Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Gereja Nuba dan Cerita tentang Tuang van de Leur, SVD yang Tercecer di Lembata


Foto P. Wilhelmus van de Leur, SVD dan Gereja Nuba

RakatNtt.com - Dalam catatan sejarah Gereja Katolik Lembata, kampung Lamalera merupakan gerbang pertama masuknya agama Katolik di Lembata (Thomas B Ataladjar, 2021: 183-184). Berdasarkan penelusuran Thomas B Ataladjar yang terkumpul dalam bukunya Lembata dalam Pergumulan Sejarah dan Perjuangan Otonominya (2021), tercatat bahwa orang Lamalera pertama yang menerima iman Katolik bernama Maria Lete pada 31 September 1881 di Larantuka. Ia dipermandikan oleh pastor Jac. Kraaivanger SJ.

Sejak saat itu, orang Lamalera yang lainnya mulai mengikuti jejak gadis Maria Lete. Iman Katolikpun bertumbuh subur di Lamalera dan menjalar terus ke semua penjuru tanah Lembata termasuk ke Lamatuka, sebuah wilayah di pedalaman Kecamatan Lebatukan. Di wilayah Lamatuka, salah seorang misionaris terkenal asal Belanda bernama P. Wilhelmus van de Leur, SVD masih meninggalkan jejak kekatolikkan disana. Jejak kekatolikkan itu, kini subur tak pernah pudar.

Mama Helena Lema


Mendaki Bukit, Tuang Leur Layani Umat

Menelusuri jalan berliku dan lekak-lekuk serta lubang yang masih menganga, saya bersama Eman Lengary, pada Rabu, 22 Februari 2023 melakukan perjalanan ke pantai Bobu di Desa Lamalela. Sebelum tiba di pantai yang menawan ini, kami melewati beberapa perkampungan berpenghuni juga beberapa jejak peninggalan kampung lama tak berpenghuni.

Terlihat bekas rumah adat suku dengan atap yang masih berdiri kokoh, fondasi bekas sekolah dan yang tertarik untuk ditelusuri sejarahnya ialah Gereja Nuba yang dibangun oleh P. Wilhelmus van de Leur, SVD, serta bangunan bekas Poliklinik yang kini berdiri sendiri tanpa perhatian masyarakat setempat untuk merawatnya sebagai peninggalan bersejarah.

Berdasarkan data yang ditemukan oleh Herman Yosep Laga dalam skripsinya berjudul: Berkatekese dengan Nilai-nilai Upacara Ga Wate Su’u bagi Umat Lamalela (2021), terdapat beberapa kampung di daerah pedalaman ini yakni Besei, Benalar, Lebelang, Hidalabi, Ilowutung dan Dangalangu. Masyarakat yang menghuni 6 kampung ini disebut sebagai orang-orang Lamatuka karena punya dasar sejarah yang sama. Selain 6 kampung ini, ada juga warga dua kampung lainnya yang tidak termasuk orang-orang Lamatuka karena memiliki latar sejarah berbeda yakni kampung Lelawerang dan Lelalein.

Kampung Ilowutung



Medan Menuju Gereja Tua Nuba

Pada zaman Tuang  van de Leur, SVD, umat Katolik yang ada di beberapa kampung tersebut mendapat pelayanan iman darinya dan juga pelayanan kesehatan di Poliklinik yang dibangun oleh misionaris asal Belanda itu. Tentang ini, dikisahkan kembali oleh Mama Helena Lema di Desa Banitobo.

Menurut Mama Helena Lema yang lahir tahun 1942, Gereja Nuba dibangun ketika umurnya menginjak 8 tahun. Sebelum dibangun, para Ketua Dewan melakukan pertemuan bersama Tuang van de Leur, SVD, untuk mencari tempat strategis pendirian Rumah Tuhan yang kini terkenal dengan nama Gereja Nuba tersebut.

Tuang  van de Leur, SVD, memilih tukang bangunan dari kampung Lamalera karena hanya merekalah yang mahir dalam kaitan dengan pembangunan gedung gereja. Selain itu, pasir diambil dari kali, lantai gereja terbuat dari bebatuan berbentuk ceper. Kebutuhan lain, seperti balok atau kayu merupakan swadaya umat setempat.

Mama Helena Lema  juga menceritakan kisah petualangan iman Tuang Leur, SVD mendaki bukit, melewati hutan belantara dengan medan yang memprihatinkan demi melayani umat Allah di wilayah Lamatuka, Lelawerang dan Lelalein – kini kampung Lelawerang dan Lelalein tak berpenghuni tetapi jejak peninggalan mereka masih ada misalnya gua Maria, kuburan dan lain-lain. Mereka bermigrasi mencari tempat hunian baru usai bencana alam tahun 1970-an yang berpusat di Waiteba. Orang Lelalein kini menghuni Desa Lerahinga dan Lelawerang menghuni Desa Baopana di Tanahtereket.

Selain pelayanan iman dan kesehatan, ada pula pelayanan pada bagian pendidikan. Guru-guru yang datang ke wilayah ini kebanyakan berasal dari Lamalera – barangkali ada pula dari daerah lain? Berdasarkan data internet dari  stlaurensiushadakewa.blogspot.com dengan artikel berjudul Profil Paroki St. Laurensius Hadakewa, tercatat beberapa nama guru yang pernah ditugaskan di wilayah Hadakewa dan sekitarnya yakni Guru Muli, Suban Teka (Lamalera), bapak Belida, Y. Nara Beto (Lamalera) dan Ciku Fernandez.

Dari sumber yang sama menjelaskan bahwa P. Wilhelmus van de Leur, SVD merupakan Pastor Paroki Hadakewa pertama setelah Paroki tersebut ditahbiskan pada tahun 1951. Misionaris ini membuat banyak perubahan bangunan gedung gereja dengan menambahkan tiga petak fundasi pada tahun 1962.

Bahkan menurut data tersebut, Tuang van de Leur, SVD melakukan banyak karya pembangunan rumah ibadah di hampir setiap stasi dan terdapat tiga bangunan gereja berukuran besar dibangun di Lodoblolong, Nuba dan Hadakewa.

Bangunan Bekas Poliklinik dan Jalan Berlubang
Poliklinik, Dahulu dan Kini

Usai mendirikan Gereja Nuba, Tuang van de Leur, SVD, mendirikan lagi Poliklinik sebagai pusat pelayanan kesehatan. Narasumber yang sama menjelaskan, orang pertama yang dipekerjakan di Poliklinik tersebut yakni Plina Dua. Setelah itu, diganti oleh Bibi Boi yang berasal dari Kedang. Menurut pengakuan warga setempat, kini, Bibi Boi sesekali datang ke wilayah Lamatuka untuk menjual obat.

Walaupun sebagai pusat pelayanan kesehatan umat Allah, kini bangunan yang pernah ramai dikunjungi itu menjadi sepih pengunjung. Terlihat sekejap seperti rumah hantu yang dibiarkan tak terurus. Menurut Eman Lengary, orang Ilowutung dan Dangalangu biasanya menggunakan tempat tersebut sebagai rumah ganti pakaian sebelum mengikuti misa di Gereja Nuba.

Perjalanan jauh dan melelahkan dari Ilowutung dan Dangalangu, mengharuskan umat Katolik di dua kampung ini menjadikan bangunan bekas Poliklinik tersebut sebagai rumah ganti pakaian, dan membersihkan tubuh dari keringat sebelum masuk ke dalam Gereja Nuba. (Rian Odel)




4 comments for "Gereja Nuba dan Cerita tentang Tuang van de Leur, SVD yang Tercecer di Lembata"

  1. Luar biasa ulasannya Amo. Kisah kisah yng terkisah yang tercecer dijahit dengan begitu rapi dalam tulisan ini. Syukur bhwa masih ada narasumber yang tau pasti tentang cerita fakta ini ya. Dengan tulisan ini, sebagai bahan ilmu baru bagi generasi Lembata yang mana sya yakin ada yang baru tau tentang cerita ini setelah membaca ulasan yg luar biasa ini.

    Semoga dengan ulasan Amo ini, generasi muda khususnya warga setempat perlu perhatikan atau merawat poliklinik tersebut, krena menjadi aset sejarah yang sangat bernilai dan berharga.

    ReplyDelete
  2. Sejarah seperti ini sangat baik untuk digali, ditulis dan dibacakan kepada generasi Lembata. Thanks penulis...

    ReplyDelete