Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Pondok Pesantren walisanga Ende: Rumah Toleransi


DI PONDOK PESANTREN WALISANGA ENDE



Oleh Force Nara
Mahasiswa, tinggal di Nita Maumere


Kerja sama antara SVD Provinsi Ende dan Pondok Pesantren Walisanga: Bentuk Toleransi yang nyata

          Kerja sama antara Serikat sabda Allah (SVD) dengan Pondok Pesantren Walisanga Ende membawa cahaya perdamaian, persatuan dan gema toleransi yang tentunya memengaruhi cara orang beragama dan berelasi dalam perbedaan. Kerjasama itu tidak hanya dilihat sebatas pada kerja sama untuk saling menguntungkan atau saling membantu dalam hal-hal teknis, tetapi juga lebih dari itu dimaknai sebagai dialog antaragama yang didasari oleh keterbukaan dan kesediaan untuk saling menerima. Pada bagian ini, penulis akan menampilkan sedikit seputar sejarah kerja sama antara   keduanya dan menelisik lebih jauh seputar Pondok Pesantren Walisanga yang dilihat sebagai wadah dialog antarumat beragama.

Sejarah kerjasama antara Pondok Pesantren Walisanga dengan SVD

          Berbicara seputar sejarah kerjasama antara Pondok Pesantren Walisanga dan SVD tidak bisa lepas dari dua sosok penting, yakni Haji Mahmud (pendiri PonPres) dengan P. Ben Baack, SVD. Kedua tokoh ini mulai menjalin hubungan keakraban sekitar tahun 1971, dan pada tahun-tahun inilah keduanya membangun kerja sama melalui dialog demi tercapainya suatu tujuan yakni mencerdaskan manusia khususnya di Kabupaten Ende.[1]
          Untuk mencapai kecerdasan manusia tersebut, Haji Mahmud pun mulai mengadakan dialog dengan Pater Ben Baack, SVD dan menyampaikan niatnya untuk mendirikan sebuah panti asuhan Islam. Niat baik ini pun direspons baik oleh Pater Ben Baack, SVD. Bukti dukungannya itu dinyatakan lewat sumbangan beberapa bahan material untuk pembangunan gedung panti asuhan itu. Waktu itu pembangunan gedung dibuat di Jalan Perwira, Kelurahan Kota Ratu, Kecamatan Ende, tidak jauh dari Biara Santo Yosep Ende.[2]
          Kerjasama antara keduanya berlanjut hingga generasi penerusnya. Hal ini ditandai dengan hadirnya para Frater SVD dalam lingkup Pondok Pesantren Walisanga Ende hingga saat ini. Menurut sumber yang diperoleh, perutusan Frater SVD ke Pondok Pesantren Walisanga Ende sudah terjadi sejak tahun 1995, dan Frater pertama yang menjalani praktek di lembaga ini ialah Frater Leo Gade, SVD yang kini sudah menjadi misionaris di Amerika Latin.[3]

Pondok Pesantren Walisanga: Wadah Dialog Antarumat Beragama

Tidak ada kedamaian di dunia tanpa kedamaian di antar agama-agama. Tidak ada kedamaian di antar agama-agama tanpa dialog di antar agama-agama. Tidak ada dialog di antar agama-agama tanpa pengetahuan yang benar tantang agama-agama.[4]

Pernyataan ini dicetuskan pertama kali oleh Hans Kung, seorang teolog Katolik berkebangsaan Swiss. Melalui pernyataan ini, Ia mencoba membuka gagasan pemahaman kita akan pentingnya hidup rukun di tengah perbedaan yang ada. Pernyataan di atas pun serasa menjadi ‘Pekerjaan Rumah’ yang harus diselesaikan di tengah  sikap  fanatisme yang seakan menjadi tuan atas diri setiap orang. Pelbagai upaya pun telah dilakukan untuk mempersatukan perbedaan-perbedaan yang ada. Salah satu usaha relevan adalah dengan melakukan dialog antaragama.
          Kerja sama antara SVD dan Pondok Pesantren Walisanga Ende sebagaimana diuraikan di atas mungkin menjadi satu langkah jitu dalam mempersatukan setiap perbedaan, baik perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan. Misi kehadiran SVD dalam diri para Frater merupakan misi dialog profetis. Misi ini mencakup dua hal yang menjadi perhatian SVD yaitu memperhatikan nasib anak-anak miskin di PonPres Walisanga Ende serta mengembangkan dialog antarumat beragama khususnya antara Islam dan Katolik.[5] Dengan demikian, PonPes Walisanga Ende menjadi rumah yang ramah terjadinya dialog kehidupan di tengah fakta pluralitas agama dan keyakinan. Tak dapat disangkal bahwa relasi yang baik antara para frater SVD dan para santri PonPes Walisanga Ende ini telah menjadi semacam sinyal yang memberi suntikan nilai positif bahwa toleransi, keberagaman dan perbedaan dapat dijaga dan dipelihara. Selalu ada kemungkinan untuk membangun persatuan dalam keberbedaan, apabila ada keterbukaan hati untuk saling menerima dan melengkapi. 
          Dilihat dari kacamata manusiawi, kehadiran dan keterlibatan para Frater pada lembaga Islam ini tentu melahirkan dua sikap yang bertentangan, yakni kekaguman dan kecemasan. Kekaguman ini dilihat dari sisi perbedaan agama itu sendiri, dalam hal ini ditandai dengan kehadiran para frater yang notabene beragama Katolik memberi warna baru bagi komunitas PonPes yang pada umumnya dihuni oleh kaum Muslim. Selain itu, kecemasan itu berangkat dari isu  katolikisasi atau mengkatolikan para santri. Akan tetapi, isu-isu seperti ini sudah diluruskan oleh Haji Nurdin Hasan, dalam suatu kesempatan ceramah di depan para santri. Dalam ceramah tersebut ia menandaskan bahwa:
“......menyangkut keyakinan itu sangat pribadi, tetapi dalam hal pendidikan siapa saja bisa datang ke PonPes Ende. Sebab Islam juga tidak mempersalahkan tentang perbedaan agama, suku dan bahasa; yang harus diutamakan adalah silahturahmi, yakni kunjung mengunjung atau kenal-mengenal di antara kita. Keyakinan inilah yang melanggengkan kerja sama lintas agama di PonPes Ende ini”.[6]  

 Di sini, penulis melihat bahwa kehadiran para frater sesungguhnya menjadi berkat bukan hanya untuk SVD, melainkan juga Pondok Pesantren Walisanga Ende, sebab kerjasama ini  membawa kedua pihak pada pola pikir yang matang, wawasan yang cukup seputar keagamaan (diantara kedua agama) dan menjadi toleran. Namun demikian, jika ditilik lebih luas, wacana tentang toleransi di Indonesia masih problematis. Hal terlihat dari maraknya intoleransi baik antaragama maupun antarorganisasi yang ada dalam tubuh agama-agama. Semoga rumah sejuk Pesantren Walisanga Ende menjadi cermin untuk toleransi di Indonesia. (Editor Rian Odel).







[1]Vitalis Nasrudin, “Meneropong Realitas Dialog antara SVD Ende dan Pondok Pesantren Walisanga Ende dalam Terang Lukas 7:1-10 dan Relevansinya Bagi Kita Dewasa Ini” (Tesis, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, 2018), hlm. 37.
[2]Ibid., hlm. 38.
[3]Ibid.
[4] Vincentius Ferer Dede, “Komunitas Muslim Pribumi Oe’ekam,Amanubam Timur,Timor Tengah Selatan dan Keterlibatannya dalam Dialog dengan Umat Kristen Protestan dan Umat Katolik” (Tesis, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, 2017), hlm. iv.
[5]Vitalis Nasrudin, Loc. cit.
[6]Siti Halimah Assyadiyah, “Pondok Pesantren Walisanga Ende: Lembaga Pendidikan Islam yang Inklusif”, dalam Philipus Tule dkk. (eds.), Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT (Maumere: Penerbit Ledalero, 2015), hlm. 330.


Post a Comment for "Pondok Pesantren walisanga Ende: Rumah Toleransi"