DISKUSI KARL POPPER MEMBANGKITKAN KESADARAN DEMOKRASI POLITIK BANGSA
Oleh Adriana Magdalena Gelawur Mahasiswi STFK Ledalero |
Akhir - akhir ini, demokrasi bangsa kita telah kehilangan arah dan esensinya. Demokrasi perpolitikan Indonesia sedianya merupakan representasi idealisme yang menempatkan rakyat sebagai tokoh penting dalam negara. Ini berarti demokrasi memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk menyampaikan aspirasi dan ekspresi diri sebagai makhluk politis sejauh berada di bawah tata aturan politik[1]. Namun, tujuan mulai dari demokrasi, kini telah ternodai oleh kehadiran kaum oligarki (Penguasa dan Pengusaha) yang mengambil alih sebagai penentu semua keputusan politik. Tentu kedaan ini menimbulkan ketimpangan dalam pelaksanaan demokrasi bagi masyarakat luas karena para politisi dan pengusaha bekerjasama memperjuangkan kepentingan kolektif saja melalui manipulasi kebijakan publik. Hal ini menimbulkan ketakpercayaan masyarakat terhadap para penguasa dan dunia perpolitikan. ISEAS salah satu lembaga riset di Singapura pada tahun 2017 telah mengungkapkan bahwa partai politik dan DPR merupakan lembaga yang paling tidak dipercayai oleh masyarakat Indonesia.
Oleh sebab itu, penulis
menawarkan matode diskusi Karl Raimund Popper sebagai solusi membangkitkan kesadaran demokrasi bagi kaum oligark
dan kecintaan masyarakat terhadap dunia perpolitikan. Ada dua alasan mendasar penulis mengangkat
matode diskusi Popper. Alasan pertama adalah Rasionalitas Popper. Ia seorang anti
Marxis karena kekecewaannya terhadap ide
aliran ini yang menghalalkan segala cara dalam melakukan revolusi. Marxis
sangat dogmatis yang mana selalu berusaha mencari pembenaran ( verifikasi)
terhadap teori-teori yang ditemukannya. Alasan ini membuat Popper menyadari sungguh perbedaan antara
pemikiran dogmatis dan pemikiran kritis. Hal lain yang memengaruhi perkembangan
intelektual Karl Popper dalam berfilsafat adalah ungkapan Einstain yang mengatakan bahwa, suatu teori tak dapat dipertahankan kalau
gagal dalam tes tertentu.[2] Prinsip ini yang membedakan Popper dengan kaum Marxis.
Demokrasi seharusnya
membawa masyarakat lebih dekat dan terlibat dalam dunia perpolitikan. Namun,
kapitalisme oligarkai membuat masyarakat sipil menjadi “orang asing” dalam
pemutusan kebijakan demokrasi politik Indonesia. Tokoh sentral demokrasi telah
beralih dari masyarakat kepada para elite politik. Maka masyarakat perlu
berpikir kritis untuk mendapat kembali haknya dan kaum oligark semestinya
menghilangkan sikap dogmatis dalam perpolitikan indonesia.
Alasan yang kedua yaitu
cara pandang Popper terhadap sikap ilmiah. Menurutnya sikap ilmiah adalah sikap
kritis yang tidak mencari pembenaran-pembenaran melainkan tes yang krusial
berupa pengujian yang dapat menyangkal teori yang diujinya. Lanjutnya, membiarkan
teori-teori dihadapkan pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan
ketidakbenarannya adalah satu-satunya cara yang tepat untuk mengujinya dan
satu-satunya cara yang memungkinkan ilmu pengetahuan bisa berkembang
terus-menerus. Sebab dengan menemukan titik lemah dan mendapat kritikan, ilmu
itu akan berkembang terus-menerus[3].
Rasionalisme digunakan
Popper sebagai suatu sikap untuk menyelesaikan sebanyak mungkin masalah dengan
bertolak dari akal budi. Sebab bagi Popper, sangat mustahil membangun suatu
ilmu hanya berdasarkan pada fakta empiris karena pengalaman selalu bersifat individual
dan tak mungkin menghasilkan suatu kebenaran universal. Sebagai suatu istilah
yang menyangkut tingkah laku dan sikap praktis,
Rasionalisme adalah suatu sikap
bersedia mendengarkan penalaran kritis dan belajar dari kesalahan.
Jargonnya: “ mungkin saya salah dan anda
boleh benar, namun mari kita duduk bersama berusaha mendekati kebenaran”[4].
Dalam hal ini rasionalisme yang diperjuangkan Popper ialah rasionalisme yang
melibatkan sikap terbuka untuk diskusi kritis, bersedia belajar dari kesalahan
dan terbuka untuk bekerjasama mendekati atau memeroleh kebenaran.
Praktek politik
demokrasi Indonesia cenderung menyimpang dari esensinya. Persoalan politis
terjadi banyak diakibatkan oleh kebablasan demokrasi itu sendiri. Orang
menggunakan senjata demokrasi melampaui hakekat demokrasi. Berakibat pada saling
tuding antara kubu penguasa-pengusaha dan kubu masyarakat sipil. Kedua kubu
saling mempersalahkan, saat terjadi perosalan seperti saat demo raksasa 212
tahun 2017 lalu dengan mendulangi isu
agama.
Kita bisa menggunakan
jargonnya Popper “mungkin saya salah dan
anda boleh benar, namun mari kita duduk bersama berusaha mendekati kebenaran” dalam sebuah diskusi sebagai
langkah membangkitkan kesadaran demokrasi politik di Indonesia. Pihak oligark
dan masyarakat perlu membangun komunikasi yang baik dalam sebuah ruang diskusi
sehingga semua pihak bisa mengakui kebenaran dan kesalahan masing-masing dan
mengambil langkah pemurnian pelaksanaan demokrasi yang benar di Republik ini.
Diskusi yang dimaksudkan disini adalah masyarakat perlu mengikuiti perkembangan
politik sehingga dapat memberikan anjuran, kritikan, dan aspirasi atau solusi
terhadap problem-problem tertentu demi kepentingan bersama. Keterlibatan ini
juga mampu mengontrol kebijakan
pemerintah untuk mengilangkan segala manipulasi dan ketidakadilan. Maka masyarakat
perlu melibatkan diri dalam organisasi kemasyarakatan sebagai wadah mediasi
untuk menyerukan aspirasi mereka dalam diskusi bersama wakil rakyat di
parlement. Diskusi akan jauh lebih baik untuk mendapatkan keadilan bagi seluruh
warga negara. Semua pihak akan membuka diri menerima pendapat pihak lain
sehingga apa yang dicitakan bersama bisa tercapai.
Maka mari menggunakan
forum diskusi untuk mencapai kesepakatan bersama demi kepentingan bersama.
Terbuka menerima kritikan atas ide dan pendapat yang dikemukakan akan memeroleh
nilai luhur bagi banyak orang bukan kepentingan pribadi atau golongan. Mari
murnikan demokrasi perpolitikan Indonesia dengan Diskusi untuk mufakat.
[1] Angel
Salmon, “Membangun Kesadaran Politik Di tengah Manipulasi Ketidakadilan
Kekuasaan”, Jurnal Mahasiswa STFK Ledalero Akademika, 14:1 (Yogyakarta:
Desember 2018), hlm. 171.
[2] Dr.
Mathias Daven, “Epistemologi Pemecahan
Masalah: Karl Popper”, Bahan Kuliah Epistemologi, (STFKLedalero: 2018),
hlm. 186.
[3] Ibid. Hlm. 187.
[4] Ibid. Hlm. 188.