Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Mata Air Wei Pana dan Kisah-kisah Masa Kecil, Mengenang Mandi Air dan Keringat

 

Sumber foto Leuape_Jr


RakatNtt.com – Mata air Wei Pana – air panas – menjadi salah satu harapan hidup masyarakat Desa Mahal, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, NTT. Mengenang Wei Pana, selalu teringat kisah masa kecil di Desa Mahal bersama teman-teman sekampung yang satu atau dua hari sekali mengunjungi mata air Wei Pana untuk membersihkan tubuh yang penuh dengan nodak.

Pada sekitar tahun 2005, jalan menuju Wei Pana masih dilalui oleh manusia berkaki dua alias jalan setapak. Belum ada kendaraan roda dua yang berani melewati jalur setapak yang berkelok-kelok dan cukup berbahaya pada beberapa titik. Bagi orang baru, mengikuti jalan setapak menuju Wei Pana tentu bukan hal yang gampang.

Namun, pada masa kepemimpinan Bapak Leonardus Leu Odel sebagai Kepala Desa Mahal – ia menjadi Kepala Desa Mahal Pertama usai Desa Mahal dimekarkan menjadi Mahal dan Mahal II – jalur setapak menuju Wei Pana mulai dibuka oleh alat berat. Sejak saat itu, aktivitas warga menuju Wei Pana sudah sedikit terbantu karena kendaraan roda dua pun empat sudah bisa menembus Wei Pana.

Dari berjalan kaki yang menempuh waktu sekitar 1,5 jam, kini masyarakat setempat sudah bisa menempuh dengan waktu 15 menit menggunakan kendaraan roda dua.

Kisah Masa Kecil

Saat masih dibangku SDK Hobamatan, saya dan juga teman-teman seangkatan lainnya masih menikmati jalur setapak menuju Wei Pana. Biasanya, kami menuju Wei Pana pada hari Sabtu atau Minggu setelah aktivitas sepekan di Sekolah – ya dulu kami mandi dua atau tiga hari sekali bukan setiap hari, apalagi pagi dan sore.

Roster untuk pergi mandi di Wei Pana seperti sebuah jadwal mati yang tak bisa diganggugugat. Setelah sekolah, kami biasanya pergi mencari kayu api atau memeriksa jerat burung puyu (pau witur bore’). Setelah aktivitas di hutan, kami menuju Wei Pana untuk mandi.

Hal lain yang patut dikenang yakni saat mandi di Wei Pana, setiap orang mesti antre untuk bisa membasahkan seluruh tubuhnya jika masyarakat yang hadir pada waktu yang sama jumlahnya lebih dari 10 orang. Bayangkan saja, air Wei Pana yang mengalir hanya lewat satu jalur – pipa air waktu itu masih menggunakah bambu – namun, kami menikmati situasi tersebut.

Masing-masing orang fokus membersihkan tubuhnya dan jika ada yang memiliki tubuh yang level nodak atau daki atau ula’ koping lebih banyak maka ia akan meminta bantuan orang lain untuk membersihkan tubuhnya dengan menggunakan batu (doru obi).

Walaupun mandi massal, tetapi suasana tampak asyik. Orang mandi sambil bercerita dengan gaya cerita variatif dan tertawa bersama. Ada yang bercerita tentang hasil kebun, sinetron indosiar sampai pada jadwal berburu babi hutan dan mencari ikan di laut.

Usai mandi, tak ada kamar mandi untuk mengganti pakaian, maka butuh kejelian otak untuk mencari tempat aman, khususnya bagi perempuan yang proses mengganti pakaian sedikit rumit dibanding laki-laki.

Mandi Air dan Keringat

Salah satu kearifan lokal masyarakat Kedang, khususnya di Desa Mahal yakni bagi orang baru, diwajibkan untuk tubuhnya disiram oleh warga setempat terlebih dahulu sebelum ia membersihkan tubuhnya lebih lanjut. Sementara itu, bagi yang sudah terbiasa menikmati hangatnya Wei Pana, usai mandi, setiap orang akan mendaki bukit untuk pulang ke rumah masing-masing. Nah, tepat disinilah, setiap orang akan mandi keringat karena berjalan kaki melewati jalur setapak dengan posisi mendaki.

Hal ini tentu berbeda dengan kebiasaan di daerah-daerah lain yang mata airnya terdapat di tengah kampung; orang mandi dan beraktivitas santai seperti duduk cerita, ngopi sore, atau membaca buku. Di Mahal, usai mandi di Wei Pana, ada aktivitas lain yakni jalan kaki mendaki bukit.

Hal ini beralasan karena mata air Wei Pana letaknya di dataran rendah sedangkan pemukiman warga di dataran tinggi. Dengan demikian, mandi keringat tak bisa dihindari. Walaupun demikian, warga Desa Mahal tempo dulu tak mengeluh karena itulah kondisi alam yang sudah diberikan Tuhan-Lia Nimon Loyo Wala.

Pertanyaan pun muncul; mengapa nenek moyang tempo dulu tidak membuka pemukiman di sekitar mata air atau paling tidak di dataran rendah sehingga anak cucu mudah mendapatkan air?

Wei Pana Kini

Dari pipa menggunakan bambu, kini sudah berbeda yakni menggunakan tembaga. Perubahan ini mulai muncul sejak masa kepemimpinan bapak Stefanus Sorong, dilanjutkan Muh. Lukman Laba dan sekarang oleh Fransiskus Beni Orolaleng. Mata air Wei Pana sudah ditampung khusus pada sebuah bak penampung dan dialirkan melewati tiga pipa. Dua pipa dibutuhkan untuk mandi di Wei Pana dan satu pipa dialirkan untuk memenuhi kebutuhan warga di kebun yakni tebu’ laleng, noni’, wa’ reka, awur huna dan lain-lain. (RO)

1 comment for "Mata Air Wei Pana dan Kisah-kisah Masa Kecil, Mengenang Mandi Air dan Keringat"