Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Makna Teologis di Balik Ritus Tunu (Bagian 2/habis)


Oleh Marianus Fahik; Mahasiswa STFK Ledalero


4.1    Makna Teologis di Balik Ritus Tunu: Sebuah Perbandingan

            Masyarakat Lasiolat sudah sejak lama mengenal ritus tunu. Nenek moyang dan para leluhur masyarakat Lasiolat telah memberikan suatu model yang tepat terkait upaya menjaga ritus tunu dan mewariskannya ke generasi penerus. Namun demikian, laju perkembangan zaman seakan-akan menutup pemahaman dan penghayatan masyarakat tentang makna di balik ritus tunu. Penjelasan pada bab II membuka pemahaman kita bahwa ritus tunu sebagai situs ulayat masyarakat Lasiolat belum mampu berakar dalam penghayatan yang tepat. Masyarakat cenderung memandangnya hanya sekadar formalitas yang diadakan setiap kali terjadi bencana dan malapetaka. Dosa dan kesalahan yang dilakukan masyarakat mengharuskan mereka untuk menyampaikan permohonan maaf dan mengharapkan adanya pertobatan dalam langkah laku selanjutnya. Namun demikian, model pemahaman demikian tampak mereduksi nilai mendasar yang terkandung di dalam ritus tunu. Oleh karena itu, diperlukan suatu pemahaman yang tepat agar masyarakat tidak sekedar melaksanakannya sebagai formalitas belaka, tetapi lebih dari itu menggali makna teologis di balik pelaksanaan ritus tunu.

            Upaya memahami makna teologis di balik ritus tunu dapat diketahui dengan membuat perbandingan antara setiap unsur dalam teologi Kristen dengan tahapan penting yang dibuat dalam ritus tunu. Perbandingan antara keduanya dimaksud untuk mencari titik temu agar masyarakat yang menjalankannya dapat memahami bahwa di balik ritus tunu terdapat sebuah makna teologis. Pemahaman yang tepat terhadap makna di balik ritus tunu akan sanggup mengubah pola pikir dan penghayatan masyarakat dalalm pelaksanaan ritus tunu di waktu-waktu mendatang.

4.1.1        Konsep Allah dalam Ritus Tunu

            Pada prinsipnya Allah tak dapat dikenal dan dialami oleh manusia apabila Ia tidak menjelmakan diri dalam peradaban dan kebudayaan manusia. Manusia mengenal Allah justru dalam kehidupan konkretnya, dalam konteks kultural dengan segala keterbatasan-keterbatasan manusiawinya. Oleh karena itu secara teologis, Allah tidak lagi menjadi kenyataan transenden yang jauh dari pengalaman konkret manusia tetapi kini menjadi kenyataan yang dapat dialami secara langsung dalam kebudayaan manusia sendiri. Konsekuensinya, teologi kini bersifat antropologis dan kontekstual. Secara teleologis, teologi konstektual berbicara tentang keterarahan diri manusia demi mencapai kebahagiaan bersama Allah.

            Dalam kebudayaan masyarakat Lasiolat, Allah memang secara teoretis tidak diungkapkan dengan nama yang definitif sebagai “Allah” yang dipakai dalam konteks kekristenan. Namun sebagai kekuatan yang tak terbatas dan melampaui kekuatan manusia, Allah lebih kurang diungkapkan dalam dua nama yakni Nai Luli Waik Nai Manas Waik dan Nai Maromak. Dengan kedua nama yang diungkapkan ini, masyarakat Lasiolat mengalami diri-Nya dalam kebudayaan, dalam ritus tunu.

            Term Nai Luli Waik Nai Manas Waik dipakai secara umum dalam kebudayaan masyarakat adat Lasiolat. Secara etimologis, term ini terdiri atas beberapa kata yakni; Nai waik yang berarti kakak tertua atau kakak sulung, Luli yang berarti pemali, dan Manas yang berarti panas. Secara harafiah, Nai Luli Waik Nai Manas Waik berarti yang paling sulung, yang dipemalikan dan yang bercahaya. Nai Luli Waik Nai Manas Waik berarti Dia yang bercahaya, terbesar dan yang tertinggi.[1]

            Sedangkan Nai Maromak sendiri merupakan kata bahasa Tetun yang jika diterjemahkan secara lurus berarti “Allah Bapa.” Istilah ini sebenarnya merupakan istilah baru yang muncul dalam pengetahuan dan pengalaman masyarakat Lasiolat khususnya setelah terjadi inkulturasi kekristenan ke dalam kebudayaan masyarakat Lasiolat. Lebih dari itu, term Nai Maromak ini dipakai secara terbatas dan biasanya hanya ditemukan dalam rumusan doa-doa berbahasa Tetun. Sedangkan dalam konteks yang lebih luas, teristimewa dalam berbagai pelaksanaan ritus-ritus keagamaan, yang lebih digunakan adalah term Nai Luli Waik Nai Manas Waik. Oleh karena itu, Allah yang lebih dikenal dalam berbagai praktik kultural terutama dalam konteks ini, ritus tunu disapa sebagai Nai Luli Waik Nai Manas Waik.

            Dalam ritus tunu, ungkapan Nai Luli Waik Nai Manas Waik menunjukkan secara jelas hakikat keberadaan Wujud Tertinggi dan sifat-Nya dalam relasi dengan masyarakat Lasiolat. Oleh karena itu, ritus tunu dapat dipandang kini sebagai suatu “teologi kontekstual” dengannya Allah menjelmakan diri-Nya dalam budaya masyarakat Lasiolat sehingga masyarakat Lasiolat yang mengalami kehadiran-Nya dalam budaya itu serentak beriman pada-Nya.

            Sejauh hakikat-Nya sebagai Wujud Tertinggi, ada beberapa sapaan terhadap Dia yang kudus, bercahaya, dan tertinggi ini teristimewa yang dapat ditemukan dalam doa yang dibawakan saat masyarakat Lasiolat melaksanakan ritus tunu yakni: pertama, Iha Leten Ba Iha as Ba”, yang berarti Dia yang berada di atas sana dan yang paling tinggi dari semua yang lain.

            Dalam doa-doa yang dipakai masyarakat Lasiolat ketika mempersembahkan kurban bakaran terdapat ungkapan iha leten ba iha as ba. Dengan sapaan ini, Wujud Tertinggi menempati posisi yang sangat tinggi dan jauh di atas kehidupan manusia. Dengan demikian, masyarakat Lasiolat menyadari bahwa Tuhan adalah pribadi yang tidak bisa dijangkau dan tidak bisa dilihat secara kasat mata. Ia begitu tinggi dan jauh melampaui kemampuan manusia untuk menggapainya. Melalui ritus tunu, masyarakat memohonkan agar Ia yang berada di atas yang jauh segera turun dan memperhatikan mereka yang datang dan menyembah-Nya. O mak iha leten ba no as ba ne te Tun Lai mai Ami niabe ami hodi Haroan an ba ita Fo lai matak malirin ba ami. Yang berarti; Engkau yang berada di atas turunlah ke sini, kami ingin memohon kepadaMu berikanlah kami berkatMu.

Kedua, “Iha fitun Leten Iha fulan fohon”. Artinya di atas bintang di atas bulan. Ciri Allah ini memiliki pengertian yang tidak berbeda dengan pengertian pada hakikat pertama di atas. Yang Kudus dan Yang Ilahi itu merupakan pribadi yang begitu tinggi melebihi bulan dan bintang. Demikianpun cahaya-Nya lebih terang dari cahaya bulan dan bintang. Terang dan cahaya-Nya merupakan simbol keagungan dan kebesaran-Nya.

            Ketiga, Bi’i Ain La da’i Lolo Liman La to’o”. Artinya jinjit pun tidak sampai, angkat tangan pun tidak sampai. Kalimat ini selain menjelaskan tentang keterbatasan manusia yang tidak mampu menggapai kebesaran Allah, tetapi juga menunjukkan bahwa Allah begitu tinggi dan manusia begitu pendek. Allah begitu kuat dan manusia begitu lemah dan tidak berdaya. Manusia tidak memiliki kekuatan untuk menyejajarkan diri dengan-Nya dan berada di dekat-Nya.

            Keempat, Nai Lakan Oan Nai Roman Oan”. Artinya Putera Cahaya dan Putera Terang. Melalui kalimat ini Nai Luli Waik Nai Manas Waik dianggap sebagai terang yang menerangi jalan kehidupan orang Lasiolat dan cahaya bagi mereka yang sedang berada di dalam penderitaan. Ketika orang Lasiolat berada di dalam kegelapan atau penderitaan, ketika hasil panen mereka selalu gagal, musim kemarau yang berkepanjangan, sakit penyakit yang sulit untuk diobati, kematian pada hewan-hewan peliharaan tanpa meninggalkan alasan, maka mereka akan pergi mencari Dia yang disebut Putera Terang dan Putera Cahaya. Hanya kepada-Nyalah semua keluhan ditujukan dan semua penderitaan bisa diatasi.

            Sebagai Wujud Tertinggi yang mampu menyelamatkan manusia dari berbagai persoalan, Nai Luli Waik Nai Manas Waik memiliki sifat-sifat tertentu yang dapat dirasakan oleh masyarakat Lasiolat. Sifat-sifat itu antara lain: pertama, maha pengampun. Salah satu alasan yang melatarbelakangi jalannya ritus tunu adalah adanya kepercayaan bahwa Nai Luli Waik Nai Manas Waik akan mengampuni semua dosa yang sudah dilakukan dan membebaskan masyarakat Lasiolat dari segala jenis beban atau bencana yang membelenggu kehidupan mereka. Oleh karena itu, sejahat apapun tindakan yang mereka lakukan, Nai Luli Waik Nai Manas Waik akan tetap mengampuni mereka. Konsep ini meyakinkan masyarakat Lasiolat bahwa ritus tunu menjadi jalan penting bagi pembentukan sikap tobat yang benar.

            Kedua, mahamurah dan berbelas kasih. Sebagai manusia lemah dan berdosa, orang Lasiolat seringkali jatuh dalam berbagai tindakan kejahatan. Kejahatan-kejahatan tersebut seperti; membunuh, mencuri, berselingkuh, membicarakan keburukan orang lain, memfitnah, dan lain sebagainya. Meskipun tindakan mereka itu penuh kejahatan tetapi karena Allah yang mereka miliki adalah Allah yang murah hati, maka mereka percaya bahwa mereka tetap diberikan kesempatan untuk bertobat. Ritus tunu, karena itu menjadi sebuah ritus pertobatan.

            Ketiga, sumber berkat. Masyarakat Lasiolat selalu meminta berkat dari Wujud Tertinggi melalui ungkapan fo is mai lai beran mai lai (berikanlah kami berkat dan rahmat-Mu). Kata-kata ini merupakan bagian dari permohonan yang dihaturkan kepada Nai Luli Waik Nai Manas Waik pada saat mempersembahkan kurban bakaran. Fo is mai lai beran mai lai merupakan sebuah ungkapan isi hati yang mendalam agar Tuhan setelah mengampuni kesalahan-kesalahan yang telah mereka lakukan, akan tetap memberikan berkat bagi orang Lasiolat menuju kehidupan baru mereka yang lebih baik. Berkat-berkat itu misalnya, berkat mengerjakan kebun, berkat mengiris tuak, memelihara ayam, menjaga babi, kebun berisi, tuak berair, dan sebagainya yang terus melimpah dari waktu ke waktu. Hoi ho o oan, ho o bein e ami mai buka, ami mai kewa matak inan, malirin inan nee Baiboke, nee We Knuk nodi kuru dato nola, niìt dato nola nodi nisk an, nodi baku an nodi simu matak, nodi simu mailrin  nodi wai mata-matak duùk, maliri - lirin duùk nodi nalo toòs, nodi koà tua nodi kari manu, nodi nahan fahi nalo toòs isin, nalo tua wen nodi nein fetsawa, nein uma mane. Yang artinya; dengan anak dan cucumu kami datang untuk mencari dan mengais, rahmat yang besar, berkat yang agung, di sini di Baiboke, di Weknuk untuk menimba dan mengambil dengan meriah untuk mereciki, untuk memberkati, agar dapat menerima berkat dan rahmat biarkan dia tetap berkembang tetap dipenuhi berkat untuk mengerjakan kebun, untuk mengiris tuak, untuk memelihara ayam, untuk menjaga babi, agar kebun berisi, tuak berair, untuk menanti Fetosawa dan Umamane.

Keempat, pelindung. Sebagai makhluk yang hidup di zaman yang serba instan, terdapat begitu banyak godaan dan tantangan yang datang menghampiri kehidupan orang Lasiolat, baik yang datang dari luar maupun dari dalam seperti segala jenis macam penyakit baik bencana alam seperti longsor, gempa bumi, musim kemarau berkepanjangan dan sebagainya. Di hadapan berbagai tantangan ini, orang Lasiolat yakin dan percaya bahwa tanpa perlindungan dari Nai Luli Waik Nai Manas Waik, tantangan-tantangan seperti ini akan silih berganti menghampiri mereka. Dengan perlindungan Nai Luli Waik Nai Manas Waik, maka mereka diselamatkan dari bahaya-bahaya seperti itu.

Dari sejumlah penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa ritus tunu yang dijalankan oleh masyarakat Lasiolat, sesungguhnya mengandung pemahaman tentang Allah. Meskipun tidak disebutkan secara langsung mengenai Allah, tetapi masyarakat Lasiolat mengenal konsep tentang Nai Luli Waik Nai Manas Waik dan Nai Maromak. Bagi mereka, kedua ungkapan tersebut memiliki arti yang paralel dengan Yang Kudus, Yang Maha Tinggi dan Putera Bapa.

Konsep mengenai Nai Luli Waik Nai Manas Waik dan Nai Maromak dalam ritus tunu mempunyai keserupaan dengan pemahaman tentang Allah dalam teologi Kristen. Keduanya sama-sama mengandung unsur yang transenden dan jauh melampaui kehidupan manusia. Ia yang transenden diharapkan dapat menolong kehidupan masyarakat yang tertimpa bencana karena kesalahan dan dosa yang dilakukan. Kepercayaan kepada Nai Luli Waik Nai Manas Waik dan Nai Maromak serempak menggerakkan masyarakat untuk membangun pertobatan melalui langkah laku yang sesuai dengan ajaran dan aturan hidup bersama.


Ketua adat sedang mempersembahkan kurban kepada roh Leluhur
di dalam rumah adat




 

4.1.2   Wahyu dalam Ritus Tunu: Allah Memberikan Tawaran Keselamatan kepada Orang Lasiolat

Satu-satunya alasan orang Lasiolat melakukan ritus tunu ialah karena adanya kesadaran akan penderitaan yang sering mereka alami. Penderitaan itu seperti penyakit, musim panen yang gagal dan kematian ternak peliharaan secara tiba-tiba. Atas kesadaran-kesadaran demikian, masyarakat mulai mencari jalan keluar untuk mengatasinya. Masyarakat Lasiolat mencari informasi pada orang-orang pintar seperti para dukun atau mereka yang dianggap memiliki kemampuan menerawang. Pada umumnya, dukun dan penerawang akan mengatakan bahwa penderitaan yang mereka alami disebabkan karena hukuman dari leluhur mereka sendiri. Hal ini diungkapkan dalam kalimat:

Emi hoi hetan susar ne te tan on bei ida naba krakat. Nia taka matan ba emi no fo susar bae mi. Niabe emi bele moris diak emi harus hala’o lia adat oda hanesan ba hamos niar foho kha atau loke hanek matan ba uma kha niabe nia nodi tulun nikar emi.[2] 

Yang berarti:

Penderitaan yang sedang kamu alami ini akibat dosa kamu sendiri yang membuat roh leluhur menutup mata hati untuk kamu. Sehingga kamu mendapat hukuman demikian. Agar kamu dibebaskan dari hukuman demikian sebaiknya kamu kembali mendekatkan diri dengan roh-roh leluhur itu seperti dengan membuat ritus adat atau mempersembahkan kurban kepada mereka dalam rumah adat.

Dari penjelasan-penjelasan itu maka terjawablah sudah penyebab orang Lasiolat mendapatkan hukuman atau penderitaan. Semua penderitaan itu berakar dari dosa yang mereka lakukan dan membuat roh para leluhur marah dan tidak lagi bersahabat dengan mereka.

            Apabila dibaca dari perspektif teologi Kristen, kata-kata yang keluar dari mulut sang penerawang atau dukun tersebut merupakan gambaran dari wahyu Allah sendiri. Sebab kata-kata itu adalah kata-kata keselamatan. Allah berbicara dan menawarkan keselamatan kepada umat-Nya yang berdosa. Lewat perantaraan para penerawang dan dukun, Allah menawarkan kepada orang Lasiolat sebuah rahmat keselamatan supaya segala macam penderitaan yang membelenggu kehidupan bisa diatasi. Berkat wahyu Allah yang keluar dari orang-orang pintar itu pula, orang Lasiolat mengenal Nai Luli Waik Nai Manas Waik sebagai pencipta, penyelamat dan pelindung dari segala macam malapetaka.

            Pada prinsipnya dukun atau orang-orang pintar dalam wilayah Lasiolat tidak bisa disamakan begitu saja dengan nabi dalam kitab suci perjanjian lama. Sebab nabi dalam kitab suci dipilih langsung oleh Allah secara nyata. Sedangkan proses pemilihan para dukun-Lasiolat tidak diketahui secara pasti apakah mereka adalah orang-orang pilihan Allah ataukah mereka sendiri yang mengangkat dirinya sebagai dukun atau orang-orang pintar yang pekerjaannya mirip dengan pekerjaan para nabi. Yang mau ditekankan di sini adalah bukan pribadi dari dukun bersangkutan tetapi kata-kata yang keluar dari mulut para dukun itu sendiri yang mana dilihat sebagai kata-kata dari Allah sendiri sebab kata-kata itu berisikan kebaikan dan keselamatan. Kata-kata yang baik dan berisi keselamatan adalah kata-kata yang berasal Allah sendiri (Kej 3:15, Amsal 20:22, Lukas 19:9, Roma 12:17).

            Peran para penerawang dan dukun sebenarnya memiliki kaitan erat dengan konsep mengenai wahyu dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Mereka memainkan peranan sebagai simbol yang dipakai untuk mengkomunikasikan wahyu Allah dalam realitas hidup harian masyarakat Lasiolat. Di pihak lain, para penerawang dan dukun dilihat sebagai representasi langsung dari seruan Allah yang dalam Kitab Suci Perjanjian Baru telah diperankan oleh Yesus, Putera Allah. Oleh karena itu, sesungguhnya wahyu dalam ritus tunu memiliki kedekatan yang intim dengan konsep wahyu dalam teologi Kristen. Keduanya merupakan komunikasi simbolis antara Allah sebagai wujud transenden dengan manusia dalam realitas hidup masyarakat.

4.1.3        Konsep Iman Menurut Ritus Tunu: Sebuah Jawaban atas Tawaran Allah

            Apabila dimengerti dalam definisi leksikalnya sebagai ‘percaya’, maka iman memiliki korelasi yang sepadan dengan kata fiar. Dalam bahasa Tetun, kata  fiar berarti percaya atau yakin. Teologi Kristen mengartikan iman sebagai suatu bentuk kepercayaan, jawaban atas tawaran Allah, penyerahan diri secara total dan pengalaman keakraban.[3] Berhadapan dengan konsep iman dalam teologi kristen, maka dapat dikatakan bahwa ritus tunu serta seluruh tahap pelaksanaannya merupakan sebuah tindakan iman orang Lasiolat. Beberapa alasan dapat diungkapkan di sini, seperti:

            Pertama, pelaksanaan ritus tunu lahir sebagai tawaran dari Nai Luli Waik Nai Manas Waik yang hadir dalam rupa teguran, hukuman sekaligus tawaran keselamatan yang disampaikan lewat orang-orang pintar. Ketika orang Lasiolat melakukan kesalahan dan dihukum dengan berbagai macam penderitaan, mereka mempercayai bahwa terdapat satu kekuatan transenden yang mampu menyelamatkan mereka. Dalam teologi Kristen, kepercayaan terhadap kekuatan transenden merupakan pengungkapan iman manusia atas eksistensi Allah.

            Kedua, setelah masyarakat Lasiolat mendapat informasi dan mendapat tawaran yang diberikan oleh orang-orang pintar’, maka pada tahap selanjutnya mereka melakukan ritual tunu. Dalam konteks ini, seluruh pelaksanaan ritus tunu dilihat sebagai jawaban orang Lasiolat atas tawaran keselamatan dari Allah. Masyarakat Lasiolat percaya bahwa dengan melaksanakan segala perintah yang diminta oleh ‘orang-orang pintar’ tersebut, maka mereka akan beroleh keselamatan dari dosa dan kesalahan yang dilakukan. Oleh karena itu, diperlukan dialog yang terbuka agar tawaran dari Allah melalui ‘orang-orang pintar’ tersebut dapat ditanggap secara tepat oleh masyarakat Lasiolat, terkhusus melalui pelaksanaan ritus tunu.

            Ketiga, pada saat melaksanakan ritus tunu, masyarakat Lasiolat sungguh merasa diri sebagai orang yang paling lemah, tidak berdaya, dan makhluk yang berdosa. Hal ini dapat dilihat pada proses menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan saat melakukan ritus tunu dan sikap batin mereka ketika mempersembahkan kurban leluhur; mengorbankan hewan peliharaan dan segala persembahan lainnya dalam jumlah banyak, mengedepankan sikap pasrah dan tidak membuat keributan di sekitar foho ketika hendak mempersembahkan kurban bakaran. Itulah bentuk-bentuk penyerahan diri secara total kepada Nai Luli Waik Nai Manas Waik.

            Keempat, dengan melakukan ritus tunu, masyarakat Lasiolat percaya bahwa mereka akan diselamatkan dan kembali membangun relasi dengan roh leluhur dan Nai Luli Waik Nai Manas Waik. Ritus tunu menjadi bentuk pengungkapan iman sekaligus pengharapan masyarakat guna memperoleh keselamatan dari Wujud Tertinggi, yang dalam konteks teologi Kristen disebut iman.

            Bertolak dari pemahaman di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ritus tunu dalam seluruh tahap pelaksanaannya merupakan sebuah aktivitas iman; sebuah praksis mendekatkan diri dengan Allah. Aktivitas iman tersebut ditandai dengan hadirnya wahyu yang disampaikan oleh Nai Luli Waik Nai Manas Waik melalui para dukun atau orang-orang pintar dan dilaksanakan melalui ritus tunu. Dimensi praksis dalam ritus tunu menggerakkan masyarakat Lasiolat untuk ‘bergerak keluar’ dari kesadaran yang pasif kepada sebuah aktus yang membutuhkan keterlibatan total dari seluruh dirinya. Kesadaran serupa diharapkan mampu menggerakkan rasio untuk memberikan keterangan dan pemahaman yang jelas berkaitan dengan ritus tunu. Keterlibatan rasio diperlukan agar masyarakat Lasiolat memiliki pegangan penting terkait pelaksanaan ritus tunu sekaligus membentengi diri dari anggapan dan serangan yang berusaha mengganggu penghayatan imannya. Berkaitan dengan urgensi rasio, Stephen B. Bevans menulis, “Iman yang kita berusaha pahami itu adalah seluruh iman, bukan kepastian rasional, dan pengetahuan dan kebijaksanaan yang kita capai dalam teologi bukan karya akal budi saja, melainkan kerja sama akal budi dan hati.”[4] Ia kemudian menyimpulkan bahwa:

Teologi karenanya dapat dilakukan hanya dalam iman. Ia adalah suatu pencarian yang mendesak, bukan untuk kepastian atau kejelasan rasional, melainkan untuk suatu pemahaman yang kokoh namun rendah hati lagi tentatif. Dan sementara melakukan teologi bukan aktivitas pikiran belaka, ia mendukung patokan-patokan yang ketat untuk keilmuan dan akal budi. Setiap kata dari definisi kita tentang teologi sebagai iman-yang-mencari-pemahaman memang penting adanya.[5]

                        Pendapat Bevans, sesungguhnya hendak menekankan urgensi rasio dalam upaya memahami iman. Rasio sangat dibutuhkan untuk memberi pendasaran yang jelas tentang arti iman dan pengharapan manusia atas karya cinta Allah. Namun demikian, urgensi rasio sebagaimana dimaksud Bevans semata-mata harus ditempatkan dalam koridor pemahamannya tentang iman. Hal itu berarti, klaim ‘hegemonik’ dalam rasio seharusnya dihindari agar tidak memberatkan pemahaman tentang iman dan dominasi berlebihan pada peran akal budi. Sebaliknya, rasionalitas dalam konteks ini harus menggandeng peran hati nurani agar iman manusia kepada Allah menjadi suatu rangsangan yang membuka kepekaan diri dan keterlibatannya dalam seluruh konteks kehidupan manusia. Iman yang demikian, meminjam pendapat Frans Magnis Suseno adalah sebuah bentuk “penyerahan diri kepada panggilan Ilahi.”[6]

4.1.4        Konsep Manusia Menurut Ritus Tunu

Dalam ritus tunu¸ keberadaan Wujud Tertinggi tidak dapat dipahami tanpa relasinya dengan masyarakat Lasiolat sendiri. Wujud Tertinggi dalam segala kapasitasnya sebagai pencipta yang bermurah hati dan penolong yang perkasa tak terlepas dari keterbatasan masyarakat Lasiolat sebagai hasil ciptaan yang terbatas, penuh dosa dan kelemahan. Kesadaran masyarakat tentang segala kelemahan dirinya serentak menggerakkan mereka untuk memohon pengampunan dari Wujud Tertinggi agar dapat diselamatkan dan mencapai kehidupan baru. Oleh karena itu, keberadaan Wujud Tertinggi dan relasinya dengan masyarakat Lasiolat menunjukkan secara jelas gambaran tentang kemahakuasaan Allah dan kesadaran mengenai keterbatasan diri manusia. Mengenai keterbatasan diri manusia, empat pokok penting dapat dijelaskan di sini.

Pertama, manusia adalah Maromak nian ai lima horis. Bagi masyarakat Lasiolat, segala sesuatu yang ada di dunia tidak pernah datang dari kekosongan. Seperti masyarakat dari kebudayaan lain, masyarakat Lasiolat pun berpandangan bahwa pada hakekatnya segala sesuatu yang ada di dunia ini termasuk manusia Lasiolat merupakan hasil ciptaan Allah (ai lima horis) yang mereka sapa sebagai Nai Luli Waik Nai Manas Waik. Pengakuan diri sebagai makhluk ciptaan Allah ini hadir dalam sapaan-sapaan terhadap Nai Luli Waik Nai Manas Waik yang ditemukan dalam doa-doa yang dibawakan saat mempersembahkan kurban bakaran. Nai  Luli Waik, Nai Manas Waik Neè fitun fohon ba, nee fulan fohon ba nee kbetak hitu ba, nee ktan hitu ba lolo liman la toò, bii ain la dai. Yang berarti: yang maha kudus, yang maha kuasa di atas bintang-bintang, di atas rembulan, di kamar ke tujuh, di tingkat ke tujuh, tak tersentuh dengan tangan terulur dan kaki terjinggit.

Dengan ini dapat diketahui bahwa manusia Lasiolat hanyalah manusia biasa. Di luar mereka terdapat makhluk yang lebih tinggi dan yang Kudus dan yang Ilahi, yang tidak lain tidak bukan adalah makhluk pencipta segala sesuatu.

Kedua, manusia adalah makhluk sosial. Ritus tunu yang dibuat oleh masyarakat Lasiolat membuka gambaran kita tentang keterbukaan individu atas aspek hidup sosial. Ritus tunu dijalankan secara bersama oleh individu yang berbuat salah, anggota keluarga, para pemangku adat dan kepala suku, serta semua masyarakat. Kehadiran ‘orang lain’ dalam ritus tunu melambangkan keterbukaan diri masyarakat untuk secara bersama-sama mempersembahkan diri dan segala dosa yang dilakukan kepada Wujud Tertinggi. Hoi ho o oan, ho o bein e ami mai buka, ami mai kewa matak inan, malirin inan nee Baiboke, nee We Knuk nodi kuru dato nola, niìt dato nola nodi nisik an, nodi baku an nodi simu matak, nodi simu mailrin  nodi wai mata-matak duùk, maliri - lirin duùk nodi nalo toòs, nodi koà tua nodi kari manu, nodi nahan fahi nalo toòs isin, nalo tua wen nodi nein fetsawa, nein uma mane. Yang berarti: dengan ‘anak dan cucumu‘ kami datang untuk mencari dan mengais rahmat yang besar, berkat yang agung, di sini di  Baiboke, di Weknuk, agar dengan berkat dan rahmat itu kami dapat mengerjakan kebun, mengiris tuak,  memelihara ayam, menjaga babi, agar kebun berisi, tuak berair dan untuk menanti Fetosawa dan  Umamane.

Dalam perspektif teologi Kristen, kebersamaan dengan orang lain adalah bentuk dari persekutuan Gereja. Gereja tidak menutup diri terhadap ‘orang lain’ dan dengan hati terbuka berkehendak menggabungkan diri guna memohon rahmat dari Allah. Keterbukaan Gereja serempak menggambarkan sifatnya yang dialogis dan komunikatif. Gereja yang demikian, sesungguhnya merupakan persekutuan iman yang mampu mendidik manusia bukan semata pada kesucian diri, tetapi mencapai integritas kepribadian yang matang dalam pertemuannya dengan ‘orang lain’. Konsili Vatikan ke II dalam dokumen Nostra Aetate menyebut:

Gereja mendorong para putranya supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberikan kesaksian tentang iman serta peri hidup Kristiani, mengakui, memelihara, dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai  sosio-budaya, yang terdapat pada mereka.[7]

 

Penegasan yang dibuat oleh dokumen Nostra Aetate hendak memberikan justifikasi terkait keterbukaan Gereja, juga di dalamnya iman umat terhadap realitas sosial di sekitar, khususnya dengan mereka yang berbeda kepercayaan. Keterbukaan Gereja serempak menunjukkan keberpihakan dan kepeduliannya terhadap realitas sambil terus belajar dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Ketiga, manusia adalah makhluk yang tidak sempurna, terbatas dan membutuhkan bantuan alam dan Wujud Tertinggi serta roh dari para leluhur. Alam semesta dipandang sebagai Ina Rai. Ina Rai diterjemahkan sebagai ibu kehidupan. Hal ini berarti alam semesta dipandang sebagai ibu kehidupan yang melahirkan semua binatang peliharaan dan memberikan bagi mereka makanan, menyuburkan hasil panen dan menyiapkan air segar. Alam semesta, karena itu disebut sebagai foho bot rai bot yang berarti tempat seluruh ciptaan hidup dan berada.

Seperti terdapat dalam kisah penciptaan (Kej. 1:1-31; 2:1-7), orang Lasiolat mempercayai bahwa sebelum Nai Luli Waik Nai Manas Waik menciptakan para leluhur, Ia terlebih dahulu menciptakan foho bot rai bot. Oleh karena itu sebagai ucapan terima kasih dan rasa syukur, orang Lasiolat tidak lupa mempersembahkan korban dan menyebut foho bot rai bot sebagai ibu yang sudah memangku semua ciptaan yang ada di bumi termasuk batu besar, pohon besar, atau mata air yang adalah tempat sakral bagi mereka dalam mempersembahkan korban bakaran ketika ritus tunu berlangsung.

Selain kepada alam, masyarakat Lasiolat pun menunjukkan ketergantungan mereka pada Wujud Tertinggi, yakni Nai Luli Waik Nai Manas Waik. Dalam ritus tunu, ungkapan kelemahan dan ketergantungan terhadap Nai Luli Waik Nai Manas Waik dianalogikan seperti seekor anjing tua dan pohon tuak yang tidak dapat lagi berproduksi. Lebih dari itu, sebagai makhluk lemah dan terbatas, masyarakat Lasiolat menyadari bahwa mereka sangat jauh dari kesempurnaan. Dosa dan kejahatan yang mereka lakukan menunjukkan kelemahan dan keterbatasan diri masyarakat Lasiolat.

Ungkapan ketidaksempurnaan dalam diri masyarakat Lasiolat disimbolkan lewat jumlah hanek matan yang mereka siapkan sebagai wadah untuk menyimpan sesajian bagi roh leluhur dan roh-roh lainnya termasuk Wujud Tertinggi. Jumlah wadah yang disiapkan selalu dalam bilangan ganjil. Bilangan ganjil mengungkapkan secara simbolis bahwa masyarakat Lasiolat selalu hidup dalam ketidaksempurnaan. Dengan mempersembahkan sesajian kepada Tuhan melalui roh leluhur, mereka mengharapkan agar ketidaksempurnaan mereka itu disempurnakan oleh Nai Luli Waik Nai Manas Waik dan agar hanek matan mereka kembali berjumlah genap.

Sampai pada titik ini, relasi masyarakat Lasiolat dengan Nai Luli Waik Nai Manas Waik, tidak dapat dilepaspisahkan dari peran serta para leluhur mereka. Para leluhur merupakan sumber penolong. Sebagai penolong, para leluhur memiliki kualitas religius yang tinggi bagi pemeliharaan dan kelanjutan serta pembaharuan semangat religius anggota marga. Para leluhur tidak pernah dan tidak boleh dilupakan dalam setiap kegiatan. Mereka bahkan dilibatkan, seperti dalam kegiatan pertanian.[8]

Dalam kepercayaan asli masyarakat Cina misalnya, pemujaan terhadap leluhur adalah sebuah kepercayaan yang paling kuno. Masyarakat Cina meminta nasihat para leluhur dalam kesempatan penting dan memahami keinginan mereka melalui ramalan. Dalam kuil-kuil leluhur, berbagai kurban persembahan dipersembahkan demi menghormati leluhur. Selain kuil-kuil, roh para leluhur juga dipuja dalam tempat-tempat suci keluarga, seperti di sudut barat rumah.[9]

Selain Cina, Jepang juga memiliki tradisi menghormati roh leluhur. Bahkan penghormatan terhadap para leluhur menjadi salah satu unsur khas dari salah satu agama mereka yakni Shinto.[10] Pemujaan leluhur yang dibuat di sana bertujuan untuk menguatkan kekerabatan dalam keluarga.[11] Dari sini dapat dikatakan bahwa upacara penghormatan terhadap para leluhur ini dapat dipastikan terjadi dalam setiap kebudayaan, lebih kurang yang masih mengakui keberadaan para leluhur mereka.

Dalam kebudayaan masyarakat Lasiolat sendiri, para leluhur dipercayai sebagai orang yang masih hidup seperti manusia di dunia ini. Oleh karena itu, mereka tetap diperlakukan sebagaimana layaknya manusia yang masih hidup. Mereka terlibat dalam seluruh aktivitas manusia lebih khusus dalam aktivitas besar dan massal seperti upacara adat. Hal itu berarti, penghormatan terhadap leluhur mengandung di dalamnya aspek religius tertentu teristimewa karena keberadaan mereka selain mengandaikan adanya kehidupan setelah kematian tetapi lebih dari itu mengandaikan adanya Wujud Tertinggi.

Masyarakat Lasiolat percaya bahwa setelah kematian, para leluhur mereka tidak hidup sendirian tetapi hidup bersama Wujud Tertinggi. Atas alasan ini, masyarakat Lasiolat lalu percaya bahwa para leluhur dapat menjadi mediator yang baik untuk menghubungkan mereka dengan Tuhan. Oleh karena kedekatan hubungan dengan Allah ini, para leluhur diyakini sanggup mengkomunikasikan kehendak Allah dan rahmat pertolongan-Nya bagi orang yang masih hidup di dunia.[12]

Leluhur dalam kebudayaan masyarakat Lasiolat disapa sebagai mate bian. Mate bian yang dilibatkan dalam ritus tunu bagi mereka lebih kurang memiliki dua peran yakni: pertama, menyampaikan pesan atau doa-doa dari orang yang masih hidup kepada Nai Luli Waik Nai Manas Waik. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan doa yang digunakan saat mempersembahkan kurban bakaran pada saat upacara ritus tunu. Bunyi dari doa tersebut adalah:

Ama no be sia nee kukun ba, nee kalan ba bei ubu sia, bei tata sia ami ibun la toò arumak, lian la toò arumae iha o kan uma metan dato, ri mean dato mesa klor tiàn, mesa bonu fuan tiàntemi la toò, seti la toò keta halo teki, keta halo fani.[13]

Yang berarti:

 Hai leluhur kami, di dunia yang melampaui kejauhan dan kedalaman malam, engkaulah yang sulung, seandainya kata dari mulut dan bahasa kami tidak mencukupi, engkau yang mendiami istana agung bertiang emas, dan kami mirip anjing tua, laksana pohon tuak berusia lanjut, kami tak tahu bagaimana harus berdoa, tidak bisa memohon lagi. Jangan biarkan cicak berbunyi, jangan biarkan kami bersin.

Kedua, leluhur memiliki peran sebagai pelindung. Selain sebagai pembawa pesan berupa permohonan atau yang meneruskan permohonan, para leluhur juga berperan sebagai pelindung. Roh leluhur diharapkan untuk terus melindungi orang Lasiolat dari sakit penyakit, bencana alam, dan kematian yang tidak wajar. Sebelum merayakan ritus tunu, roh leluhur diminta perlindungannya agar ritus yang akan dijalankan berlangsung dengan baik. Doa memohon perlindungan ini dapat ditemukan dalam rumusan berikut:

Eee....Haun bei sia emi iha kakuluk hasan ri timir, emi rona hola hatene hola te ne ami hoi loke emin lamak no katak hasara emi awan loron ami atu ba iha itan suman no mosu, ba hola hikar matak malirin mai lai ami.[14]

Yang berarti:

Semua kamu (roh leluhur) yang tinggal di dalam rumah adat ini, dengarkanlah dan ketahuilah, kami datang mempersembahkan kepada kamu apa yang menjadi bagian kamu dengan tujuan lindungilah kami yang besok akan pergi ke tempat kudus kita untuk memohonkan rahmat pengampunan dan berkat yang baru.

Keberadaan para leluhur dengan sifat-sifatnya ini, dengan demikian menunjukkan bahwa masyarakat Lasiolat sangat membutuhkan mereka. Para leluhur adalah pribadi yang yang memiliki peran besar dalam kehidupan masyarakat, teristimewa ketika mereka mengalami berbagai kesulitan dan penderitaan dalam hidup. Selain berperan sebagai pembawa pesan kepada Wujud Tertinggi, para leluhur juga berperan untuk melindungi semua keluarga yang masih hidup.




 

4.2    Kesimpulan

Keseluruhan penjelasan sebelumnya dibuat dengan maksud untuk menggali makna teologis di balik ritus tunu. Setelah membuat perbandingan dan mencari titik temu antara setiap unsur teologi Kristen dengan pokok-pokok penting yang terkandung dalam ritus tunu, maka ditemukan beberapa poin sebagai berikut.

Pertama, baik teologi Kristen maupun ritus tunu memandang Allah sebagai Pencipta dan Wujud Tertinggi. Walaupun disebut dengan nama yang berbeda, Allah dan Nai Luli Waik Nai Manas Waik memiliki hakikat yang sama yakni sebagai pencipta alam semesta dan manusia. Sebagai pencipta alam semesta dan manusia, Allah dan Nai Luli Waik Nai Manas Waik berada di atas segala sesuatu yang maha tinggi dan dengan kekuatan-Nya melampaui realitas alam dan manusia.

Kedua, Allah dan Nai Luli Waik Nai Manas Waik sama-sama dilukiskan sebagai pribadi yang bermurah hati, pelindung, penyelamat, dan berbelas kasih. Sifat-sifat Allah dan Nai Luli Waik Nai Manas Waik tak dapat dilepaspisahkan dari hakikat ciptaan yang terbatas, lemah, tak berdaya, penuh dosa, dan merindukan pengampunan. Sebagai makhluk yang terbatas, keberadaan dan keterlibatan Wujud Tertinggi menjadi sumber hidup yang kepada-Nya manusia bergantung.

Ketiga, baik Allah orang Kristen maupun Nai Luli Waik Nai Manas Waik masyarakat Lasiolat, sama-sama dipandang sebagai pribadi yang dekat dan tidak pernah jauh dari realitas hidup manusia. Dalam konteks teologi Kristen, hal ini menyata dalam diri Yesus Kristus yang hadir dan terlibat dalam pengalaman hidup bangsa Yahudi. Sedangkan dalam kehidupan masyarakat Lasiolat, Nai Luli Waik Nai Manas Waik menyatakan diri-Nya dalam objek-objek yang memiliki kekuatan luar biasa dan maha besar yang dapat dilihat secara kasat mata seperti binatang dan sejumlah tanda lainnya. Simbol yang dipakai untuk menggambarkan kehadiran Nai Luli Waik Nai Manas Waik, sesungguhnya bersifat sangat faktual serempak misterius. Sifat demikian dimaksudkan untuk menyatakan keterlibatan secara langsung sosok Nai Luli Waik Nai Manas Waik dalam kehidupan masyarakat Lasiolat.

Persoalannya, kekristenan tidak hanya memandang Yesus sebagai perantara. Yesus dalam teologi Kristen adalah juga Allah. Ia sehakekat dengan Bapa. Sedangkan dalam kepercayaan masyarakat Lasiolat, roh-roh leluhur walaupun memiliki kekuatan melampaui kekuatan manusia, tetapi mereka bukanlah Wujud Tertinggi. Bahkan kedudukan mereka berada lebih rendah dari Nai Luli Waik Nai Manas Waik. Roh-roh leluhur dan arwah nenek moyang ini hanyalah perantara antara masyarakat Lasiolat dengan Nai Luli Waik Nai Manas Waik sebagai Wujud Tertinggi.

Sebagai perantara, para leluhur dapat disejajarkan perannya dengan orang kudus yang telah meninggal dalam pandangan teologi Kristen. Seturut ajaran Kristen, setelah seorang meninggal dunia, jiwanya akan beralih dari dunia yang fana ke sebuah dunia yang kekal. Dunia yang kekal itu dibagi lagi menjadi tiga dunia, dengan suasananya yang dilukiskan berbeda-beda satu dari yang lainnya. Ketiga dunia ini adalah surga, neraka, dan api penyucian.

Semua orang Kristen yang meninggal akan mengalami situasi hidup dalam ketiga dunia tersebut sesuai dengan karya amal yang mereka lakukan selama pengembaraannya di dunia. Seperti orang Kristen, masyarakat Lasiolat pun mempercayai bahwa ada kehidupan lain setelah kehidupan di dunia. Lebih dari itu, walaupun tidak disebutkan secara tegas mengenai ketiga suasana setelah kematian ini, masyarakat Lasiolat lebih kurang masih mengakui bahwa terdapat kondisi baik (lalean) dan buruk (hai neraka) yang akan terjadi dalam kehidupan setelah kematian. Hal ini memang agak kabur, tetapi kehidupan baik dan buruk yang akan mereka alami kelak akan sangat bergantung pada kehidupan mereka di dunia. Bila mereka menaati perintah para leluhur dan Nai Luli Waik Nai Manas Waik, maka mereka akan mengalami kebahagiaan. Sebaliknya bila mereka melawan perintah Tuhan yang disampaikan melalui para leluhur, maka mereka akan mengalami penderitaan.



[1] Hasil Wawancara dengan Gabriel Seran, Ketua Adat Lasiolat, pada 11 Juli 2019 di Lasiolat.

[2] Bapak Yohanes Besi, Kepala Suku Leoklaran Lasiolat, wawancara per telepon seluler, 13 November 2019.

 

[3] Tom Jacob, loc. cit.

[4] Stephen B. Bevans, op. cit., hlm. 55.

[5] Ibid.

[6] Frans Magnis Suseno, Iman dan Hati Nurani (Jakarta: Obor, 2014), hlm. viii.

[7] Dokumen Konsili Vatikan II, R. Hardawiryana (penerj.), Nostra Aetate (Jakarta: Obor 2013), hlm. 321.

[8] Bdk. Andreas Tefa Sawu, Di Bawah Naungan Gunung Mutis (Ende: Nusa Indah, 2004), hlm. 116.

[9] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 81.

[10] Shinto adalah agama kuno yang merupakan campuran dari animisme dan dinamisme yaitu suatu kepercayaan primitif yang percaya pada kekuatan benda, alam atau spirit. Kepercayaan tua semacam ini biasanya penuh dengan berbagai ritual dan perayaan yang biasanya berhubungan dengan musim, seperti musim panen, roh, spirit, dan lain-lain. Bdk. Adi Nugroho, 7 Fakta Hebat Shinto Agama Jepang yang Menghubungkan Manusia dengan Masa Lalu, https://www.jurnalissumbar.id/2017/01/negara-Jepang-dan-agama-shinto-nya. html, diakses pada 17 Mei 2020.

[11] Mariasusai Dhavamony, loc. cit.

[12] Alex Jebadu, Bukan Berhala (Maumere: Ledalero, 2009), hlm. 53.

[13]  Hasil wawancara dengan Bazenti Ulu, Ketua adat Lasiolat, pada 21 Juli 2019 di Lasiolat.

[14] Hasil wawancara dengan Markus Mau Halek, Ketua Adat Lasiolat, pada 21 Juli 2019 di Lasiolat.


Post a Comment for "Makna Teologis di Balik Ritus Tunu (Bagian 2/habis)"