Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

DOLU TIBANG AWU'



Rian Odel

          Awan putih membentang di atas puncak Uyelewun; meneteskan embun segar satu per satu dan lahirlah kesejukan. Rasanya seperti sedang berada pada sebuah taman murni yang lazim di sebut Eden oleh Kitab Suci Yahudi. Beraneka jenis binatang hutan bermunculan dan mencari hidup pada hutan belantara yang menjanjikan kehidupan.

Burung-burung mengepakkan sayap dan terbang melingkar di atas Leu Rian.  Anak-anak manusia bermain Oni nito’ dan tepat di sini terjadilah sebuah peristiwa sejarah; mungkin sejarah ini telah lama dilupakan atau barangkalai dimanipulasi oleh orang-orang yang tak menghendaki sebuah kebenaran sejarah anak manusia.


Pada mulanya adalah Uyolewun; padanya lahirlah berlipat-lipat manusia hingga pada tiga orang bersaudara yaitu  Ulun Pulo, le'ang pulo dan Subang Pulo.  Subang Pulo melahirkan Buya’ Subang (keturunannya mayoritas orang Kedang), sedangkan Ulun Pulo melahirkan Tuang Ulun (Tuang Balonu) dan Raya Ulun (Raya Balonu). Tuang Ulun dan Raya Ulun kemudian berpindah ke daerah Wei Lolon. 


Mereka memiliki banyak harta dan membentuk sebuah kerajaan (suku) di kampung Wei Lolon. Harta yang paling berharga yaitu sebuah mata kail emas yang jatuh dari langit dan menjadi milik sang kakak yaitu Tuang Ulun. Pada suatu hari sang adik, Raya Ulun ingin pergi mencari ikan. Namun, dia tidak memiliki peralatan Pancing seperti mata kail sehingga timbul niat jahat dalam hatinya untuk menggunakan mata kail milik sang kakak. 

Dia pun mengambil mata kail emas tersebut tanpa sepengetahuan sang kakak kemudian pergi mengail di pantai. Usahanya untuk mencari ikan membuahkan mala petaka karena mata kail tersebut tersangkut pada kerongkongan seeekor ikan raksasa. Peralatan pancingnya putus dan mata kail emas itu ditelan oleh ikan raksasa tersebut. 

Dia merasa cemas karena memikul beban dosa ganda yaitu mencuri mata kail sang kakak juga tidak bertanggung jawab dalam menggunakan mata kail emas itu. Niat untuk kembali ke rumah dan menemui sang kakak selalu mengusik batinnya sebab sang kakak dikenal sangat keras tingkah lakunya atau manusia bertangan besi. 

Namun, dengan pertimbangan mendalam, Raya Ulun pun berani melangkah untuk kembali menemui kakaknya dan menceritakan pengalaman pahit tersebut. Sebab menurut dia, lebih baik jujur jika ingin selamat. Mendengar cerita itu, sang kakak menjadi marah mendadak dan memaksa sang adik harus mengembalikan mata kail emas itu, jika tidak, Raya Ulun tidak berhak lagi untuk menetap dalam kerajaan mereka. 

Raya Ulun menjalankan perintah itu dengan hati penuh kegetiran. Berhari-hari ia mencari mata kail di pantai sambil berdoa agar mata kail itu segera ditemukan. Namun, kerinduan itu selalu memunculkan tanya. Pada suatu saat, ketika ia sedang asyik tidur sampai nyenyak di pinggir pantai berpasir putih, ia bermimpi bahwa ada seorang manusia dari kerajaan Laut datang menghampirinya dan menceritakan bahwa raja mereka yang bernama Mauliu menderita sakit pada bagian kerongkongan. 

Lantas, Raya Ulun pun meyakinkan orang itu bahwa dia mampu menyembuhkan raja mereka. Akhirnya mereka bersepakat untuk pergi ke kerajaan laut dengan persyaratan, selama perjalanan Raya Ulun harus menutup mata hingga tiba di istana kerajaan. 

Setibanya di istana kerajaan, Raya Ulun memperkenalkan dirinya dan memerintahkan supaya semua anggota kerajaan harus berada di luar kamar sang raja kecuali dia dan raja. Ternyata sang raja menderita sakit pada bagian kerongkongan. Raya Ulun sudah yakin bahwa penyebab penyakit itu ialah mata kail emas milik Tuang Ulun. 

Namun, untuk mengambil mata kail itu dibutuhkan usaha yang keras dan kreatif sehingga ia mengambil sebuah mata kail biasa yang ia bawa dari darat sebagai siasat. Raya Ulun pun memerintahkan raja itu untuk menutup mata dan mulailah ia mengambil mata kail emas itu dan menyembunyikannya dalam saku bajunya kemudian mengambil mata kail biasa untuk diperlihatkan kepada sang raja bahwa kail itulah yang menjadi penyebabnya. 

Semua anggota kerajaan sangat bergembira dan berpesta bersama merayakan peristiwa luar biasa ini. Sebelum Raya Ulun kembali ke darat, ia disuguhkan beraneka hadiah emas. Namun, tidak satupun yang ia terima kecuali permintaanya sendiri yaitu sebatang talas (odel) yang tumbuh subur di sudut kerajaan. 

Keesokannya, Raya Ulun pun kembali ke kerajaan Wei Lolon dengan hati berkobar-kobar laksana kobaran lidah api lantas mengembalikan kail itu kepada Tuang Ulun seraya berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya. Sebatang talas yang dihadiahkan oleh raja Madaliu itu, kemudian ditanam di pinggir sebuah mata air dan bertumbuh subur sebagai simbol kenangan sekaligus perjuangan keras dan murni (laksana embun di daun talas). 

Suatu ketika, Tuang Ulun pergi mengambil air di mata air tersebut dan ketika hendak kembali, turunlah hujan dengan sangat deras dan tajam. Untuk melindungi kepalanya, iapun tanpa pertimbangan matang memotong sehelai daun talas milik Raya Ulun. Setelah mengetahui bahwa, Tuang Ulun telah memotong daun talasnya, Raya Ulun mengamuk dan menuntut ganti rugi dari sang kakak. 

Sebab pengalaman pahit yang pernah ia rasakan belum menyembuhkan hatinya yang sakit.Tuntutannya sangat keras yaitu, Tuang Ulun harus menyambung kembali daun talas itu. Namun, Tuang Ulun tidak mampu melakukannya sehingga mereka membuat sebuah kesepakatan. Raya Ulun selaku adik ingin pergi dari Wei Lolon, Kedang ke tempat lain untuk menemukan kebebasannya, sedangkan sang kakak yaitu Tuang Ulun diberi tanggung jawab untuk tetap menjaga harta kerajaan mereka. 

Raya Ulun akhirnya mengembara ke seberang lautan (mungkin ke adonara daerah lamaholot karena mitos ini hampir diakui di semua daerah lamaholot).  Sedangkan Tuang Ulun melahirkan banyak keturunana yang berpencar ke segala arah dan salah satunya ke Atanila melahirkan  suku yang masih ada di Kedang yaitu, La Mukang dan Landawa yang saat ini menetap di Leu tamal Desa Dolulolong, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata.  Perjalanan ke Leu tamal rawa Atarodang dikenal dengan syair:

Dolu leu tamal, Atanila leu ape
Dateng ko kewa dateng ko ape'
Rawa atarodang,Toyaq piling, ide' piding
Dieng ko tutu', dieng piling
Dolu leu tamal,Witur ku' ruha sue
Dolu bale mete kue'
Rawa atarodang
Dolu bale ohaq tolak, Dasing roka’ be' wei bola'
 Dolu leu tamal, Tebe' keleng lung ko moru'
Tibang bale be' rutang horu'
Rawa atarodang
One' laleng ko susa payah
Haba ko leu tuang tene maya'
Dolu leu tamal
Bunu' bora' ko tene kora, Pang ebeng bale bora'
Rawa atarodang
Ribu ratu te adang ana'
Leu awu' ne’e puli panang.



Mengapa orang dolulolong bermigrasi dari Ataniala? Jawabanya, pada waktu itu, orang dolulolong yang menurut bapak Leu Odel wala bernama BOLI MAU DAN BARA MAU melepas pukat di darat untuk menangkap rusa maka terjadi bencana besar yang mengakibatkan 3 suku di atanila yaitu ODEL WALA, LEU APE, DOLULOLO’ (DOLU LUTUR/DOLULOLO') melarikan diri mencari tempat aman (bdk. Cerita tentang ASAL USUL ODEL WALA).

Namun sebelum ke Leu tamal, orang dolulolong yaitu Pito Boro (Turunannya suku lamukang) dan Mau Boro (suku Landawa) singgah  di bagian antara Leu Tuan hobamatan dan Tua’mado, lalu mereka bergerak menuju ke Leu Tuan Peu Uma sawa. Di tempat itu mereka menetap bersama orang-orang Peu uma sawa khususnya suku Leu mara yaitu di uru tahi’, raja Liang lolon , Kewa pai naman. Beberapa tahun menetap di situ tetapi kehidupan mereka tidak aman karena selalu mendapat ancama dari binatang hutan. 

Maka mereka bersepakat untuk meminta bantuan dari Uhe Awu’(dewa tanah); kira-kira dimana tempat yang cocok bagi mereka? Kemudian Uhe menjawab :

"O atedi’en tubar nore topi, lei nore rupang o, mo' nibang tibang awu’ , nayang dayang tahi’ ko, bel tene hapi’ wayang ko, jadi o mo’ uli’ pua’ musti be meti wata (pesisir)".

Sebelum perpisahan, mereka mengadakan ritual sayin bayan dengan orang peu uma sawa. Orang dolu memberikan tanda mata berupa wue ude' nore mal turin ude' (sirih pinang), demikian pun sebaliknya. 

Sirih-pinang yang diberikan oleh orang dolu (pesisir) yaitu, Pehe nore ruhu rogang  yang kemudian dikenal dengan KIA’ RIAN sampai hari ini. Sedangkan sirih-pinang dari Peu uma sawa menjadi Wa’ etung Inan nore la’in yang masih disimpan di lokasi Liang Bono’ yang sampai saat ini dipakai untuk ritual Nu Neyeng/ memanggil hujan untuk melayani Edang Ili Kole, watan Tahi’ Buel.

Dari Liang Bono' Nahaq Laleng, mereka pindah ke Leu Tamal karena di sana mereka menimbang tanah terasa berat. artinya, Uhe Awuq mensahkan mereka untuk menetap di Leu Tamal Yang kemudian dikenal dengan dolulolong. 

Narasumber : Amo beyeng (Hule), Leu odel (mahal 1), Marisu’ leu mukang (dolu), sili sulong (walang sawa), Mahrizal Landawa (dolu).

semoga pembaca bisa memberi tambahan


4 comments for "DOLU TIBANG AWU'"