Menggugat Takdir#Cerpen Irene S.
![]() |
Foto Jambrost |
Sekelompok
pipit riuh berkicau di atas pucuk nyiur yang meliuk manja ke utara oleh
hembusan bayu senja itu. Sepasang camar terbang rendah di atas permukaan air
laut, lalu kembali menghilang entah ke mana. Sebaris awan putih tampak
putus-putus tegas membingkai mentari senja yang perlahan merangkak ke
peraduannya. Diapiti sepasang nyiur, sang mentari lelah meredup meninggalkan
lembayung senja yang serasa teduh membingkai hati ku. Indah. Sungguh semua
pemandangan di depan ku begitu indah melenakan diri. Pandang ku tak lepas. Ku
biarkan sejenak anganku berkelana bersama haru birunya hati ini. Di tepian
pantai, di rumah masa kecilku ini, terpaku aku dengan sebatang troy, merek
rokok berkemasan hitam, teman setia ku kalah gundah dan girang. Sejenak
terpaku aku pada tayangan video masa lalu yang menyeruak dari balik lembayung
senja itu. Terpanah aku pada riangnya sesosok bocah laki-laki kecil berusia 3
tahun yang bergelayut manja di punggung
ayahnya, menyusuri pantai menuju rumah beratap pelepa, berdinding pelupu yang
masih baru. Rumah yang letaknya berjarak-jarak di sepanjang pantai Lu’a itu
menambah sepi dan teduh senja kala itu. Hanya riak kecil air laut bergemercik
mengiringi kicauan burung yang kembali ke sarangnya. Di belakang mereka berdua,
seorang wanita separuh baya dengan bayi Rino digendongannya, dan seorang gadis
kecil dituntunan tangan sebelah kirinya. Sementara sebuah bakul berisi umbi-umbian
di punggungnya, menambah beban sehingga
jalannya sedikit membungkuk. Son, nama
si bocah kecil di gendongan sang ayah itu, sesekali menengok ke belakang lalu
tertawa cekikikan karena sesekali di colek oleh gadis kecil kakak sulungnya
yang bernama Rini itu. Tawa Rini gadis pemilik kulit hitam dengan rambut ombak
terkepang itu berbaur bersama gemercik ombak senja itu. Mereka
tampak sangat bahagia menuju ke rumah mereka.
Malam setelah pemandangan sore yang
tampak membahagiakan itu, adalah malam terketuknya palu keputusan, ayah Son,
Lius lelaki separuh tua berperawak tinggi,
berkulit hitam itu harus meninggalkan ibu Neldis dan anaknya bertiga
yang masih kecil untuk merantau ke
Negeri Jiran, Malaysia. Di balik suramnya cahaya lampu pelita yang nyaris
kehabisan minyak itu, wajah wanita berbadan gemuk dengan rambut ikal
tersanggul itu nampak muram. Terpahat
jelas sebuah dilema dari sorot matanya yang rapuh. Mengiyakan artinya siap
menanggung derita membesarkan sendiri sang buah hati yang masih kecil itu.
Menahannya juga hanya menambah beban batin sang suami, karena desakan orang tua
dan saudara untuk segera menyelesaikan urusan belis mereka. Ditatapnya Son
kecil dan kedua anak lainnya yang
tertidur pulas tanpa beban itu dengan berurai air mata. Air mata kesesakan
antara dua pilihan yang sama berat resikonya. Namun dengan ketegasan sang
suami, dan sedikit kata yang menguatkan, bahwa dia tetap akan memperhatikan
kebutuhan anak-anak walau pun tinggal di tanah rantau. Dia tak akan membiarkan
mereka terlantar. Dengan bekal janji itu, wanita yang benar-benar cinta pada
suaminya itu akhirnya luluh dan ikhlas merelakan kepergian suaminya. Dan
semuanya berakhir dalam drama perpisahan pagi itu. Son kecil enggan lepas dari
gendongan ayahnya. Tangisnya menampakan gelisah akan pisah yang panjang. Sang
ibu berjuang membujuk dan menenangkan tapi tetap tak bisa. Akhirnya
digendongnya bocah itu secara paksa dari ayahnya. Gadis kecil yang juga
menangis dengan tangan bergayut tak melepas tangan ibunya, akhirnya sedikit mereda
tangisnya karena dibujuk ibunya bahwa ayah pergi untuk membelikan baju dan
sepatu yang cantik baginya.
**
Bagai menang lotre. Begitulah yang
dirasakan Son, pada hari pertama masuk sekolah. Seragam putih abu yang melekat
di badan kurus tinggi berkulit hitam itu awalnya sangat takut diimpikannya.
Namun akhirnya bisa dikenakannya juga. Tentu saja setelah melibatkan perhatian
beberapa orang dekat yang sungguh mendukung Son untuk melanjutkan sekolah
hingga merekomendasikannya untuk masuk di salah satu SMA Negri di Maumere. Untuk
menghemat biaya, Son mengiyakan tinggal bersama salah seorang kerabat yang
tinggalnya tidak jauh dari sekolah. Teman baru, dan segala suasana bernuansa baru
sejenak melenyapkan kecemasan yang ada di hatinya selama ini.
Setelah menjalani tes IQ, Son ditempatkan di kelas B. Artinya tingkat kepintaran Son tergolong
lumayan. Son menapaki hari baru berseragam putih abu dengan harap-harap cemas.
Demi tidak mengecewakan banyak orang, Son memutuskan untuk semangat belajar.
Teman yang awalnya asing mulai terasa akrab satu sama lain. Son adalah teman sebangku Reny. Bukan itu
saja mereka juga kebetulan bertetangga, sehingga pergi dan pulang biasanya
berbarengan. Son dan Reny juga terlibat kerja tugas bersama. Bulan demi bulan berganti. Hari-hari terasa semakin berat.
Topangan ibu sudah mulai goyah. Son yang pandai membungkam segala kemelut di
hidupnya mulai merasa cita-citanya sedang terancam. Namun yang dipancarkannya
adalah wajah berseri di depan teman-temannya. Termasuk pada sahabatnya Reny , gadis berkulit hitam manis yang selalu
tampak ceriah setiap harinya itu , oun tak pernah dibaginya tentang kemelut
keluarganya. Apalagi tentang ayahnya
yang sudah belasan tahun tak ada kabar ataupun kiriman uang untuk mereka, biar disimpannya sendiri. Ibu yang sering didapatinya menangis dalam
diam karena didera kesulitan yang makin hari makin besar, lebih suka
dikenangnya sendiri dalam diamnya pula.
Hingga pada akhirnya Son harus menerima ultimatum Om kandungnya untuk membawanya ke Merauke, Papua.
Tak seorang pun dibiarkan tahu tentang hal itu. Om Sius yang berbadan gemuk
dengan perawakan lembut itu tampak sangat marah pada ayah. Om Sius yang menurut Ibu Neldis
adalah orang yang ramah, lembut dan tak gampang marah itu, kenyataannya bisa
semarah itu pada Lius ayah Son yang
sedang mengadu nasib di Negri Jiran itu. Ibu Neldis menjadi takut memberikan
alasan untuk menolak keputusan saudara kandungnya yang sedang sangat marah itu.Dia
dengan berat hati merelakan putranya pergi bersama saudaranya. Meskipun berat hati Son meninggalkan ibunya,
namun Son terpaksa harus menuruti kemauan Omnya daripada melihat Om Sius menceramahi ibu
dengan kata-kata yang menyakitkan.
“ Ren,
mulai besok saya sudah tidak sekolah lagi,” bisik Son ketika pelajaran bahasa
Inggris sedang berlangsung saat itu.
“ Tipu,”
sahut Reny dengan berbisik juga takut kedengaran guru Mata Pelajarannya.
“ Betul,”
timpalnya serius
“ Baru kenapa na sampai tidak sekolah lagi?”
buru Reny tak puas.
“ Ah,
sudah. Anak kecil ingat belajar sana,” canda Son mengalihkan pembicaraan.
“ Kau
tipu to? “, Reny masih belum yakin.
“ Hmm,
ini kau simpan ini sudah, “ timpal Son seraya menyodorkan selembar foto
lugunya. Sekalipun Reny bersusah payah mencari tahu, tapi Son tetap mengubur
alasan itu dalam hatinya. Tanpa alasan. Baginya, memberikan alasan sama dengan
menceritakan litani hidupnya yang sangat menyedihkan. Biarlah mereka cukup tahu
yang baik-baik saja tentang aku. Begitu kata hatinya. Reny yang masih belum
puas tapi yakin akan perkataan Son, menolak menghabiskan waktu istirahat di
luar bersama Son. Diam-diam ditulisnya sebait puisi yang menggambarkan bahwa
dia masih sahabat yang baik dan siap berbagi sampai kapanpun. Diselipkannya
sepotong kertas itu di dalam buku catatan Son yang terletak paling atas dengan
hati yang berat. Karena besok dan seterusnya, dia akan sendiri menempati bangku
itu. Dia harus mulai terbiasa pergi dan pulang sendiri. Mengerjakan tugas
sendiri, tanpa Son, si ice breaker yang kadang menyebalkan itu.
***
Merauke,
kota asing itu harus menjadi habitat baru bagi Son. Kota yang juga dijuluki
kota rusa itu, harus menjadi tempat
peraduan nasibnya kini. Penduduk yang dengan ciri paling umum adalah hitam
kulit, keriting rambut, tapi ramah itu mulai menatap asing ke arah Son yang sedang
duduk di teras rumah Omnya pada keesokan paginya. Son sejenak merasa paling
tampan, meskipun kulit mereka sama hitamnya namun terselamatkan karena
rambutnya lurus. Sesaat dia membayangkan sekolah barunya nanti. Dibayangannya
juga muncul gadis Merauke yang akan
menjadi teman sebangkunya, pengganti Reny di tanah Flores yang jauh
ditinggalkannya. Hari terus berlalu, tapi Om Lius belum membahas tentang sekolah barunya. Mau
bertanya rasanya sangat malu. Apalagi tanta yang makin hari menyiratkan aura
tak menyukai kehadirannya mulai perlahan terbaca.
Malam
itu langit tampak suram. Bulan purnama teduh bersinar di balik awan putih
kehitaman yang menebal. Udara terasa dingin menusuk belulang. Di teras rumah Om Lius, tampak lengang. Om
sedang asyik membaca korannya. Di sampingnya duduk tanta Monik yang terlihat
membaca sebuah buku. Entah apa judulnya. Son duduk di ruang tengah sambil
menonton TV. Sesekali dia melirik ke
arah teras di mana Om dan Tantanya berada.
“ Ma,
besok kita daftar Son ke sekolah sudah,” kata Om Lius sambil tetap menatap pada koran di tangannya.
“ Apa?
Sekolah?” timpal Tanta Monik sedikit
kaget.
“ Jadi,
kau bawa dia kesini untuk urus dia sekolah?”, lanjut Tanta Monik dengan nada sedikit meninggi.
“ Iya.
Aku sudah berjanji dengan mamanya,” jawab Om Lius masih dengan nada tenang.
“ Janji?
Kau janji itu tanya saya dulu, Bapa,”
serang Tanta Monik sengit.
“ Dia
itu saudari kandung ku, Ma,” bela Om Lius meyakinkan.
“ Mau
saudari kek, saudara kek, saya tidak sibuk. Lagi pula anak itu ada bapanya.
Kenapa kau yang harus sibuk. Mau kasih manja kau pu saudari? Mereka sudah kasih
apa sama kita? Belis saja tidak urus. Malah anaknya kau yang urus?” suara Tanta
Monik semakin meninggi dengan pertanyaan seperti tembakan mitraliyur saja.
“ Cukup.
Anak itu di sana sedang sekolah. Tapi saya yang ajak ke sini. Jadi saya yang
harus urus dia,” Om Lius sudah tampak emosi.
“ Oh,
jadi Bapa donatur ya?” lirik tanta Monik sinis.
“
Kasihan anak itu, Ma,” Om Lius masih
berusaha sabar.
“ Masa
bodoh. Saya tidak peduli. Rumah ini bukan panti asuhan, paham?” kata tantanya
sambil memelototi om lalu bangkit meninggalkan Om Lius, menuju ke kamar dengan
wajah penuh amarah.
“ Prak”
suara bantingan pintu nyaris mencopotkan jantung Son yang memang sudah tampak
sangat sedih. Son sudah mendengar semua percekcokan itu. Akhirnya apa yang
terbaca di raut wajah tantanya terkuak sudah. Di tengoknya ke teras. Om Lius masih duduk di sana, dengan tubuhnya bersandar
lemas pada kursi, kedua tangannya terlipat di depan dahinya. Son hendak
menemuinya tapi tak kuat berkata-kata. Setelah sejenak melirik ke arah pintu
yang tadi dibanting tantanya, Son perlahan-lahan beranjak ke kamar tidurnya.
Merebahkan diri di atas tempat tidur begitu saja. “Bruk,” begitu bunyi suara
tubuh Son yang terjatuh. Bagai tanpa tulang tersambung di semua sendi kaki dan
tangannya. Matanya nanar menatap langit kamar itu. Gelap. Segelap asanya kini. Harapannya
untuk sekolah harus dia kubur. Dadanya terasa sesak. Berat. Mau berteriak tapi
dia sadar di mana dia berada. Wajah ibu, kakak dan adiknya kembali terlintas
dalam benaknya. Reny sahabat dekatnya, terlintas sebentar di benaknya lalu
hilang oleh gundah hatinya. Semua tampak jauh. Sulit dijangkau. Andaikan jarak
ini dekat, Son akan kabur malam itu juga. Son tidak ingin melihat wajah Om
apalagi tantanya yang nyata-nyata tidak menyukainya. Son merasa sangat malu.
Dibenamkannya wajahnya pada bantal, sedalam mungkin.
“
Kenapa...? Kenapa saya diajak ke sini? Mungkin lebih baik saya susah bersama
ibuku di sana.” Ratap Son dalam diamnya. Akhirnya keperkasaananya lumpuh. Dia
terjebak dalam sedih yang dalam. Air matanya bersimbah membasahi bantal di
kamar sepi itu. Lama berkutat sendiri dengan gelapnya malam, Son bertekad, ia
harus keluar dari rumah itu. Sesegera mungkin.
Di
ujung sedihnya, Son mengambil keputusan untuk merubah arah mimpinya. Dia belum
memiliki mimpi baru. Tapi dia harus menyambung hidupnya selama di tanah Papua
ini. Setelah pertengkaran yang baru di dengarnya tadi, Son bertekad tidak ingin
merepotkan keluarga Omnya sama sekali. Son memutuskan mencari kerja. Apa saja
asalkan halal dan bisa bertahan hidup.
****
Dengan
semangat yang tersisa, Son mencari peruntungan baru di Wamena. Edisi baru
dihidupnya mulai dibukanya kembali. Di tempat proyek, matahari tengah hari
membakar ganas di punggung kecilnya yang mulai menguat oleh terpaan derita.
Peluh bercucuran, bercampur debu. Son sibuk bekerja. Hanya dengan cara itu, dia
bisa hidup dan buktikan bahwa dia tidak akan mati walau tanpa bantuan Omnya.
Son bertahan sebagai buruh bangunan. Ya. Buruh bangunan Usia Sekolah. Andai
saat itu sedang giatnya kampanye pelanggaran Hak Asasi Anak seperti sekarang,
mungkin saja nasib Son bisa terbela. Namun, negri yang asing itu tidak
membuatnya ingin dimanja apalagi dibela.
Ketekunan
dan kejujurannya, rupanya menarik hati pimpinan proyek itu. Son akhirnya
dipercaya menghendel tugas-tugas utama sang pimpinan. Bahkan tak segan-segan,
keuangan proyek itu dipercayakan kepadanya. Lelaki baik hati itu, berniat
membangkitkan semangat Son agar sekolah lagi. Maka niat baiknya itu diutarakan.
Dan karena niat baik itu, Son pun kembali menyulutkan semangatnya yang sempat
padam. Semangat untuk mengejar cita-citanya. Sampai pada upaya meminta ibunya
mengirimkan ijazah SMPnya yang sempat tertahan di SMAnya dahulu. Luar biasa
senangnya. Son kembali berangan-angan. Setelah tamat SMA nanti, dia ingin masuk
ke biara dan menjadi seorang imam. Namun, mujur tak dapat diraih, malang tak
dapat ditolak. Mimpi Son harus kembali terbakar oleh situasi yang terjadi.
Malam
itu, suasana kota Wamena menjadi hiruk pikuk oleh serangan tiba-tiba kelompok
separatis. Semua orang berlari hingar bingar menyelamatkan diri dengan pakaian
di badannya. Son yang sedang tertidur lelap karena lelahnya bekerja, harus
bangun dan berlari tak tentu arah. Bunyi tembakan terdengar di mana-mana.
Kobaran api dari rumah yang sengaja dibakar membuat suasana semakin menakutkan.
Langit berubah merah oleh kobaran api itu. Di balik semak persembunyiannya, Son
dikejutkan oleh hentakan suara asing itu.
“ Hei,
jangan bergerak!”, begitu suara seorang
lelaki berbadan hitam kekar bertelanjang dada, hanya mengenakah koteka berdiri
tepat di belakangnya. Mata Son sempat melirik ke arah datangnya suara itu. Sebuah
busur siap dilepas, mengarah padanya. Napas Son tertahan. Gugup. Pucat
wajahnya. Keringat dingin mengucur deras di malam dingin itu. Dipejamkannya
matanya rapat-rapat, siap menerima takdirnya. Wajah ibu dan kakak adiknya
terlintas sekejap.
“
Selamat tinggal ibu, kakak dan adikku. Selamat tinggal Reny. Selamat tinggal
Flores. Aku pamit,” batinnya pasrah.
“ Hei,
bangun kau!”, perintah lelaki itu lagi.
Son
mulai perlahan-lahan membalikan tubuhnya ke arah suara itu. Matanya tetap
terpejam. Lelaki bertampang sangar, dengan kilatan mata memerah saga itu
mengamatinya garang. Entah apa isyaratnya, tiba-tiba seorang lelaki lain yang
sama sangarnya, muncul dengan obor di tangannya.
“ Lihat sini
kau!” bentak lelaki itu sambil mengangkat rahang Son yang terkatup gugup itu. Son
mencoba menatap lelaki itu. Deg! Jantungnya seolah terhenti.
“
Tuhan...tolong saya,” doa Son dalam hati.
“ Siapa
kau anjing?” tanya lelaki yang memegang obor itu.
“ Sssoon,”
jawabnya gugup.
“ Dari
mana?” lanjut kedua lelaki itu.
“
Flores,” kata Son singkat.
“ Katolik?”
tanya lelaki yang memegang busur.
“ Iya,”
jawab Son.
“ Jangan
bohong kau. Buka tanganmu!” perintah lelaki yang memegang obor.
Son yang
tampak sangat gugup itu, mulai membentangkan tangannya yang pucat. Lelaki
berwajah garang itu menjilat telapak tangannya. Lalu mengangguk ke arah
temannya. Entah apa yang mereka lakukan, Son tak peduli. Setidaknya masih ada harapan untuk selamat.
“ Oh,
jadi kau benar Katolik. “ kata lelaki itu lagi.
Son
hanya mengangguk gugup.
“
Sekarang kau balik! Ingat, jangan dekat-dekat tempat ini sampai jam 5 pagi ini. Kalau mau
selamat. Pergi jauh dari sini. Cepat!”, perintahnya.
Son
menuruti apa yang diperintahkan. Apapun. Dia agak legah karena sudah bisa
selamat. Dia terus berlari ke arah kota. Sampai di depan Gereja Katedral, dia berhenti. Napasnya
tersengal satu-satu.
“ Aku
pasti aman di sini. Mereka tidak mungkin membunuhku di depan Gereja ini,”
pikirnya.
Di teras
depan Gereja itu, dia tertidur. Sangat nyenyak karena kecapaian. Hingga pagi
dia terjaga. Pikirannya kembali ke peristiwa yang dialaminya semalam. Dia
berterima kasih sekali pada Tuhan, karena telah selamat. Walaupun dia harus
terus menelan pil pahit itu karena ternyata ijazahnya juga hangus terbakar
bersama rumah yang ditinggalinya.
“
Tuhaaaaan, apa kau benar-benar ada? Salahku apa? Kenapa aku tak boleh sekolah?
Aku selalu rajin berdoa, bukan? Lalu kenapa kau ambil semua mimpiku? Mengapa harus
selalu aku Tuhan? Katanya Engkau adil. Kenapa aku begini? Kenapa tidak biarkan
aku terbunuh saja tadi malam? Kenapa aku harus selamat? Ini kejam Tuhan.....!
Aku benci pada-Mu. Ijinkan aku membenci rencana-Mu, Takdir untukku sungguh tak
adil. Mengapa Tuhan? ” begitu ratap Son di depan rumah yang telah rata jadi
arang itu.
Ups. Api
rokok troy yang terbakar tanpa kuisap
itu membakar jemariku. Aku terjaga dari tontonan masa lalu yang serba hitam
pekat itu. Tragedi masa lalu ku yang kelam itu tenggelam bersama mentari senja
ini. Ini balada yang akan ku kisahkan pada anak cucuku.
***********************