Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Musyawarah Besar Rakyat Lembata (Relevansi, Pesan, Semangat, Kepekaan, dan Kearifan#Bagian 2/Habis)


Oleh Pius Kulu Beyeng

Semua mata masyarakat Lembata tertuju kepada ajang Mubesrata setidaknya menimbulkan harapan akan masa depan yang lebih baik dalam perjuangannya menuju otonomi. Namun, ada hal yang belum mereka pahami, yang cepat atau lambat mereka juga akan tahu. Hal itulah yang hendak diantisipasi. Jauh dari hiruk pikuk Mubesrata, sebenarnya ada persoalan-persoalan lain yang teramat penting yang harus secepatnya diantisipasi, baik yang ada di depan mata maupun jauh ke depan. Para elit politik yang berseberangan dengan perjuangan otonomi Lembata berdiri sendiri lepas dari Kabupaten induknya Flores Timur juga tidak kalah melontarkan kritik dan sindiran kepada penyelenggaraan Mubesrata. Antara lain misalnya dalam sebuah mingguan lokal, Mubesrata diplesetkan dengan Mulut Besar Rakyat Lembata. namun demikian, para elit dan tokoh poltik Lembata tidak bergeming. Mereka tidak ingin, sesuatu yang hendak jatuh, jangan sampai tertimpah tangga lagi.

Mengapa demikian?

Masyarakat pada umumnya kurang paham tentang peraturan perundangan dan perpolitikan nasional. Yang mereka tahu adalah Lembata otonom sebagai sesuatu kepastian dan tinggal menunggu waktu saja. Dengan berkumpulnya semua pemimpin mereka di ibukota Lembata Lewoleba, tentulah dalam rangka persiapan itu. jadi sisi lain Mubesrata adalah euphoria masyarakat menyongsong Lembata berdiri sendiri. Bahwa hasil-hasil Mubesrata yang cemerlang dengan berbagai rekomendasi antara lain rekomendasi paling sakti dari Mubesrata dalam upaya penanggulangan kebakaran dan lingkungan hidup yakni “SUMPAH ADAT”. Mereka sambut dengan meriah tapi dalam bingkai pengharapan untuk berdiri sendiri sebagai daerah otonom. Namun, jauh dari euphoria masyarakat tersebut, ada kegalauan di kalangan para elit politik Lembata terutama mereka yang diserahi tanggung jawab memperjuangkan amanat perjuangan otonomi Lembata. bagaimanapun, cepat atau lambat publik Lembata bisa menjadi resah jika mereka tahu duduk persoalan yang sedang terjadi. Dengan diterbitkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, akan menjadi halangan yang mengganjal perjuangan Lembata untuk mencapai otonomi. Undang-Undang baru itu membatasi ruang gerak pembentukkan daerah otonomi baru dengan syarat “otonomi nyata dan bertanggung jawab” sebagai kondisi termina, yang akan mempersulit perjuangan otonomi Lembata. yang lebih parah lagi adalah soal kelembagaan. Dalam Undang-Undang yang baru itu, tidak dikenal lembaga Koordinatorschap. Dalam Undang-Undang yang baru itu hanya dikenal sebuah lembaga yang bernama, Lembaga pembantu Gubernur dan Pembantu Bupati. Dan semakin memperparah keadaan adalah kedua lembaga itu merupakan lembaga staf dan bukan lembaga teritorial seperti lembaga koordinatorschap sebelumnya. Dan lagi karena sebagai lembaga staf, kedua lembaga itu tidak harus berkedudukan di ibukota Provinsi atau Kabupaten. Dan satu hal lagi dari aspek formal baik teknis maupun praktis, sebagai lembaga staf, lembaga Pembantu Gubernur dan pembantu Bupati tidak memiliki kelengkapan lembaga-lembaga teknis substantif seperti dinas-dinas daerah seperti yang selama ini diterapkan pada lembaga koordinatorschap, yang secara teknis administratif bertanggung jawab kepada Bupati Flores Timur. Namun, secara taktis operasional bertanggung jawab kepada Gubernur NTT. Aneh memang, tapi nyata ada dan memang pernah ada.

 

Hal-hal itulah yang membuat galau dan cemas para elit politik Lembata. bukan takut, para elit itu tetap semangat, tidak putus asa apalagi takut. Yang dikhwatirkan mereka adalah apabila masyarakat menjadi resah, putus asa, tidak lagi percaya dan mendukung dengan sukarela perjuangan otonomi daerahnya. Maka, di samping menyusun lagi strategi perjuangan yang baru dengan tetap berpegang pada semangat dan landasan perjuangan 7 Maret ’54, para elit politik merasa perlu adanya usaha untuk memberi semangat dan meredam gejolak dari masyarakat. Harus ada sebuah cara atau usaha yang bertujuan untuk pengalihan isu agar masyarakat tidak terganggu dengan berbagai isu yang bakal muncul apalagi datang dari pihak-pihak yang secara politik berseberangan dengan perjuangan otonomi Lembata.

Untuk kepentingan itulah, bapak Yan Kia Poli selaku pemegang amanat perjuangan rakyat Lembata yang kala itu menjabat sebagai ketua DPRD Provinsi NTT menggandeng bapak El Tari, Gubernur NTT, yang juga adalah “partner” dalam pembentukan lembaga koodinatorschap (sebuah lembaga antara sebagai persiapan Lembata otonom, sebuah lembaga lokal yang dibentuk dengan memanfaatkan situasi yang tidak menentu dalam perpolitikan nasional pascaperistiwa G30S) mencetuskan diadakannya Mubesrata.


Padang di Tanjung Leur-Tobo Tani-Buya'suri, Kedang

Jadi issues lingkungan yang dibahas dalam Mubesrata, memang tetap merupakan issues aktual kala itu, issues yang nampak di atas permukaan, tapi sesungguhnya jauh di lubuk hati yang terdalam, paraelit politik Lembata berusaha untuk hadir dan memberi semangat kepada rakyatnya agar tetap tenang dan percaya kepada para pemimpinnya. Itulah intisari relevansi kehadiran seorang pemimpin yang selalu ada dan memberikan semangat ketika masyarakat atau rakyat dilanda masalah ataupun kesulitan. Seorang pemimpin harus peka terhadap semua persoalan yang menimpah masyarakatnya, baik yang nampak maupun suasana batin yang tidak nampak serta arif dalam penanganannya. Itulah sesungguhnya isi pesandari Mubesrata, yakni semangat kepekaan dan kearifan. Dan itu jugalah yang hendak diturunkan oleh para founding fathers kita kepada kita terutama generasi hari ini yang menjalankan roda pemerintahan di daerah Lembata, khususnya penyelenggara pemerintahan daerah yakni Kepela Daerah dan Wakil Rakyat Daerah, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Gubernur dan Ketua DPRD provinsi NTT serta bupati dan ketua DPRD Kabupaten Flores Timur pada saat itu, 40 tahun yang lalu.

 

Mubesrata sendiri telah menghasilkan 17 rekomendasi dan 11 saran yang khusus ditujukan kepada Pemerintahan Lembata yang dimuat dalam keputusan Mubesrata Nomor 6/MUBESRATA/IV/1977, tanggal 28 April 1977, yang ditandatangani oleh pimpinan sidang Saudara Pius Kulu Beyeng BA dan Sekretaris sidang Saudara Sam B. Keraf BA serta diketahui oleh pemimpin/penanggung jawab Mubesrata, Bapak Yan Kia Poli.  Butir rekomendasi yang paling pertama adalah dilaksanakannya SUMPAH ADAT di setiap Desa dengan janji setia untuk tidak lagi membakar dan atau merusak hutan. Awalnya ide “sumpah adat” ini dikecam dan ditolak, karena yang paling ditakuti, tapi pada akhirnya lolos menjadi keputusan butir paling pertama.

Beberapa tahun kemudian, sesudah Mubesrata tidak ada lagi kebakaran hutan dan pengrusakkan hutan di seluruh Lembata dan hujan pun turun dengan lebat selama musim hujan. Bapak Yan ketika berkunjung ke Lembata beberapa waktu kemudian secara bergurau berkata, “Pius, ini semua gara-gara engkau punya Mubesrata,” katanya sebagai candaan antara seorang bapa dengan anaknya, yang sesungguhnya merupakan ungkapan perasaan kegembiraan setelah setelah melihat perubahan lingkungan hidup yang luar biasa berubah.

 

Kini Mubesrata sudah berlalu. Sudah mencapai usia pancawindu. Otonomi Lembata sudah tercapai. Di tengah hiruk-pikuk otonomi saat ini, sejarah telah mencatat sebuah peristiwa kecil sebagai seutas benang merah yang menghubungkan peristiwa demi peristiwa yang mengisi ruang dan waktu antara 7 Maret ’54 hingga tahun 1999.

 

Jayalah Lembataku-Lembata Kita!

 

Akhirnya, izinkanlah saya untuk secara khusus menghaturkan terima kasih kepada rekan dan sahabatku Thomas Atalajar, yang oleh dorongannya yang halus tetapi keras telah memungkinkan tulisan ini dapat dipublikasikan. Saya juga memohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam tulisan ini. Dan tulisan ini terbuka untuk koreksi dan perbaikan demi penyempurnaannya.

Terima kasih untuk semua perhatian dan dukungannya.


Post a Comment for "Musyawarah Besar Rakyat Lembata (Relevansi, Pesan, Semangat, Kepekaan, dan Kearifan#Bagian 2/Habis)"