung Ileape.

Ada juga anak remaja yang setia duduk di pinggir jalan menanti pengendara yang kehabisan bensin untuk membeli bensinnya yang tersisa dua botol. Namun, di balik semua itu, rasa takut dan traumatis masih saja menghantui mereka. 

“Masih Ama apalagi kalau hujan dan dengar guntur,” ungkap Mama Theresia Tuto sambil mengharapkan agar alam tidak mengirim bencana serupa lagi kepada mereka.

Suka Duka di tanah Pengungsian

Usai bencana dahsyat di Lamawolo, sebagian warga diungsikan ke Tanah Merah oleh Pemerintah Daerah. Di tempat pengungsian terdapat cerita suka dan duka. Namun, tentu saja lebih banyak cerita duka karena mereka harus pergi meninggalkan rumah, ternak dan kebun. 

“Tahun ini kami gagal panen Ama. Banyak jagung yang mati kecuali ubi. Jadi kami tidak bisa makan jagung muda hehehe,” lanjut mama Thresia Tuto. 

Menurutnya, sebagian warga pengungsi terpaksa pulang lagi ke Lamawolo untuk menanam jagung di kebun mereka sebab mereka tidak punya lahan khusus sebagai kebun di tanah pengungsian. Namun demikian, sebagian warga pengungsi lainnya yang diberi lahan untuk dijadikan kebun di tanah pengungsian, misalnya mama Thresia Tuto. Selain punya kebun, mama Thresia Tuto juga memelihara seekor babi di tanah pengungsian.

“Saya piara babi Ama e. Hidup ini kita butuh uang hehe,” mama Thresia Tuto tersenyum bahagia walaupun batinnya disayat sembilu. Ia juga menceritaka; kalau di Lamawolo mereka bisa menikmati ikan segar hasil tangkapan sendiri di laut tapi kalau di Tanah Merah, ikan harus dibeli dan jenis ikan yang sama semua. Walaupun begitu, apa mau dikata, semua terjadi bergitu saja tanpa ada yang mendeteksi. Itulah nasib, semua kisahnya harus diterima tanpa mengeluh. 

Mama Thresia Tuto tetap menatap ke depan untuk membahagiakan keluarga, khususnya anak-anak yang masih mengenyam pendidikan di bangku sekolah.




Cerita Malam Kelabu

Saya terus menggali kisah kelam dua tahun lalu kepada mama Theresia Tuto. “Ama malam itu bunyi dari gunung itu besar sekali tidak sama dengan bunyi gelombang atau petir, pokoknya besar. Hujan juga tidak berhenti tambah angin, aduh Ama ee. Kami dalam rumah lari berpencar, mama lari sendiri, anak mantu dan cucu lari sendiri, anak lari sendiri dan suami lari sendiri. Terakhir baru kami jumpa di bukit,” ceritanya. 

“Tanah ini getar seperti gempa saat banjir bawa batu dari gunung, uhh, takut sekali Ama.”

Hujan mulai datang menyapa sekitar pukul 22.00 Wita di suatu malam saat mama Theresia Tuto dan anggota keluarganya sedang asyik menonton sinetron di televisi.

“Kami sedang nonton TiVi tiba-tiba hujan datang, kami lari dan televisi itu juga rusak dibawa banjir,” ungkapnya. 

Hujan yang tak mau berhenti, memaksa mereka untuk menyelamatkan diri ke sebuah bukit di bagian barat kampung.

“Kami lari pake berenang Ama. Tidak ada senter, pokoknya kami lari saja entah hidup atau mati kami pasrah saja. Rumah sudah penuh banjir, pakaian banyak yang hilang banjir bawa ke laut. Dua orang, sudah orangtua akhirnya meninggal karena banjir dapat. Sedangkan ada 8 orang lain cacat karena kena batu dan kayu. Mereka juga akhirnya meninggal di tanah pengungsian dan dikuburkan disini.”

Banjir besar tersebut merupakan kisah yang baru pertama kali terjadi di Lamawolo. Banjir membawa batu-batu dari gunung menimbun dan menutup habis belasan rumah warga yang sebenarnya menjadi tempat pemukiman baru di Lamawolo.

“Rumah-rumah yang hancur itu, ada yang baru dibangun karena kami mau buka kampung ke atas tapi banjir datang semuanya rusak. Herannya bak-bak air tidak rusak, mungkin karena ada air dalam bak ee?” tanya mama Theresia Tuto. (RO)

Post a Comment for "Tidur Tak Nyenyak di Rumah Sendiri, Kisah Tersisa dari Bencana Lamawolo Lembata"