DOLU TIBANG AWU'
Awan putih membentang di atas puncak
Uyelewun; meneteskan embun segar satu per satu dan lahirlah kesejukan. Rasanya
seperti sedang berada pada sebuah taman murni yang lazim di sebut Eden oleh
Kitab Suci Yahudi. Beraneka jenis binatang hutan bermunculan dan mencari hidup
pada hutan belantara yang menjanjikan kehidupan.
Burung-burung mengepakkan
sayap dan terbang melingkar di atas Leu Rian.
Anak-anak manusia bermain Oni nito’
dan tepat di sini terjadilah sebuah peristiwa sejarah; mungkin sejarah ini
telah lama dilupakan atau barangkalai dimanipulasi oleh orang-orang yang tak
menghendaki sebuah kebenaran sejarah anak manusia.
Pada
mulanya adalah Uyolewun; padanya lahirlah berlipat-lipat manusia hingga pada
tiga orang bersaudara yaitu Ulun Pulo, le'ang pulo dan
Subang Pulo. Subang Pulo melahirkan
Buya’ Subang (keturunannya mayoritas orang Kedang), sedangkan Ulun Pulo
melahirkan Tuang Ulun (Tuang Balonu) dan Raya Ulun (Raya Balonu). Tuang Ulun
dan Raya Ulun kemudian berpindah ke daerah Wei Lolon.
Mereka memiliki banyak harta dan membentuk sebuah kerajaan (suku) di
kampung Wei Lolon. Harta yang paling berharga yaitu sebuah mata kail emas yang
jatuh dari langit dan menjadi milik sang kakak yaitu Tuang Ulun. Pada suatu
hari sang adik, Raya Ulun ingin pergi mencari ikan. Namun, dia tidak memiliki
peralatan Pancing seperti mata kail sehingga timbul niat jahat dalam hatinya
untuk menggunakan mata kail milik sang kakak.
Dia pun mengambil mata kail emas
tersebut tanpa sepengetahuan sang kakak kemudian pergi mengail di pantai. Usahanya untuk mencari ikan membuahkan mala petaka karena mata
kail tersebut tersangkut pada kerongkongan seeekor ikan raksasa. Peralatan pancingnya
putus dan mata kail emas itu ditelan oleh ikan raksasa tersebut.
Dia merasa
cemas karena memikul beban dosa ganda yaitu mencuri mata kail sang kakak juga
tidak bertanggung jawab dalam menggunakan mata kail emas itu. Niat untuk
kembali ke rumah dan menemui sang kakak selalu mengusik batinnya sebab sang
kakak dikenal sangat keras tingkah lakunya atau manusia bertangan besi.
Namun,
dengan pertimbangan mendalam, Raya Ulun pun berani melangkah untuk kembali
menemui kakaknya dan menceritakan pengalaman pahit tersebut. Sebab menurut dia,
lebih baik jujur jika ingin selamat. Mendengar cerita itu, sang kakak menjadi
marah mendadak dan memaksa sang adik harus mengembalikan mata kail emas itu,
jika tidak, Raya Ulun tidak berhak lagi untuk menetap dalam kerajaan mereka.
Raya Ulun menjalankan perintah itu dengan hati penuh kegetiran. Berhari-hari ia
mencari mata kail di pantai sambil berdoa agar mata kail itu segera ditemukan. Namun,
kerinduan itu selalu memunculkan tanya. Pada suatu saat, ketika ia sedang asyik
tidur sampai nyenyak di pinggir pantai berpasir putih, ia bermimpi bahwa ada
seorang manusia dari kerajaan Laut datang menghampirinya dan menceritakan bahwa
raja mereka yang bernama Mauliu menderita sakit pada bagian kerongkongan.
Lantas, Raya Ulun pun meyakinkan orang itu bahwa dia mampu menyembuhkan raja
mereka. Akhirnya mereka bersepakat untuk pergi ke kerajaan laut dengan persyaratan,
selama perjalanan Raya Ulun harus menutup mata hingga tiba di istana kerajaan.
Setibanya di istana kerajaan, Raya Ulun memperkenalkan dirinya dan
memerintahkan supaya semua anggota kerajaan harus berada di luar kamar sang
raja kecuali dia dan raja. Ternyata sang raja menderita sakit pada bagian
kerongkongan. Raya Ulun sudah yakin bahwa penyebab penyakit itu ialah mata kail
emas milik Tuang Ulun.
Namun, untuk mengambil mata kail itu dibutuhkan usaha
yang keras dan kreatif sehingga ia mengambil sebuah mata kail biasa yang ia
bawa dari darat sebagai siasat. Raya Ulun pun memerintahkan raja itu untuk
menutup mata dan mulailah ia mengambil mata kail emas itu dan menyembunyikannya
dalam saku bajunya kemudian mengambil mata kail biasa untuk diperlihatkan
kepada sang raja bahwa kail itulah yang menjadi penyebabnya.
Semua anggota
kerajaan sangat bergembira dan berpesta bersama merayakan peristiwa luar biasa
ini. Sebelum Raya Ulun kembali ke darat, ia disuguhkan beraneka hadiah emas.
Namun, tidak satupun yang ia terima kecuali permintaanya sendiri yaitu sebatang
talas (odel) yang tumbuh subur di sudut kerajaan.
Keesokannya, Raya Ulun pun
kembali ke kerajaan Wei Lolon dengan hati berkobar-kobar laksana kobaran lidah
api lantas mengembalikan kail itu kepada Tuang Ulun seraya berjanji untuk tidak
mengulangi perbuatannya. Sebatang talas yang dihadiahkan oleh raja Madaliu itu, kemudian
ditanam di pinggir sebuah mata air dan bertumbuh subur sebagai simbol kenangan
sekaligus perjuangan keras dan murni (laksana embun di daun talas).
Suatu
ketika, Tuang Ulun pergi mengambil air di mata air tersebut dan ketika hendak
kembali, turunlah hujan dengan sangat deras dan tajam. Untuk melindungi
kepalanya, iapun tanpa pertimbangan matang memotong sehelai daun talas milik
Raya Ulun. Setelah mengetahui bahwa, Tuang Ulun telah memotong daun talasnya,
Raya Ulun mengamuk dan menuntut ganti rugi dari sang kakak.
Sebab pengalaman
pahit yang pernah ia rasakan belum menyembuhkan hatinya yang sakit.Tuntutannya
sangat keras yaitu, Tuang Ulun harus menyambung kembali daun talas itu. Namun,
Tuang Ulun tidak mampu melakukannya sehingga mereka membuat sebuah kesepakatan.
Raya Ulun selaku adik ingin pergi dari Wei Lolon, Kedang ke tempat lain untuk
menemukan kebebasannya, sedangkan sang kakak yaitu Tuang Ulun diberi tanggung
jawab untuk tetap menjaga harta kerajaan mereka.
Raya Ulun akhirnya mengembara
ke seberang lautan (mungkin ke adonara daerah lamaholot karena mitos ini hampir diakui di semua daerah lamaholot). Sedangkan Tuang Ulun melahirkan banyak keturunana yang berpencar ke segala arah dan salah satunya ke Atanila melahirkan suku yang masih ada di Kedang yaitu,
La Mukang dan Landawa yang saat ini menetap di Leu tamal Desa
Dolulolong, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata. Perjalanan ke Leu tamal rawa Atarodang dikenal
dengan syair:
Dolu leu tamal, Atanila leu ape
Dateng ko kewa dateng ko ape'
Rawa atarodang,Toyaq piling, ide' piding
Dieng ko tutu', dieng piling
Dolu leu tamal,Witur ku' ruha sue
Dolu bale mete kue'
Rawa atarodang
Dolu bale ohaq tolak, Dasing roka’
be' wei bola'
Dolu leu tamal, Tebe' keleng lung ko moru'
Tibang bale be' rutang horu'
Rawa atarodang
One' laleng ko susa payah
Haba ko leu tuang tene maya'
Dolu leu tamal
Bunu' bora' ko tene kora, Pang ebeng
bale bora'
Rawa atarodang
Ribu ratu te adang ana'
Leu awu' ne’e puli panang.
Mengapa orang dolulolong bermigrasi dari Ataniala? Jawabanya, pada waktu itu, orang dolulolong yang menurut bapak Leu Odel wala bernama BOLI MAU DAN BARA MAU melepas pukat di darat untuk menangkap rusa maka terjadi bencana besar yang mengakibatkan 3 suku di atanila yaitu ODEL WALA, LEU APE, DOLULOLO’ (DOLU LUTUR/DOLULOLO') melarikan diri mencari tempat aman (bdk. Cerita tentang ASAL USUL ODEL WALA).
Mengapa orang dolulolong bermigrasi dari Ataniala? Jawabanya, pada waktu itu, orang dolulolong yang menurut bapak Leu Odel wala bernama BOLI MAU DAN BARA MAU melepas pukat di darat untuk menangkap rusa maka terjadi bencana besar yang mengakibatkan 3 suku di atanila yaitu ODEL WALA, LEU APE, DOLULOLO’ (DOLU LUTUR/DOLULOLO') melarikan diri mencari tempat aman (bdk. Cerita tentang ASAL USUL ODEL WALA).
Namun sebelum ke Leu tamal, orang
dolulolong yaitu Pito Boro (Turunannya suku lamukang) dan Mau Boro (suku Landawa) singgah
di bagian antara Leu Tuan hobamatan dan Tua’mado, lalu mereka bergerak
menuju ke Leu Tuan Peu Uma sawa. Di tempat itu mereka menetap bersama
orang-orang Peu uma sawa khususnya suku Leu mara yaitu di uru tahi’, raja Liang
lolon , Kewa pai naman. Beberapa tahun menetap di situ tetapi kehidupan mereka
tidak aman karena selalu mendapat ancama dari binatang hutan.
Maka mereka
bersepakat untuk meminta bantuan dari Uhe Awu’(dewa tanah); kira-kira dimana tempat yang
cocok bagi mereka? Kemudian Uhe menjawab :
"O atedi’en tubar nore topi, lei nore
rupang o, mo' nibang tibang awu’ , nayang dayang tahi’ ko, bel tene hapi’
wayang ko, jadi o mo’ uli’ pua’ musti be meti wata (pesisir)".
Sebelum
perpisahan, mereka mengadakan ritual sayin bayan dengan orang peu uma sawa.
Orang dolu memberikan tanda mata berupa wue ude' nore mal turin ude' (sirih
pinang), demikian pun sebaliknya.
Sirih-pinang yang diberikan oleh orang dolu
(pesisir) yaitu, Pehe nore ruhu rogang yang kemudian dikenal dengan KIA’ RIAN sampai
hari ini. Sedangkan sirih-pinang dari Peu uma sawa menjadi Wa’ etung Inan nore
la’in yang masih disimpan di lokasi Liang Bono’ yang sampai saat ini dipakai
untuk ritual Nu Neyeng/ memanggil hujan untuk melayani Edang Ili Kole, watan
Tahi’ Buel.
Dari Liang Bono' Nahaq Laleng, mereka pindah ke Leu Tamal karena di sana mereka menimbang tanah terasa berat. artinya, Uhe Awuq mensahkan mereka untuk menetap di Leu Tamal Yang kemudian dikenal dengan dolulolong.
Narasumber : Amo beyeng (Hule), Leu odel (mahal 1), Marisu’ leu mukang (dolu), sili sulong (walang sawa), Mahrizal Landawa (dolu).
semoga pembaca bisa memberi tambahan
Lanjutkan karyamu ade..Sejarah Kedang harus dan wajib dilestarikan demi anak cucu kita.. 100% Support
ReplyDeletesiap
ReplyDeleteLuar biasa
ReplyDeleteterimakasi
Delete