Jalan Tengah Masyarakat Hukum Adat dan Hegemoni Kekuasaan
Tulisan ini sudah terbit pada jurnal Akademika STFK Ledalero; VOL. 15, NO. 1, AGUSTUS-DESEMBER 2019
Abstraksi: Gotong-royong antara pemerintah dan para pemodal telah merobohkan kedaulatan rakyat sebagai pemegang otoritas demokrasi. Akibatnya, suara rakyat yang menjerit menuntut legalitas Hak-Hak Asasi dikebiri melalui konsep-konsep politis yang manipulatif. Demi idealisme untuk menjadi orang kaya, diduga pemerintah secara diam-diam berselingkuh dengan golongan kapitalis untuk merampas sistim kepemilikan masyarakat kecil yang masih berpegang kuat pada hukum adat.
Secara represif hukum-hukum adat diselewengkan melalui instrumen-instrumen kekuasaan yang diproduksi oleh pemerintah dan didukung oleh para kapitalis kelas wahid. Akibanya, terjadi benturan besar antara masyarakat hukum adat dan pemerintah yang seenaknya menghadirkan proyek-proyek raksasa tanpa diskursus proporsional.
Konflik biner seperti ini selalu merugikan masyarakat hukum adat karena mereka datang dari identitas sebagai masyarakat sipil tanpa modal kekuasaan sedangkan pemerintah selalu bergerak bersama instrumen-instrumen kekuasaan yang egosentris. Perjuangan masyarakat hukum adat untuk menyelamatkan Hak-Hak mereka mesti selalu didukung oleh lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan sehingga tuntutan mereka tidak mubazir.
Advokasi kontinu dari para aktivis baik personal maupun berkelompok mesti membuka jalan tengah untuk mencapai rekonsiliasi antara pemerintah dan masyarakat hukum adat secara adil. Jalan primer yang perlu dicapai yaitu pengakuan dari pemerintah terhadap eksistensi masyarakat hukum adat dengan segala nilai kebenaran filsafat timur yang hadir pranegara. Pascapengakuan tersebut, langkah selanjutnya pasti tercapai.
Rivalitas ide–bahkan mengarah ke fisik–antara masyarakat hukum adat versus pemerintah atau kekuasaan yang diduga berjubah kapitalisme sering tejadi. Pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasaan dianggap melecehkan warisan-warisan adat yang inheren dengan masyarakat lokal melalui dalil pembangunan demi urgensitas bonum commune yang hadir misalnya melalui bisnis pertambangan maupun pariwisata.
Dalil misi pembangunan yang diproduksi pemerintah menemukan titik buntuh ketika berbenturan dengan hak a prima facie.[1] Namun, sebagai penguasa, seringkali pemerintah tetap menanggapi konflik semacam ini melalui intrumen-instrumen kekuasaan yang legal misalnya Undang-Undang pasal 33 Konstitusi 1945[2] atau bahkan memakai tangan militer untuk memuluskan cara kerjanya. Sebaliknya, masyarakat adat yang minim modal kekuasaan terlihat kalah sebelum bertanding tatkala berhadapan dengan hegemoni represif kekuasaan para pemodal; maka jalan yang lumrah dicapai yaitu demonstrasi “brutal” atau membuat petisi tertulis[3] jika dialog formal mubazir.
Ada dua alasan kontradiktif yang perlu dicari benang merah demi proses rekonsiliasi. Masyarakat adat merasa tidak dihormati bahkan dirugikan oleh pemerintah karena tuntutan hukum adat diabaikan[4]; sebaliknya, pemerintah yang dimandatkan untuk menjawab kesejahteraan masyarakat selalu membentengi diri dengan teori pembangunan (theory of development); maka mengeksploitasi alam demi kapitalisasi dianggap halal.
Konsep lawan arus dari pemerintah telah merobohkan bangunan hukum adat yang telah mapan dianut oleh masyarakat hukum adat tertentu dan menimbulkan kekacauan masif hingga kini. Kasus mutakhir terjadi benturan antara Pemerintah daerah Lembata versus masyarakat adat Desa Dolulolong, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, NTT yang getol mempertahankan tanah adat[5]–sudah sebagian diperkosa oleh pemerintah demi pariwisata–juga kasus kontroversial pembangunan tempat pariwisata di Pulau Siput, Lembata yang mati-matian ditolak oleh masyarakat atas nama adat dan budaya karena tempat itu diyakini sebagai kuburan masal para leluhur sehingga dianggap sakral.
Konsep metafisis semacam ini sangat kuat diyakini oleh masyarakat lokal khususnya di Flores sebagai sebuah kebenaran total sebab eksistensi alam dilihat sebagai personifikasi dari kehadiran Tuhan maha cinta dan dilindungi oleh roh-roh tak kelihatan.[6]
Selain itu, kasus tentang hukum adat yang mencakup hak ulayat khususnya di NTT–oleh masyarakat lokal dianggap sangat sensitif sehingga perlu melewati mekanisme sistimatis dalam sebuah konsepsi pembangunan bersama oleh Pemerintah dan masyarakat adat. Namun, jika dilacak secara holistik, pemerintah seringkali menjadi sutradara untuk melegitimasi kerusuhan internal sesama masyarakat lokal a la politik divide et impera yang pernah diterapkan oleh penjajah Belanda untuk gampang menguasai harta benda masyarakat lokal.
Tokoh yang mendukung langgengnya hak a prima facie yaitu John Locke. Dia menegaskan hak-hak alamiah–salah satunya tentang hak kepemilikan–yang hadir pranegara sedangkan konsep yang bertentangan bisa ditemukan pada teori utilitarianisme yang mementingkan aspek pragmatik. Utilitarianisme didukung oleh Jeremy Bethan dan John Stuart Mill. Keduanya mengafirmasi bahwa Hak-Hak Asasi hadir ketika sebuah negara resmi dibentuk. Artinya, hak-hak tersebut disusun oleh para pengatur negara.
Namun, antara Jeremy Bentham dan Jhon S. Mill terdapat kontradiksi ide tentang keadilan karena menurut Bethan, sebuah pembangunan harus menyentuh kepuasan individual–dia kurang serius berbicara tentang konsep keadilan sedangkan Jhon S. Mill lebih terbuka bahwa sebuah konsep pembangunan tidak mesti mengabaikan keadilan. Keduanya menilai Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia adalah sebuah kesalahan besar.[7]
Jika eksistensi Hak-Hak Asasi manusia merujuk secara total pada konsep Utilitarianisme, menurut saya peluang penyelewengan hukum gampang terjadi dan merugikan masyarakat sipil karena hukum Hak-Hak Asasi manusia dibentuk sesuai keinginan pemerintah. Oleh karena itu, dalam sebuah negara demokrasi, hukum adat yang lahir pranegara mesti diakui substansinya sebagai salah satu hukum legal yang mengayomi perjalanan hak hidup masyarakat kecil.
Hukum yang diatur oleh para petinggi negara tidak mesti mengabaikan nilai-nilai positif yang ada dalam hukum adat masyarakat tertentu tetapi harus ada upaya untuk melanggengkan hukum-hukum pranegara sejauh nilai-nilainya menopang kesejahteraan masyarakat kecil, misalnya penyesuaian dan pencarian titik temu antara hukum adat dan hukum positif.
Tulisan ini, selain memberi rekomendasi seimbang untuk menyelesaikan persoalan biner yang dimaksud tetapi juga penulis berusaha melacak lebih jauh motivasi yang menjadi landasan dasar bagi pemerintah maupun masyarakat hukum adat untuk tetap mengonstruksi dan mempertahankan konsep mereka masing-masing yang saling bertentangan.
Polemik tentang hukum adat sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan memiliki legalitas definisi yaitu sistim hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara lainnya seperti Jepang dan India.
Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh-berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.[9] Menurut Soejono Soekanto, hukum adat hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, tetapi kebiasaan yang mempunyai akibat hukum (das sein das sollen).
Definisi tersebut mengartikan bahwa hukum adat bersifat kompleks karena mencakup etika-moral dan konsep religiusitas yang sudah membudaya dan sulit diubah dalam jangka waktu pendek walaupun diprovokasi oleh dalil-dalil modernitas yang didominasi oleh konsep inovativitas dan progresivitas pembangunan. Hukum adat dianggap sangat sakral karena sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat lokal tertentu bahkan dianggap sebagai gambaran jati diri masyarakat adat sehingga jika dirobohkan oleh konsep eksternal, akan berakibat fatal.
Salah satu motivasi kontekstual lahirnya hukum adat bisa ditemukan pada definisi yang diciptakan oleh Muhammad Rasyid Maggis Dato Radjoe Penghoeloe sebagaimana dikutif oleh Prof. Amura yaitu bertolak dari sedikit kebimbangan penduduk terhadap kekayaan alam yang berlimpah ruah, maka sampailah mereka kepada adat.[10] Artinya relevansi antara alam dan hukum adat tidak bisa diceraikan secara terpaksa sebagaimana yang sering dipraktikan oleh elit-elit negara dalam meloloskan bisnis para pengusaha-pengusaha besar.
Sampai saat ini, diskusi tentang hukum adat masih alot karena pemerintah memberi rekomendasi bahwa sistim seperti ini seringkali menghambat pembangunan dan kemajuan negara. Faktanya, pemerintah dengan segala kekuatan raksasanya berusaha mengeksploitasi alam baik laut maupun darat tanpa memerhatikan aturan hukum adat yang relevan dengan kepentingan budaya dan mata pencaharian masyarakat lokal. Eksploitasi laut bisa dilihat pada hadirnya proyek reklamasi yang merugikan nelayan kecil sedangkan di darat bisa ditemukan pada pencaplokan tanah (land grabbing) masyarakat secara bebas oleh Pemerintah sesuai dengan aturan yang egosentris.
Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat, pada 21 Maret 2018 terjadi pencemaran minyak mentah di teluk balikpapan, Kalimantan Timur seluas 7000 Hektar bahkan Pusat Data dan Informasi KIARA (2018) mencatat, dalam kurun waktu 1998 sampai 2017, diperkirakan telah terjadi 37 kasus tumpahan minyak di Indonesia; bahkan terdapat sekitar 741.344 keluarga nelayan yang terdampak pembangunan reklamasi, 32.027 terdampak pertambangan pesisir dan pulau-pulau kecil, 979 desa pesisir mengalami pencemaran air, 204 desa pesisir mengalami pencemaran tanah dan 1257 desa mengalami pencemaran udara.[11]
Tentang kasus tersebut, salah satu isu tersensitif yaitu hak ulayat yang diatur dalam sebuah Undang-Undang klasik Hukum Tanah Nasional dan telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang meliputi :
1. Penyamaan
persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
2. Kriteria dan
penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4).[12]
Yurisdiksi tersebut jelas mengafirmasi bahwa relevansi masyarakat atau kelompok manusia dengan tanah bersifat abadi.[13] Pemerintah sebagai pemegang tampuk birokrasi mesti mengayomi dan menghormati kekhasan tradisional yang dimiliki oleh seluruh warga masyarakat adat karena tuntutan-tuntutan hukum tersebut bertumbuh sejak dahulu kala dan mengandung kebenaran filosofis.
Pendasaran yang selalu menjadi titik pijak yaitu keyakinan mereka terhadap hukum kausalitas yang sudah ditetapkan secara sah dan diwariskan secara oral oleh para leluhur. Ketercerabutan dari akar sejarah–khususnya tentang warisan leluhur–akan membuat suatu masyarakat gampang diarahkan demi kepentingan sesaat para penguasa.[14]
Nasib masyarakat adat di hadapan kekuasaan selalu memunculkan narasi miring, apalagi pemerintah dilindungi oleh para kapitalis kelas wahid yang selalu mengagungkan intelektualitas demi menopang idealisme bisnis. Infrastruktur-infrastruktur besar dibangun di atas tanah masyarakat adat tanpa mendahului izin pembebasan lahan dan terdapat manipulasi kompensasi. Fakta ini memantik resistensi total masyarakat hingga ke meja hijau dan ujung-ujungnya hukum selalu tumpul ke atas.
Pada wacana filosofis, hukum adat selalu berkaitan dengan filsafat kebudayaan dan Indonesia khususnya NTT masuk dalam penganut aliran filsafat timur yang selalu menjaga keharmonisan dengan kosmos yang bersifat amat religius karena didukung sikap moral-etis.[15]
Berbicara tentang hukum adat, nilai moral sangat dijunjung tinggi sehingga terbukti bahwa pemerkosaan sewenang-wenang terhadap hukum adat oleh pemerintah yang berkuasa akan dibalas habis-habisan oleh masyarakat lokal beradat bahkan melalui “adu fisik.” Masyarakat adat sangat berpegang teguh pada keyakinan metafisis bahwa alam adalah “saudara kandung” manusia sehingga mesti diperlakukan sesuai hukum adat yang diyakini sangat adil.
Masyarakat adat juga memiliki filsafat kebudayaan yang melekat yaitu ada unsur-unsur hakiki yang lahir dan dikembangkan oleh masyarakat bersangkutan, juga ada pengaruh kausalitas terhadap kehidupan manusia.[16] Semua keyakinan in se tanpa data tertulis tersebut kemudian diatur secara legal oleh negara walaupun masih menimbulkan polemik panjang karena diduga ada motivasi kepentingan privatisasi bisnis politik.
Masyarakat adat yang hadir dengan penuh kepolosan menuntut tanggung jawab negara untuk memberi klarifikasi memuaskan sehingga diskrepansi ide yang dimaksud bisa berakhir secara damai dan menghadirkan pemerintahan yang lebih adil dan toleran terhadap keberadaan kelompok minoritas.[17]
3. Masyarakat Hukum Adat di Hadapan Kekuasaan
Pemerintah mengeskploitasi alam atas nama pembangunan tetapi melecehkan budaya musyawarah sebagaimana yang diwariskan dalam tradisi masyarakat adat dan tanpa melewati suatu survei yang matang. Oleh karena itu, perkara tanah perlu mendapat kepastian hukum agar bisa dibedakan status kepemilikan, demikian Achmad Sodiki sebagaimana yang dikutip Surhariningsih.[18] Rencana industri pertambangan di Flores-Lembata sangat jelas merupakan sebuah strategi kejahatan sistimatis atas nama pembangunan[19] yang belum tentu berdampak surplus bagi kesejahteraan masyarakat kecil.
Kasus yang sama, bisa dipantau melalui benturan antara pembangunan pariwisata oleh pemerintah kontra tuntutan masyarakat adat yang mempertahankan hak ulayat serta tempat-tempat sakral yang tidak membutuhkan intervensi modernitas melalui pariwisata.
Pembangunan pariwisata yang pada satu sisi mungkin mempercepat laju ekonomi dan kesejahteraan umum tidak selalu diterima oleh masyarakat adat yang tempatnya dijadikan pemerintah sebagai obyek wisata sebab akan membuat mereka teralienasi di tanah sendiri. Masyarakat adat menilai bahwa kehadiran modernitas bisa meremukkan nilai-nilai adat dan menggerogoti alam yang telah lama dijaga demi kelangsungan hidup mereka.
Berhadapan dengan kondisi problematis seperti ini, masyarakat adat menuntut tanggung jawab etis dari pemerintah untuk bersama-sama melihat substansi dari hukum adat yang menjadi energi merangsang perbenturan. Artinya, sebuah konsep pembangunan yang menyentuh langsung dengan nilai-nilai hukum adat oleh pemerintah mesti secara transparan didahului dengan sebuah diskusi bersama agar aspirasi-aspirasi masyarakat bisa disampaikan sebagai suara pengontrol demi mencegah adanya kolonialisasi kekuasaan.
Namun, libido pemerintah untuk mengeksploitasi alam hampir tidak mampu dipatahkan oleh argumentasi tradisional masyarakat adat. Fenomena ini sangat jelas membuka mata publik bahwa di hadapan kekuasaan yang hegemonik, militansi masyarakat kecil beradat selalu dirong-rong bahkan dibungkam secara terpaksa oleh instumen-instrumen kekuasaan yang menyetir hukum. Kejadian kontradiktif tersebut jelas membuktikan bahwa selain motivasi murni pembangunan, pasti ada motivasi bisnis untuk mengeruk profit pribadi. Akibatnya, etika (sopan-santun) tidak diperhatikan lagi.
Oleh karena itu, reaksi positif sebagai basis resisten pun muncul di berbagai tempat. Banyak aktivis personal maupun yang tergabung dalam lembaga-lembaga sosial tidak pernah bisu mengampanyekan hak adat[20] yang dalam ilmu kewarganegaraan termasuk dalam hak kolektivisme.
Pascakolonialisme, terbentuklah generasi ketiga Hak Asasi Manusia yaitu kolektivisme yang mengafirmasi perlindungan terhadap hak-hak minoritas seperti hak adat. Artinya, sejak awal kemerdekaan, negara sudah mengakui eksistensi hukum adat dan memberi ruang langgengnya hukum tersebut. Dalam perjalanan waktu, fakta selalu kontradiktif di balik kepentingan bisnis dan merugikan kepentingan primer masyarakat yaitu mata pencaharian dan hukum adat.
Jika dilacak secara akurat, hegemoni kekuasaan yang datang dari pemerintah selalu berwajah ganda. Pada satu sisi, pemerintah atas dorongan nurani mengeksekusi program tersebut untuk menjawab kerinduan politik publik tetapi sebaliknya kepentingan properti oligarki selalu bermain-main di belakang pemerintah dan menumbalkan masyarakat kecil.[21]
Perselingkuhan antara pemerintah dengan para pemodal oleh Charles Deber disebut sebagai korporatokrasi yang melegalisasi pemerintahan dari, oleh, dan untuk perusahaan.[22] Dengan demikian, menghalalkan segala cara adalah salah satu strategi mujarab yang dimainkan pemerintah demi “pembengkakkan perut”.secara instan.
Masyarakat lokal yang merasa tidak berdaya dalam perjuangan menghadapi masalah globalisasi pembangunan cenderung menjadikan kekerasan fisik sebagai jalan membela diri.[23] Awasan tersebut menjadi rambu-rambu merah bahwa bahaya ketidakadilan bisa memicu revolusi berdarah, maka jalan tengah yang perlu dicapai yaitu kesadaran untuk mengakui “yang lain” versi filsafat wajah E. Levinas menjadi titik pijak primer.[24] Pengakuan tersebut akan menghasilkan sebuah komunikasi rasional (J. Habermas) untuk membangun sebuah perdamain bersama (pax) dalam suasana kesetaraan dan pluralitas.[25]
Pengakuan pertama mesti datang dari atas yang ditopang oleh ide keadilan dan kesadaran terhadap aspek tanggung jawab serta didorong oleh misi karitatif terhadap konteks dan konsep fundamental yang dimiliki oleh masyarakat lokal beradat.
Namun, perlu disadari bahwa sebuah pengakuan mengandaikan adanya pengetahuan dasar tentang kebenaran-kebenaran filsafat timur yang dimiliki oleh masyarakat lokal sehingga tidak menimpulkan kecurigaan sebab menurut saya salah satu kejahatan korporatokrasi disebabkan oleh nihilisme pengetahuan tentang kebenaran filsafat timur yang terangkum dalam hukum adat.
Mereka mesti diakui keberadaannya sebagai sebuah kelompok masyarakat beradat yang memelihara nilai-nilai kebenaran, sebab melalui pengakuan, nilai kemanusiaan dijunjung tinggi dan rekonsiliasi pasti terjamin. Ide E. Levinas dan J. Habermas tersebut mesti terakumulasi dalam sebuah forum formal untuk menghasilkan egalitarianisme hukum. Jawabannya harus tersistimatisasi dalam bentuk Undang-Undang formal landreform yang tetap mengakomodasi tuntutan masyarakat adat dalam mengelolah wilayahnya demi kepentingan hayati dan pengawetan budaya yang sebenarnya adalah tanggung jawab negara.
Hak politik masyarakat adat mesti bersifat partisipatif. Maksudnya supaya para penguasa tidak seleluasa mengeksploitasi alam demi dalil pembangunan yang berwajah ganda dan melalui sebuah legal standing Undang-Undang, masyarakat bisa menjadi watch dog bagi gerakan-gerakan pemerintah yang berpotensi membohongi Undang-Undang.
Di sini, masyarakat harus membangun kekuatan akar rumput[26] (The Power Of Civil Society) sebagai basis dasar menghadapi gemuruh raksasa dari atas sebab sejarah membuktikan bahwa kekuatan rakyat sipil dapat mengkudeta ekpansi kejahatan politik.
Tentang hal ini, masyarakat lokal mesti selalu diadvokasi oleh lembaga-lembaga sosial–para LSM ataupun organisasi sosial lainnya yang merasa bertanggung jawab terhadap nasib masyarakat kecil, sumber daya lingkungan hidup dan kearifan lokal perlu mengawasi kinerja pemerintah, memberi pelayanan publik dan melakukan advokasi kontinu terhadap pelanggaran HAM; memperluas demokrasi dan desentralisasi.[27] Hal ini akan mempermudah menemukan jalan tengah demi rekonsiliasi antara kekuatan “gajah dan semut.”
DAFTAR PUSTAKA
Kamus
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Edisi I. Jakarta:
Gramedia, 1996.
Buku-Buku
Baghi, Felix. Alteritas: Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan-Etika Politik dan Postmodernisme. Maumere:
Ledalero, 2012.
Budi Kleden, Paul. Kampung Bangsa Dunia. Yogyakarta:
Lamalera, 2008.
---------------------. “Nenek
Moyang-Masih Relevan”, dalam Jebadu, Alex. Bukan
Berhala: Penghormatan Kepada Roh Orang Meninggal.
Cetakan II Maumere: Ledalero,
2018.
Jebadu, Alex. Bahtera Terancam Karam: Lima Masalah Sosial Ekonomi dan Politik Yang Meruntuhkan
Keutuhan Negara Republik Indonesia. Maumere: Ledalero, 2018.
Jebadu, Alex dkk., (eds). Pertambangan di Flores-Lembata: Berkah atau
Kutuk. Maumere: Ledalero, 2009.
Kebung, Kondrad. Filsafat Berpikir Orang Timur. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher, 2017.
---------------------. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher, 2015.
Kono, Redem. Senandung Suara-Suara Minor. Bandung: Matahari, 2016.
Madung, Otto Gusti. Politik Antara Legalitas dan Moralitas. Maumere:
Ledalero, 2009.
Rustam, Ibrahim. “Kata Pengantar
dan Ucapan Terimakasih”, dalam Jordan, Lisa dan Peter Van Tuijl., (eds).
Akuntabilitas LSM: Politik, Prinsip dan
Inovasi. Terj. Dewi Anggraeni, dkk. Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia, 2009.
Suhariningsih. Tanah Terlantar: Asas dan Pembaharuan Konsep
Menuju Penertiban. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher, 2009.
Jurnal
Ruwiastuti
Suryaalam, Maria. “Hak Perempuan Atas Sumber Daya Alam”. dalam Jurnal Ledalero,
No. 1 (Juni), Vol 3, 2004, hlm. 65.
Paji,
Johan. “Melawan Oligarki”. dalam Akademika,
No. 1 (Agustus-Desember),Vol 14, 2018, hlm.
13.
Surat Kabar dan Media Online
Berita. “AMAN Gagas Perda
PPHMA di Flotim dan Sikka”, Flores Pos, 23 Oktober 2018, hlm. 5.
Berita. “Dialog
Masyarakat Adat dan Pemerintah, Hasilnya Minim”, Tempo.com https://nasional.tempo.cotahun-dialog-masyarakat-adat-dan-pemerintah-hasilnya- minim/full&view=ok,
diakses pada Selasa 19 februari 2019.
Berita. “Aktivis Sebut RUU
Masyarakat Adat Terancam”, Tempo.com https://nasional.tempo.co/read/1174065/aktivis-sebut-ruu-masyarakat-adat-terancam- diabaikan- pemerintah/full&view=ok, diakses pada Selasa 19
Februari 2019).
Keo Bhaghi,
Silvano. “Kemiskinan, Neoliberalisme, dan Organisasi Kelas Pekerja”. (Makalah, Maumere, 2019), hlm. 7.
Kladu Koten, Yosef. “Etika Sosial” Manuskrip. Maumere: STFK Ledalero, 2019
[1]
Artinya, hak yang ada
sebelum terbentuknya sebuah negara dan tidak bergantung padanya. Bahasa latin Primus (pertama) dan facies (wajah). Bdk. Maria Ruwiastuti
Suryaalam, “Hak Perempuan Atas Sumber Daya Alam”, Jurnal Ledalero, 3: 1 (Juni, 2004), hlm. 65.
[2]
Ibid.
[3]
Lebih lengkap lihat Alex
Jebadu, Bahtera Terancam karam: Lima Masalah Sosial Ekonomi dan Politik Yang
Meruntuhkan Keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (Maumere: Ledalero, 2018), hlm. 241-246.
[4]
Sepuluh
Tahun Dialog Masyarakat Adat dan Pemerintah, Hasilnya Minim (online), (https://nasional.tempo.cotahun-dialog-masyarakat-adat-dan-pemerintah-hasilnya-minim/full&view=ok, diakses pada Selasa 19 februari 2019).
Aktivis Sebut RUU Masyarakat Adat Terancam (online), (https://nasional.tempo.co/read/1174065/aktivis-sebut-ruu-masyarakat-adat-terancam-diabaikan-pemerintah/full&view=ok, diakses pada Selasa 19 Februari 2019).
[5] Rian Odel, “Melawan Kepalsuan
Pojok Cinta”, dalam Flores Pos, 7 Januari 2019, hlm. 9. Penulis
juga pernah berkunjung ke Desa Bersejarah Dolulolong pada pertengahan bulan
Juni 2018 silam untuk meneliti secara langsung kasus yang mereka alami. Selama
kurang lebih dua hari di kampung yang 100 persen penduduknya muslim tersebut,
penulis menemukan bahwa hak-hak adat mereka dikebiri oleh pemerintah daerah
demi kepentingan bisnis pariwisata dan sampai sekarang perkara ini masih
mubazir walaupun sudah digugat oleh masyarakat ke meja hijau. Tanah adat mereka
dicaplok oleh pemerintah tanpa didahului dengan dialog dan pembebasan lahan dan
juga reklamasi mendadak tanpa Analisis Dampak Lingkungan Hidup (Amdal).
Mekanisme yang dipakai pemerintah sangat amburadul dan masyarakat pesisir Dolulolong
melancarkan perlawanan dengan kekuatan swadaya. Akibat mubazirnya kasus ini,
sampai sekarang pemerintah tidak bertanggung jawab terhadap perbuatan jahatnya
dan masyarakat dirugikan karena tidak ada kompensasi dari pemerintah.
[6]
Alex Jebadu, op. cit., hlm. 91.
[7]
Yosef Kladu Koten, “Etika
Sosial” Manuskrip ( Maumere: STFK
Ledalero, 2019), hlm. 79-102.
[8] Lorens Bagus, Kamus Filsafat,
Edisi I (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 8.
[9]
Hukum Adat (online),
(https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat, diakses pada Selasa 19
februari 2019.)
[11]
Catatan Akhir Tahun 2018,
Proyeksi Kelautan dan Perikanan KIARA (online),
www.kiara.or.id, diakses pada Rabu 20 Februari
2019.
[12]Hukum Adat (online), https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat, Loc.cit. Terkait
hak ulayat bisa juga ditemukan pada UU di bidang agraria No.5 / 1960
yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.
[13]
Suhariningsih, Tanah Terlantar: Asas dan Pembaharuan Konsep
Menuju Penertiban (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2009), hlm. 61
[14]Paul Budi Kleden, “Nenek
Moyang-Masih Relevankah?”, Prolog dalam Alex Jebadu, Bukan Berhala, Penghormatan Kepada Para Leluhur (Maumere: Ledalero,
2009), hlm.vi.
[15]
Kondrad Kebung, Filsafat Berpikir Orang Timur (Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher, 2017), hlm. 15.
[16]
Kondrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher, 2015), hlm. 21.
[17]
Redem Kono, Senandung Suara-Suara Minor (Bandung:
Matahari, 2016), hlm. 86.
[18]
Surhariningsih, op.cit.,hlm. 111.
[19]
Pengantar dalam Alex Jebadu
dkk., (eds.), Pertambangan di
Flores-Lembata, Berkah Atau Kutuk (Maumere: Ledalero, 2009), hlm.vii.
[20]
Tentang hal ini, Benyamin
kanisius Raja Kopo, putra kecamatan Detusoko yang tergabung dalam Remaja
Mandiri Community (RMC) mengangkat sistim ekonomi masyarakat adat ke Forum Asia
dalam sebuah workshop dengan tema Peace
in Indigenous People Lives Amid Limitless Development and Ecological Crisis in Asia yang berlangsung
di Filiphina, 27 Juli-6 Agustus 2018, Marianus Nuwa, “Eka Angkat Sistem Ekonomi
Masyarakat Adat ke Forum Asia”, dalam Flores
Pos, 3 Oktober 2018, hlm. 1 dan 15. Di Flores AMAN Nusa Bunga melakukan penelitian
lapangan untuk mendorong percepatan pengakuan dan perlindungan Hak-Hak
Masyarakat Adat di dua kabupaten yaitu Flotim dan Sikka. Berita, “AMAN Gagas
Perda PPHMA di Flotim dan Sikka”, Flores
Pos, 23 Oktober 2018, hlm. 5.
[21]Paul Budi Kleden, Kampung Bangsa Dunia (Yogyakarta: Lamelera,
2008), hlm. 230.
[22]
Dikutip dari Silvano Keo
Bhaghi, “Kemiskinan, Neoliberalisme, dan Organisasi Kelas Pekerja” (Makalah,
Maumere, 2019), hlm. 7.
[23]
Otto Gusti Madung, Politik Antara Legalitas dan Moralitas (Maumere:
Ledalero, 2009), hlm.6.
[24]
Felix Baghi, Alteritas: Pengakuan, Hospitalitas,
Persahabatan – Etika Politik dan Postmodernisme (maumere: Ledalero, 2012),
hlm. 23.
[25]
Otto Gusti Madung, op.cit., hlm. 7.
[26]
Bdk. Johan Paji, “Melawan
Oligarki”, Akademika, 14:1
(Agustus-Desember, 2018), hlm. 13.
[27]
Rustam Ibrahim, “Kata
Pengantar dan Ucapan Terimakasih (Edisi bahasa Indonesia)” prolog dalam Lisa
Jordan dan Peter Van Tuijl, (eds.), Akuntabilitas
LSM: Politik, Prinsip dan Inovasi, terj. Dewi Anggraeni, dkk (Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia, 2009), hlm. Vii.
Post a Comment for "Jalan Tengah Masyarakat Hukum Adat dan Hegemoni Kekuasaan"
Komentar