Jalan Tengah Konflik Tanah Suku di Kedang dan Program Pertanahan Nasional
RakatNtt.com
– Contoh
kasus yang melatarbelakangi tulisan ini diambil dari Desa Mahal 2, Kecamatan
Omesuri, Kabupaten Lembata, NTT – ada informasi selain Desa Mahal 2 ada juga di
beberapa Desa lain. Penulis mengikuti kontroversi terkait dengan kearifan lokal
tanah suku dan Program Pertanahan Nasional yakni PTSL (Pengukuran Tanah Sistematis
Lengkap) yang dilaksanakan di Desa Mahal 2.
Kepentingan yang
bertabrakan ini berdampak pada retaknya relasi sosial, kecurigaan mulai ada di segala
sudut kampung; persahabatan yang semula mesra kini dihantui oleh gelisah. Embrio
konflik seperti ini mesti secepatnya diredam sebab berbicara tentang tanah –
mengutip tulisan Benyamin Molan Amuntoda – selalu berkaitan dengan konflik;
tanah atau awu’ selalu berkaitan
dengan awur (saling merampas).
Dalam bahasa Kedang ada
istilah awur tahal, awur artinya merampas, tahal bisa mungkin diambil dari kata taha (luka). Awur tahal awu’, konflik tanah selalu melahirkan luka.
Dengan cara pandang
seperti ini, maka kita mesti sepakat untuk mencari jalan tengah yang tidak
merugikan salah satu pihak. Kedua atau ketiga pihak mesti diuntungkan alias tidak terluka.
Latar
Belakang Masalah
PTSL adalah program
pemerintah yang membantu masyarakat mendapatkan sertifikat tanah guna
mendapatkan jaminan kepastian hukum. Tujuan utamanya adalah untuk menghindari
konflik kepemilikan tanah oleh masyarakat di wilayah bersangkutan.
PTSL diatur oleh
kementerian ATR/BPN dalam peraturan Menteri ATR/BPN Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2018. Ada beberapa syarat PTSL, yakni Kartu Keluarga dan Kartu Identitas
berupa KTP, Surat Permohonan Pengajuan peserta PTSL, pemasangan tanda batas
tanah yang telah disepakati dengan pemilik tanah yang berbatasan, dan beberapa
persyaratan lainnya.
Program yang sangat
mulia ini sedang tereksekusi di wilayah Desa Mahal 2 tetapi bertabrakan dengan
tuntutan salah satu suku (marga) yang mendasarkan diri pada hukum kearifan
lokal tentang tanah.
Suku bersangkutan
mengklaim bahwa sebagian wilayah PTSL berada di atas wilayah tanah suku
tersebut. Dengan demikian, suku tersebut meminta kepada Pemerintah Desa Mahal
dan Mahal 2 untuk memfasilitasi para pemilik lahan dengan suku tersebut untuk
berdiskusi mengurai tuntutan suku dan program pemerintah.
Saya mengikuti betul
kontroversi ini. Menurut saya, jalan tengahnya sangat muda dicapai jika masing-masing
pihak secara terbuka dan tenang untuk menyelesaikannya, ditambah pula,
Pemerintah Desa mesti benar-benar berada di tengah.
Untuk mencari jalan tengah, ada beberapa hal yang harus dipahami bersama. Pertama, masing-masing pihak mesti memahami betul apa itu kearifan lokal tanah suku dalam budaya Kedang dan hak-hak adatnya. Kemudian, warga di Desa bersangkutan bersama Pemdes mesti bertanya diri; apakah kearifan lokal tanah suku di wilayah tersebut masih kontroversial?
Sebab, menurut saya, kearifan lokal tanah suku yang sedang
dibahas tentu punya latar belakang masalah tertentu; bisa mungkin kejelasan
tentang hak-hak adatnya belum diketahui dan dilakukan secara benar sesuai
kesepakatan semua warga kampung atau Desa. Kearifan lokal tanah adalah hal yang sangat primer sebelum berbicara tentang yang lain.
Pada Sabtu, 11 Mei dilanjutkan
18 Mei 2023 telah diadakan pertemuan pertama dan kedua difasilitasi oleh Pemdes
tetapi hasilnya tidak ada hasil. Warga yang hadir bukan untuk mencari jalan
tengah permasalahan tetapi mulai berpotensi membawa konflik. Saling teriak dan
tepuk tangan seolah-olah menonton pertandingan bola kaki menambah suasana kian
tak bersahabat. Namun, itulah tanah, selalu ada awur.
Tuntutan suku
bersangkutan untuk bersama-sama menceritakan kembali sejarah tanah suku,
nama-nama dan batas-batas tanah suku tidak berjalan baik. Yang ada adalah
desakan untuk cepat melakukan PTSL.
Kedua, Pihak BPN
Lembata dan warga pemilik lahan juga suku bersangkutan mesti sama-sama
mendukung PTSL. Sebab program pemerintah ini sangat membantu keharmonisan
sosial di wilayah tersebut. Prinsipnya adalah, PTSL mesti berjalan mulus tak
boleh ada masalah di belakangnya. Ketika tuntutan salah satu suku belum diselesaikan
maka sebenarnya masih ada masalah.
Oleh karena itu, baik
warga suku, pemilik lahan, Pemdes dan BPN Lembata mesti duduk bersama untuk
menyelesaikan persoalan kearifan lokal tanah suku ini. Semua warga yang hadir
mesti berkepala dingin dan jangan dihantui dengan cara berpikir bahwa berbicara
tentang tanah suku merupakan sesuatu yang sensitif.
Anggap saja ini adalah
diskusi keluarga untuk mencapai sebuah kesepakatan yang membantu keharmonisan
sosial menjadi lebih kuat. Pihak BPN Lembata juga mesti berkaca pada persoalan
ini untuk membaca konteks tentang konflik tanah di Kedang antara budaya dan
dominasi negara.
Tuntutan
Kearifan Lokal Tanah Suku
Saya sudah melahirkan dua tulisan tentang ini. Berkaca pada kebiasaan di Kedang, mayoritas warga masih mempertahankan istilah uhe ara niku niwang sebagai tanah suku di setiap kampung – bandingkan dengan tulisan Eman Ubuq baca disini, untuk didiskusikan lagi.
Uhe
ara
jika diterjemahkan secara harafiah berarti lapisan terdalam tanah. Dalam proses
migrasi dari gunung Uyelewun, nenek moyang zaman dulu berjuang untuk
mendapatkan tanah suku ini melalui tiga jalan yakni ruten uhe repe’ ara, ruten lolo’ repe’ pu’en dan tunu tua’ ain bote manu’ muho – tanah suku
tidak diperoleh lewat jalan jual-beli. Mari kita bedah satu per satu.
Pertama, ruten uhe repe’ ara berarti mendapatkan
tanah baru. Orang pertama memberi nama tanah baru itu sesuai dengan nama
dirinya atau keturunannya – biasanya diambil dari nama nenek moyang yang sudah
punah keturunannya; karena sudah punah, mereka dikenang sebagai tuan uhe (nama tanah suku “yang hidup
punya telinga, mata mulut, hati dll”) oleh keturunan suku tersebut yang masih
ada.
Kedua, ruten lolo’ repe’ pu’en artinya orang bersangkutan
mendiami suatu wilayah karena diberikan oleh orang pertama yang sudah lebih dulu
mendapatkan tanah tersebut. Alasan pemberian biasanya karena orang pertama tak
punya keturunan, maka diberikan kepada orang kedua yang bukan satu suku. Namun,
tuan uhe tetap menggunakan nama orang
pertama.
Ketiga, tunu tua’ ain bote manu’ muho artinya orang pertama menyerahkan
tanah tersebut kepada orang kedua dengan alasan orang pertama mau bermigrasi
lagi, maka yang kedua bertugas menjaga tanah itu. Nama tuan uhe biasanya digabung orang pertama dan kedua.
Selain proses
medapatkannya, suku bersangkutan mesti
mampu mengurai batas-batas tanah suku (nanga atur la’ ledur, ang ba’a ular
doro, ai nore naya wa’ nore oli’). Sementara itu, berkaitan dengan hak-hak
adat, biasanya ada tiga yakni sebagai juru “tikam tanah” jika ada kematian,
peletak batu pertama untuk pembangunan dan ka
wutu’ ale jika ada riutual adat iu
uhe bei ara.
Semua proses dan hak
adat itu mesti dipahami secara bersama dan utuh. Sebab kearifan lokal menjadi
gambaran identitas masyarakat adat yang terus hidup dan dipertahankan.
Kita kembali pada
tuntutan salah satu suku di Mahal 2 bahwa sebelum PTSL, warga di tempat
tersebut mesti membicarakan hukum adat tentang tanah sampai selesai dan
menemukan kebenarannya agar PTSL berjalan tanpa hambatan.
Walaupun ada yang
beragumentasi bahwa kearifan lokal tentang tanah suku tidak masuk persyaratan
PTSL tetapi sebagai warga yang berbudaya mesti mampu membaca hubungan antara
hukum positif dan hukum adat. Seringkali hukum positif dieksekusi tanpa
mempertimbangkan hukum adat yang masih hidup. Justru inilah letak persoalannya.
Ketika sudah menemukan
masalah, maka mesti diselesaikan agar tidak terjadi konflik horizontal
berkepanjangan. Sedehana saja sebenarnya, tidak rumit!
Siapa yang selesaikan
masalah ini? Tentu saja semua warga kampung, Pemerintah Desa juga mesti
betul-betul mengawal proses ini hingga selesai. Pemerintah Desa mesti ada di
tengah bukan ada bersama satu pihak dan cenderung menyembah hukum positif yang
dibuat oleh negara dan bersandar pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Selain itu yang harus
ada dalam benak setiap orang adalah keharmonisan sosial menjadi paling penting
bukan soal siapa yang menang dan kalah. Tanah adalah jati diri kita dan
bermanfaat untuk kehidupan sosial manusia (Pasal 6 UUPA). Kearifan lokal justru
sangat mendukung pasal 6 UUPA. Sebab dalam kearifan lokal, suku pemilik uhe ara hanya punya tiga hak adat. Suku tersebut
tidak punya hak merampas tanah atau lahan garapan warga lain.
Yang mesti dilakukan
hanyalah mengakui hak-hak adat didahului dengan pertemuan atau musyawara
kampung kemudian disahkan secara resmi sehingga bisa menjadi sejarah bagi
generasi penerus ke depan.
Kemudian, pasal 5 UUPA
menerangkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara dst. Artinya, hukum adat tidak membatalkan hukum negara. Jika membaca konteks
di desa Mahal 2 sebenarnya amat jelas bahwa hukum adat mendukung pasal 5 UUPA
tersebut. Karena itu, negara juga mesti menghormati hukum adat. Ketika ada
benturan, maka carilah jalan tengah terbaik.
Nah, dari semua penjelasan
di atas, jalan tengah sebenarnya sudah bisa ditemukan. Intinya adalah menghindari
rasa gengsi, manipulasi sejarah dan memprovokasi masalah ini hingga melahirkan
disintegrasi di dalam Desa. Cara berpikir ini, pertama-tama harus ada dalam
otak Kepala Desa. Ngotot menjalankan PTSL tanpa menyelesaikan sebuah masalah
sama dengan membiarkan konflik terus ada dalam kehidupan masyarakat adat.***
Agar tidak terjadi kepemilikan tanah yang berlebihan maka negara mengatur kepemilikannya. Hal ini sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. https://www.hukumonline.com/klinik/a/cara-penyertifikatan-tanah-adat-lt537ac3b737835/ https://pinterhukum.or.id/hak-dan-perlindungan-tanah-adat-di-indonesia/#google_vignette
ReplyDeleteKonteks kearifan lokal tanah suku dalam budaya Kedang itu tidak berkaitan dengan kepemilikan apalagi yang berlebihan. Ini soal konteks adat dan itu tidak berkaitan dengan kepemilikan dalam arti sosial
Deletesiapa yang menggarap maka itu miliknya
DeleteBetul, itu hak miliknya. Tulisan ini substansi nya tidak tentang hak milik
Delete