Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Ajaran Moral dalam Legenda Bapa Naran (Buaya) di Kedang, Lembata




Kekayaan sastra berbentuk lisan – mitos, dongeng, nyanyian rakyat dan sebagainya – yang  diwariskan dalam kehidupan masyarakat lokal di setiap daerah tidak terlepas dari sejarah awal terbentuknya masyarakat bersangkutan. 

Masyarakat lokal selalu berkembang dengan memaknai konsep-konsep kehidupan yang ada dalam tradisi-tradisi lisan yang diwariskan. Dalam tradisi-tradisi itu, ada banyak ajaran moral yang layak ditaati demi kesejahteraan bersama sehingga selalu diwariskan dari generasi ke generasi. 

Demikian pun tradisi lisan orang Kedang di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur yang sangat menjunjung tinggi nilai moral; tentang tingkah laku baik dan buruk serta konsekuensinya bagi manusia.

Sekilas tentang Masyarakat Kedang

Masyarakat Kedang terdapat di Kabupaten Lembata khususnya di Kecamatan Omesuri dan Buyasuri. Mereka menggunakan bahasa Kedang sebagai media percakapan setiap hari. Menurut cerita, leluhur mereka berasal dari puncak gunung Uyelewun atau dilahirkan oleh tanah. 

Keyakinan seperti ini menjadikan orang Kedang selalu dekat dengan kekuatan alam sekitar sebab menurut mereka, dari alam, mereka bisa dilahirkan. Mereka juga mengakui adanya wujud tertinggi yang disebut Nimon Rian Arin Bara’. Walaupun demikian, wujud tertinggi dalam konsep budaya masyarakat Kedang memilki banyak sebutan. Bukan hanya wujud tertinggi, mereka juga percaya akan kekuatan alam, Leluhur dan sebagainya.

Saat ini, masyarakat Kedang sudah menganut agama Islam, Kristen Katolik dan Hindu. Namun, kepercayaan tradisional tetap melekat dan dipraktikkan. Salah satu bentuk kepercayaan tradisional masyarakat Kedang ialah kelekatan mereka dengan Buaya yang diyakini sebagai nenek moyang.

Legenda Bapa Naran[1]

Alkisah, di Kedang hidup beberapa orang bersaudara yaitu, Nuhan Loyo, Lia Loyo, Wula Loyo dan beberapa saudara yang lain. Lia Loyo melahirkan masyarakat Kedang dan Nuhan Loyo melahirkan Naran Nuhan, kemudian Naran Nuhan Ini melahirkan Are’ Naran, Bapa Naran dan lain-lain. Are’ Naran menjadi dewi padi – bandingkan Tonu Wujo versi Lamaholot – dan Bapa Naran menjadi Bapa Iu atau Buaya. 

Pada mulanya, bapa Naran hidup sebagai manusia. Namun, dengan alasan penyakit kulit yang berat dan tidak kunjung sembuh, ia pun bersumpah untuk pindah ke laut dan mau menjadi buaya. Sumpahnya itu, ia buktikan dengan menanggalkan lidahnya di darat dan kini tumbuh menjadi lidah buaya. 

Ia pergi ke laut dan menjadi buaya. Tugasnya melindungi orang Kedang dari serangan musuh yang mau mengancam keutuhan juga ia akan hadir sebagai “wasit” yang mengontrol tingkah laku masyarakat Kedang.

Ajaran Moral

Ada satu konsep di Kedang yang mengajarkan tentang perbuatan manusia dan konsekuensinya yaitu laha muar, muar ruang; laha daten, daten ruang. Konsep ini memberi pesan bahwa setiap perbuatan baik dan jahat selalu memiliki konsekuensi. Yang berbuat baik akan mendapatkan kebaikan sedangkan yang berbuat jahat akan mendapatkan hal yang negatif. 

Menurut Edward Sapir B. Lee Whorf sebagaimana dikutip Yohanes Orong, bahasa yang dipakai selalu memengaruhi kebudayaan manusia.[2] Artinya, cara berpikir orang Kedang tentang moralitas selalu dipengaruhi oleh ungkapan-ungkapan dalam bahasa daerah mereka. Dari ungkapan tersebut, kemudian dikaitkan dengan eksistensi buaya sebagai nenek moyang masyarakat Kedang. Setiap tindakan mereka selalu dikaitkan dengan konsekuensinya.

Menurut mereka, manusia yang berbuat dosa besar lalu meninggal dimangsa buaya itu sebuah konsekuensi logis yang harus diterima. Orang Kedang sangat Yakin bahwa buaya tidak pernah memangsa manusia yang bersih dari kesalahan. 

Laha daten, daten ruang, “buat jahat, kejahatan itu akan datang”, sangat paralel dengan keyakinan masyarakat Kedang tentang peran buaya. Buaya memiliki dua peran yaitu menjadi pelindung dari peperangan atau disebut sebagai Mi’er, dan menjadi “pembunuh atau hakim yang kejam bagi orang Kedang yang berbuat kejahatan fatal misalnya membunuh orang tetapi tidak melakukan ritual pertobatan secara adat. 

Maka dari itu, para tetua di Kedang selalu melarang masyarakat Kedang untuk tidak boleh berbuat kesalahan besar sebab konsekuensinya bisa diterkam buaya.     

Walaupun kepercayaan tersebut sangat irasional tetapi sampai saat ini diyakini secara mutlak sebagai sebuah kebenaran. Mereka melihat buaya bukan sebagai binatang buas pemakan daging manusia tetapi sebagai nenek moyang. Keyakinan terhadap mitos (juga legenda) mau menegaskan bahwa ada kesadaran bahwa setiap makhluk memiliki kekuatan baik itu yang positif maupun yang negatif yang hadir melalui penyakit dan malapetaka.[3]   

Mitos merupakan salah satu cara manusia untuk memaknai kehidupan. Mitos bukan hasil mutlak dari fantasi manusia, melainkan reproduksi atas peristiwa yang pernah terjadi atau partisipasi dengan yang sudah terjadi.[4] 

Menurut Van Peursen, mitos bisa dipakai untuk menerangkan sesuatu yang sukar diungkapkan dengan cara lain.[5] Penjelasan terakhir ini sangat mendukung legenda buaya di Kedang dan relevansinya dengan ajaran moral. Bisa mungkin yang dimaksudkan oleh Leluhur masyarakat Kedang ialah bahwa manusia harus hidup baik dan bertingkahlaku yang baik terhadap dirinya, sesamanya, alam semesta dan wujud tertinggi.  

Barangkali para leluhur menghadirkan buaya hanya untuk menakut-nakuti masyarakat Kedang agar menghindarkan diri dari Dosa. Kehadiran buaya  digambarkan sebagai hakim yang kejam berarti bahwa masyarakat Kedang tidak boleh berbuat dosa supaya kelangsungan hidupnya tetap eksis. Berbuat dosa besar berarti nyawanya pun akan terancam oleh buaya.           

Menurut saya, hal yang paling penting dari tema ini ialah adanya kesadaran bahwa dosa itu perbuatan yang jahat maka harus dihindari. Juga bisa saja terjadi bahwa banyak orang Kedang yang suka berbuat dosa besar (tempo dulu) misalnya membunuh orang dan untuk meminimalisasi kejadian serupa, para leluhur menciptakan legenda ini untuk membantu orang Kedang dalam memaknai dosa dan konsekuensinya. Itu arti yang pertama. 

Yang kedua ialah keyakinana bahwa buaya adalah pelindung masyarakat Kedang ketika menghadapi mala petaka. Hal ini jelas terlihat ketika pada sekitar tahun 2007/2008 silam, masyarakat Kedang membuat ritual khusus untuk memaggil buaya guna merongrong pemerintah dan militernya yang hendak mengeksplotasi tanah Kedang sebagai lahan pertambangan. Ritual ini memberi hasil yang memuaskan. Itu berarti, kelekatan manusia dengan kekuatan alam masih sangat kuat.

Ritual Peri’ Manu’  

Ritual peri’ manu’ biasa dilakukan oleh masyarakat Kedang untuk mencari penyebab dari sebuah kematian, misalnya karena diterkam buaya. Dalam ritual ini, mereka mengundang kehadiran Wujud Tertinggi, kekuatan alam semesta dan Leluhur. Biasanya, ketika seorang meninggal diterkam buaya, ritual ini dilakukan untuk mencari penyebab sekaligus untuk ritual pertobatan atau pengampunan atas sebuah kesalahan.  

Terlepas dari logis atau tidaknya ritual ini, tetapi makna terdalam dari ritual ini sungguh sangat berarti. Sebuah kematian akibat diterkam buaya mesti selalu direfleksikan dengan tingkah laku orang yang sudah meninggal tersebut pada masa hidupnya. 

Artinya, sebuah kematian tidak hanya diterima begitu saja tetapi paling kurang ada refleksi atasnya. Refleksi tersebut sangat berarti bagi masayarakat Kedang lainnya yang masih hidup supaya tidak boleh melakukan kesalahan. Kematian diterkam buaya menjadi pelajaran buat yang lain.

Ritual tersebut juga membuktikan adanya komunikasi antara manusia dengan leluhurnya juga dengan alam semesta dan wujud tertinggi. Artinya, dalam sebuah kejadian, wujud tertinggi selalu dipercaya sebagai pemberi jalan terbaik juga leluhur dan alam semesta. Manusia menyadari kelemahannya sebagai substansi yang terbatas, maka ia membutuhkan kekuatan lain untuk membantu keterbatasan dirinya.

Penutup

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa legenda bukan sebuah karya sastra yang semata-mata lahir dari fantasi. Namun, ia bertolak dari sebuah fakta yang kemudian membantu manusia untuk menjelaskannya dalam bentuk sastra. 

Masyarakat Kedang yang masih mewariskan legenda Bapa Naran sangat yakin akan kebenaran legenda tersebut. Oleh karena itu, menurut saya – terlepas dari keyakinan metafisik bahwa buaya adalah nenek moyang – hal yang terpenting dari legenda tersebut ialah ajaran moralnya. Jangan berbuat dosa! Itu inti dari legenda tersebut yang mesti menjiwai semua orang Kedang.

                        Oleh Rian Odel                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               

                       



[1] Mitos ini sudah saya publikasikan melalui blog pribadi saya, lihat https://www.rianodel.online/2020/05/mitos-tentang-buaya-di-kedang.html, diakses pada Kamis 12 November 2020.

[2] Yohanes Orong, “Linguistik Umum” Bahan Kuliah (Maumere: STFK Ledalero, 2014), hlm. 45.

[3] Oziaz Fernandez, Humanisme; Citra Manusia Budaya Timur dan Barat (Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi Katolik Ledalero, 1983), hlm. 13

[4] Ibid., 15

[5] Chornelis Van Peursen, Strategi Kebudayaan,penerj. Dick Hartoko (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1976), hlm. 64-65.

1 comment for "Ajaran Moral dalam Legenda Bapa Naran (Buaya) di Kedang, Lembata"