Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Tuak, Batu dan Pohon dalam Ritus Adat Orang Kedang dan Maknanya

 


 

Ritus poan kemer, (foto: Andika)

RakatNtt - Simbol-simbol dalam ritus adat merupakan ciri khas dari masyarakat Melanesia termasuk NTT. Ritus-ritus adat selalu menghubungkan yang profan dan yang sakral. Dalam setiap praktik religiusitas lokal, orang Kedang (Edang wela) misalnya menggunakan simbol tuak, batu dan pohon. Tiga simbol (material) ini akan diartikan dengan makna yang berbeda, menjadi yang sakral ketika dilakukan dalam bingkai ritus. Hal ini dapat kita baca dalam penjelasan Gregor Neonbasu dalam buku Diaspora Melanesia di Nusantara. Ia menulis tentang ritus adat di Timor. Saya coba memetik makna tulisannya untuk dihubungkan dalam konteks ritus adat orang Kedang di Lembata.

Tuak dalam konteks ritus tidak lagi dilihat sebagai barang biasa atau minuman biasa yang bersifat profan melainkan akan menjadi sakral ketika dihubungkan dengan ritus. Maknanya diambil dari kebiasaan orng Kedang memandang tuak, misalnya tuak selalu menjadi minuman istimewa untuk menyambut tamu atau sahabat lama. Tuak sebagai minuman persahabatan (makna yang sebenarnya atau yang positif bukan untuk mabuk).

Dari makna-makna biasa tersebut akan menjadi makna yang luar biasa sakral ketika dibawa kepada konteks ritus adat. Kekuatan-kekuatan tak terlihat selalu dijamu dengan tuak (luru’ tua’) baik kepada alam raya maupun leluhur kita. Mari kita simak penjelasan Gregor Neonbasu di bawah ini:

Masyarakat Timor percaya, pada saat yang tepat – ketika berlangsungnya proses pembunuhan hewan misalnya atau event ritual khas lain – segala yang profan dapat diubah seketika menjadi sesuatu yang lebih dari dirinya: yang biasa dan sederhana menjadi yang istimewa, yang tidak penting berubah menjadi yang sangat bermakna, yang tidak lazim berubah menjadi sangat pokok dan utama.  Dengan demikian, simbol dan tanda tidak lagi berada pada tataran profan, walau sebetulnya yang digunakan itu adalah hal (material) yang sangat biasa dan amat sederhana, melainkan dengan sendirinya menjadi sesuatu yang lain  dari lain, sesuatu yang sakral, sesuatu yang patut mendapat respek khusus dan penghormatan lebih dari biasa. Suatu hal sepele dan biasa mendapat perlakuan khusus dan lebih dari sebelumnya.”

Demikianpun halnya simbol batu (lapa’ tarang) dan pohon (ite arin, ite koda, ite maren) selalu dimaknai dalam ruang sakral oleh masyarakat Kedang. Dalam penjelasan Neonbasu tentang ritus di Timor, selain air, orang Timor juga menggunakan simbol batu dan kayu atau pohon – sama seperti di Kedang.

Orang Kedang biasanya melakukan ritus di bawah pohon rita dan di atas batu-batu suci (lpa’ tarang). Dua simbol material ini akan menjadi sakral dalam konteks ritus. Dari makna biasa misalnya, batu sebagai yang kuat, fondasi, melindungi dan pohon yang selalu bermakna kehidupan, bertunas, punya banyak cabang dan ranting dan pada akhirnya berbuah akan dimaknai secara istimewa dalam konteks ritus adat kita.

Pemaknaan ini juga dibahasakan dengan ungkapan yang istimewa bukan menggunakan kata-kata komunikasi biasa. Ungkapan ini hanya bisa digunakan oleh molan maren yang punya kharisma. Misalnya pohon rita kehidupan atau ite maren digambarkan dalam ungkapan Ite olor aur ayang bermakna kehidupan yang terus tumbuh, dan kebaikan. Atau lapa’ tarang bermakna batu fondasi yang paling kuat melindungi manusia dari kekuatan negatif, angin, penyakit dan lain-lain (oni emin ha’a wara’).

Neonbasu juga menjelaskan bahwa pemahaman masyarakat Timor (termasuk Kedang) selalu dikaji melalui hubungan antara ekologi dan yang sakral, ekologi dan mitos, ekologi dan simbol. Misalnya poin pertama, ekologi membantu manusia untuk memahami hakekat dari yang sakral. Sakralitas tersebut diketahui manusia berkat perjumpaan dengan ekologi. Orang Kedang misalnya melihat pohon rita sebagai pohon kehidupan (ite arin) berdasarkan perjumpaan itu. Manusia merefleksikan arti yang sakral melalui perjumpaan dengan alam raya. Pohon rita selalu bermakna kesuburan (ite nanan), pohon yang lurus bermakna kebaikan.

Ritus sebagai Jembatan

Lebih lanjut Neonbasu menjelaskan bahwa masyarakat Timor juga menjadikan ritus sebagai jembatan pemulihan atau harmoni. Jadi ketika ada disharmoni antara manusia dengan Yang Ilahi, manusia dengan alam raya dan leluhur juga sesama manusia maka dibuatlah ritus untuk memulihkan kembali hubungan yang retak itu. Hal ini juga ditemukan di Kedang, setiap kesalahan-kesalahan, kehilangan, kematian tak wajar, konflik akan diperbaiki melalui ritus-ritus adat.

Misalnya dua saudara kandung yang berkonflik gara-gara tanah tidak sekadar berjabat tangan lalu selesai, mesti ada ritus ita’ pota’ bela kame. Inilah sebenarnya, warisan-warisan sakral dan sangat bermakna untuk manusia.

Namun, kecenderungan para ahli sebagaimana diungkapkan Neonbasu, selalu melihat praktik ritus sebagai penyembahan berhala dan yang sia-sia tanpa masuk lebih  ke dalam untuk mengenal dan memahaminya. Mungkin juga kita, setelah pulang dari kota hanya karena sudah baca satu buku mulai cap warisan leluhur khusus ritus sebagai yang berhala tanpa terlibat dan mendalaminya secara serius untuk menemukan makna yang otentik.

Setiap ritus punya makna dan bermanfaat untuk manusia maka hingga hari ini tetap diwariskan dan dijaga.

.

Post a Comment for "Tuak, Batu dan Pohon dalam Ritus Adat Orang Kedang dan Maknanya"