Sebagaimana sudah
diketahui publik Lembata bahwa, Senin (21/12/2020), Penyidik Tipikor Polda NTT
resmi menetapkan tersangka kembar atas kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi
proyek pembangunan wisata apung Awololong di Kabupaten Lembata, NTT.
Dua tersangka tersebut
yakni Silvester Samun, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Abraham Yehezkibel
Tzasaro, Direktur PT Bahana Krida Nusantara selaku kontraktor pelaksana proyek
Awololong. Namun, menurut Kombes Pol Johanes Bangun, penetapan tersangka
tersebut adalah kluster pertama (koranntt.com). Artinya, masih ada kluster
kedua dan seterusnya – entah sampai kluster ke berapa? Penetapan ini juga
menimbulkan perdebatan sengit para netizen khususnya yang tergabung dalam grup facebook Bicara Lembata New.
Kedua tersangka
tersebut dijerat Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang nomor 20 tahun
2001 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1e KUHP (sergap.id).
Adapun kerugian anggaran negara dalam kasus tersebut sebesar RP.
1.446.891.718,27. Anggaran yang sangat fantastis rela dilahap oleh segelintir
elit demi proyek Awololong yang sangat tidak dibutuhkan oleh publik Lembata.
Proyek yang dibangun
atas inisiatif sepihak Pemerintah Lembata yang dinahkodai oleh Eliaser Yentji
Sunur; Bupati Lembata dua periode yang mendapat banyak penghargaan. Bukan hanya
itu, ia juga memiliki honor yang sangat besar dan menimbulkan polemik di
tengah publik Lembata.
Terlepas dari pengantar
tulisan kecil-sederhana ini, saya hanya mau menulis kembali untuk menyegarkan
ingatan publik Lembata tentang suatu pristiwa yang pernah terjadi di tengah
gejolak proyek awololong.
Pristiwa yang
dimaksudkan adalah demonstrasi “masyarakat adat Baolangu” untuk mendukung
Pemerintah Lembata dalam rangka melanjutkan pembangunan proyek raksasa di
Awololong. Alasan sekunder demontrasi tersebut dikibarkan karena sebelumnya pernah terjadi penolakan oleh sebagian
masyarakat terhadap proyek tersebut. Sedangkan argumentasi penolakan oleh yang
kontra ialah Awololong secara kultural diyakini sebagai kampung lama mlik nenek
moyang sebagian warga Lembata.
Alasan ini sangat relevan dengan keyakinan orang
Lamaholot bahwa kampung lama adalah tempat sakral, maka perlu dirawat secara
baik bukan dieksploitasi versi pemerintah, apalagi jembatan apung senilai
miliaran rupiah. Tentu masih ada alasan rasional-ilmiah lainnya, misalnya dari
segi lingkungan hidup dan lain-lain.
Dalam iklim demokrasi,
tentu saja bahwa demonstrasi mendukung ataupun menolak adalah bentuk kedewasaan
dalam menghayati demokrasi. Namun, jika demonstrasi untuk membela sesuatu yang
masih kontroversial perlu juga dipertimbangkan secara kritis.
Demonstrasi
Dukung Awololong: Apa Hasilnya?
Ali Kedang, nama yang
tidak asing lagi terdengar oleh publik Lembata. Dalam sejarah perjuangan
membela kebenaran di balik kematian Lorens Wadu misalnya, nama Ali Kedang
dikenal sebagai seorang aktivis yang enerjik dan tak pernah malas berbicara
sebagai orator – saya sendiri pernah mengaguminya sebagai seorang pejuang
kemanusiaan. Pengalaman perjuangan Ali Kedang dalam membuka tabir kematian
Lorens Wadu bisa dibaca pada koran Flores
Pos (8/10/2016), dengan judul: Pakaian
dan Sandal Belum Ditemukan; Milik Almarhum Lorens Wadu.
Kali ini, mantan
Sekretaris FP2L tersebut datang lagi sebagai seorang orator demonstrasi. Ia
memimpin masyarakat adat desa Baolangu – walaupun sesungguhnya Ali Kedang bukan
berasal dari baolangu; mungkin karena jiwa aktivisnya sebagai seorang yang
rajin membela sesuatu yang benar, maka diundang sebagai orator. Hal ini
tentunya sangat diapresiasi. Sebab motivasi perjuangan mereka tertuju pada
kebaikan bersama.
Demonstrasi yang
terjadi di Gedung DPRD Lembata, rabu (27/2/2019) bertolak dari alasan primer
yaitu mendukung pemerintah membangun jeti dan kolam apung di pulau Siput,
Awololong (Pos-Kupang.com).
Alasan yang sangat
rasional tersebut, tentu patut diberikan tepukkan tangan. Sebab, mereka
menyampaikan aspirasi bukan untuk kepentingan golongan melainkan untuk Lembata
secara umum. Mereka mendesak pemerintah agar tidak mundur dalam membangun
proyek Awololong walaupun ada desakan kontra dari kelompok-kelompok masyarakat
tertentu (Ibid.,).
Demonstrasi yang datang
dari masyarakat adat Baolangu tersebut bisa dinilai sebagai suara yang asli
atau murni dari masyarakat, jika tidak ada kerja sama parsial di baliknya. Namun,
jika demonstrasi yang dimaksud sudah disesain atau dirumuskan oleh sutradara
tertentu dari kalangan Pemerintah, maka sesungguhnya masyarakat sedang
dimanipulasi suaranya demi sesuatu yang pada akhirnya mangkrak.
Saya mengajak kita
untuk menilai bahwa demonstrasi yang
dipimpin oleh Ali Kedang tersebut adalah bentuk aspirasi murni masyarakat. Artinya,
perjuangan mereka untuk kepentingan bersama bukan karena “dibayar” pakai
sesuatu walaupun hasilnya kini, Awololong masih tetap berada di tengah gejolak
pro-kontra.
Pertanyaannya ialah,
siapa yang patut disalahkan? Tentu yang bersalah adalah para pengambil
kebijakan, atau dengan kata lain, orang-orang yang merasa diri profesional
dalam mendesain Awololong sampai menghilangkan uang milik orang Lembata. Contoh
nyatanya adalah tersangka kembar yang telah ditetapkan oleh pihak kepolisian.
Mereka yang mendapat
dukungan murni dari masyarakat adat Baolangu telah mengkhianati masyarakat
Lembata secara umun dan masyarakat adat baolangu secara khusus. Mengapa tidak,
suara melengking dari masyarakat adat dibalas dengan proyek yang mangkrak. Sungguh
ironis. Ini bentuk pengkhianatan terhadap suara murni masyarakat. Bisa dibayangkan,
betapa berenerginya Ali Kedang berkoar-koar mendukung para pengambil kebijakan
tapi yang terjadi mangkrak dan ada tersangka di baliknya.
Ta’an
Tou
Sebagai masyarakat yang
taat pada hukum, tentunya kita mendukung sempurna proses hukum yang akan terus
berlanjut. Namun, sebagai orang Lembata, tentu pristiwa seperti ini mesti
menggugah hati nurani kita untuk melihat kembali secara kritis. Kita mesti
merefleksikan agar bisa menemukan solusi. Salah satu warisan lokal yang ada di
Lembata yaitu konsep ta’an tou.
Ta’an
tou mesti
dimaknai sebagai sebuah kekuatan atau persatuan untuk membela yang benar bukan
yang memberi uang. Ta’an tou berarti
berani meninggalkan gengsi dan kepentingan-kepentingan kelompok, suku dan
partai politik agar bisa secara bersama melihat makna di balik proyek mangkrak,
Awololong.
Yang salah, tetap salah
dan kita, baik yang kontra sejak awal mula maupun yang pro khususnya Ali Kedang
dan masyarakat adat Baolangu mesti berjabatan tangan untuk menyatukan kekuatan
dan secara bersama mengatakat: “Ya” untuk melawan koruptor Awololong. Apalagi kondisi
kita sedang dilanda bencana alam bertubi-tubi, baik itu erupsi maupun Covid-19 –
juga barangkali bencana karena honor bupati yang menurut saya terlampau besar.
Konsep ta’an tou mesti melampaui semua
kepentingan parsial di atas. Mesti ada pergerakkan baru secara bersama sebagai
satu Lembata untuk mendukung Polda melawan koruptor Awololong. Kita melawan
mereka bukan membenci tetapi demi nilai kebenaran itu sendiri.
Mulai dari
Pemerintah, dari Bupati, para kepala Dinas, aktivis, mahasiswa, masyarakat adat
dan semua orang Lembata mesti bersatu melawan koruptor di balik Awololong. Ingat,
dana miliaran rupiah itu sangat berharga untuk masa depan Lembata.
Yang paling penting
ialah konsep ta’an tou dalam melawan
koruptor Awololong mesti pertama-tama keluar dari mulut kritis pucuk Pemerintahan
Lembata. Jika pemimpinnya sudah bersuara, otomatis penjahat besar di balik
proyek Awololong akan sangat muda ditangkap.
Penulis
Admin
Rian Odel