Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Legenda Nowin Wali’, Manusia Jadi Ular di Kedang, Lembata

Ilustrasi: Pixabay.com

RAKATNTT.COM – Sebagai orang Hingalamamengi, cerita rakyat (legenda ) Nowin Wali' tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita karena sudah dituturkan secara turun-temurun. Legenda Nowin Wali' bukanlah sebuah mitologi belaka melainkan merupakan kisah nyata yang terjadi pada ratusan tahun silam. Dalam silsilah, Nowin adalah putra dari Wali' Talang, nenek moyang dari marga Doluubeng (Opong Dato') dan Doluhalang (Anu' Dato').

Alkisah, Nowin adalah seorang putra tunggal yang dimanjakan. Berbeda dengan anak-anak sebayanya yang setiap hari membantu orangtua mereka, si Nowin malah saban hari bermain dan bermain tak mengenal waktu. Nowin kecil sering keluar masuk hutan belantara sendirian untuk memasang jerat burung puyuh. Terkadang ia mengajak teman-temannya bermain gasing hingga hari menjelang malam. Rutinitas ini diladeni Nowin berhari-hari meski usianya sudah beranjak dewasa.

Karena ulahnya yang tak bisa diatur, suatu malam ayahnya naik pitam. Nowin dimarah, dicaci dan bahkan ditampar. Nowin dibilang anak yang sia-sia dan tak tahu membalas budi. Mendapat perlakuan kasar seperti itu dari sang ayah, Nowin merasa sangat sakit dan ia menangis sejadinya sepanjang malam. Keesokan harinya, di saat masih pagi buta, Nowin berangkat menyusuri jalan setapak menuju ke kawasan Meyeng. Ia bertekad menjadi anak perkasa yang bisa membantu ayahnya. Dilihatnya sebatang pohon lontar yang tengah lebat bunganya. Ia mencoba memanjat pohon lontar itu untuk meraciknya menjadi aren lontar (pai' tua').

Maklum, nenek moyang kita waktu itu masih bermukim di kawasan Wa' Laba tepatnya di Leutuan sekarang dan kawasan Meyeng dijadikan sebagai Duli (tempat mangkal minum tuak bareng selepas berburu, Pen).

Di saat Nowin bersusah payah memanjat pohon lontar itu, tiba-tiba dari atas kepalanya muncul seekor ular yang siap mematoknya. Nowin kaget, gemetar, terjatuh dan pingsan. Sementara di bawahnya sudah ada seekor ular raksasa yang siap membawanya pergi. Ketika siuman, Nowin sudah berada di atas punggung ular raksasa itu. Dalam perjalanan ada banyak keanehan yang terjadi. Pohon-pohon dan batu-batu besar yang semulanya utuh tiba-tiba saja berlobang. Pun begitu air laut bisa kering dalam sekelip mata sehingga Nowin dan ular raksasa itu bisa melintas tanpa cacat apapun.

Sampai akhirnya Nowin terdampar di sebuah kampung bernama Dalaki' Dalelang. (Sekarang mungkin jadi desa Delaki di P. Pantar Kab. Alor, Pen). Nowin pun tinggal di sana selama lebih kurang lima puluh tahun.

Sementara itu, di kampung, kedua orangtua Nowin panik bukan kepalang. Berhari-hari warga sekampung turut mencari keberadaan Nowin, namun tak dijumpai. Sesuai tradisi, Nowin pun dikebumikan dengan perisai (kati' taneng). Ranting kemiri sebagai perisai (pengganti) anggota tubuhnya dan buah kelapa sebagai perisai kapalanya.

Sekitar lima puluh tahun kemudian, ketika anak-anak kampung sedang asyik bermain, datang seorang lelaki tua dengan sosok yang menyeramkan menghampiri mereka. Anak-anak itu lari sempoyongan karena ketakutan. Lelaki tersebut adalah Nowin dengan rambut yang sudah ubanan dan jenggot panjang sampai ke perut. Di kampung saat itu yang tinggal hanya anak-anak dan perempuan, sedangkan semua kaum lelaki dewasa pada pergi berburuh di hutan untuk beberapa hari lamanya (tebe' lai').

Nowin pun bertemu dengan seorang nenek. Sang nenek itu memberitahu Nowin bahwa dulu ketika ia hilang seluruh warga kampung sudah mencarinya sampai ke mana-mana namun ia tidak ditemukan sehingga ia akhirnya dikebumikan dengan perisai (kati' taneng). Mendengar itu Nowin bersedih dan ia lantas berpamit pergi.

Sambil menjinjing dua batang tabung bambu (wetu'), satu berisi tuak dan satunya lagi berisi kacang merah, ia menitipkan pesan kepada sang nenek.

"Kalau mereka (kaum lelaki) pulang berburu tolong beritahu mereka aku tunggu mereka di Duli (Meyeng) hingga empat hari mendatang. Nanti kita jumpa di sana."

Nowin pun bergegas pergi. Sebagai cenderamata ia berikan sebuah hoa' lilin (sejenis bakul tradisional suku Kedang yang terbuat dari anyaman daun lontar sebagai tempat membawa sirih pinang, Pen). Konon, bakul itu terselip dengan selendang pusaka.

Sepulang berburu kaum lelaki di kampung diberitahu bahwa Nowin yang dulu hilang sudah kembali dan ia sekarang menunggu kadatangan mereka di Duli. Semua kaum lelaki lalu menyusul ke Duli. Ternyata perhitungan hari versi Nowin selisih dua hari dengan perhitungan warga di kampung. Nowin menghitung siang dan malam masing-masing satu hari. Sedangkan hitungan normal siang dan malam itu baru satu hari. Jadi sesampainya warga lelaki dari kampung di Duli, Nowin sudah tak ada lagi. Yang tertinggal hanyalah tumpukan batu yang tersusun rapi menyerupai kubur dan bekas jempretan air sirih pinang juga masih basah pertanda Nowin baru meninggalkan tempat itu satu atau dua hari.

Diriwayatkan, dalam pengembaraannya Nowin menyusuri Ahung Laleng kemudian Ai La'in dan sampai di kawasan Leuhapu ia diajak bermalam oleh seorang penghulu suku di sana. Di situ ia menumpahkan seruas tabung bambu (wetu') berisi tuak yang kemudian menjelma menjadi mata air Wei Lari' dan Wei Lenger (Dua mata air ini ada di Desa Mahal II). Kemudian wetu' yang berisi kacang merah, ia tumpahkan menjelma menjadi natu ( sejenis buah unik berwarna merah (Sawo Kecik) di pesisir selatan Kedang, Desa Mahal, Pen).

Diyakini, selepas itu Nowin akhirnya berubah wujud menjadi seekor ular dan kembali berdiam di Nowin Leu (kampung Nowin) dekat Meyeng sekarang.

Ada beberapa kisah nyata bahwa Nowin Wali' masih hidup berbaur dengan anak cucunya di kampung Leuwehe’ sekarang. Jika ada pesta besar di kampung, biarpun ratusan tamu yang datang namun makanan pesta tak pernah habis dimakan. Sebaliknya, jika warga Leuwehe’ bertandang pesta ke kampung lain, meski cuman sedikit orang, namun pada malam harinya nampak seperti beratus-ratus orang.



Satu lagi yang keren, nama dan lambang klub olahraga di desa Hingalamamengi dari dulu hingga sekarang menggunakan lambang Nowin Wali'. Seperti ada DONHIL FC (Dunia Olahraga Nowin Hingalamamengi Football Club). Jikalau team kita berlaga di pentas apa saja, jika ada yel-yel Nowin disorakkan, kita akan disegani kawan dan ditakuti lawan!

Kendati hal-hal seperti ini terkesan mitos namun sejarah pernah membuktikan benar adanya. Satu-satunya harta pusaka peninggalan Nowin yang sempat tersimpan adalah berupa kain selendang yang disebut Kolana. Konon disimpan oleh Opa Umar Sedi (alm). Sementara kain selendang dari kampung Delaki, P. Pantar, Kab. Alor disebut Kolasau. Menurut Bapak Luth Opong Dato' yang pernah bertugas di Alor, corak dan motif kedua kain ini sama hanya nama yang berbeda.

Dengan cerita ringkas legenda Nowin Wali' yang saya dokumentasikan ini, semoga menjadi sumber referensi sejarah buat generasi kita dan juga mendatang. Jika ada kekurangan dan kekhilafan kiranya dapat dikoreksi. (Penulis Mahmud Manuhoe’)

Catatan Tambahan dari Admin: Setiap cerita tutur tentu memiliki versi berbeda-beda seturut sumbernya. Misalnya cerita tentang legenda wei lari’, wei lenger dan natu (sawo kecik) sebagaimana disebut dalam legenda Nowin Wali’ di atas tentu memiliki alur cerita yang berbeda jika dibandingkan dengan versi dari Desa Mahal dan Mahal II. Tugas generasi sekarang yakni tetap mendokumentasikan setiap legenda secara kreatif walaupun ada perbedaan tertentu).

 

Post a Comment for "Legenda Nowin Wali’, Manusia Jadi Ular di Kedang, Lembata "