MEMBANGUN PARIWISATA BERBASIS KOMUNITAS LOKAL DI DESA
Bicara pariwisata (tourism) berarti kita akan berbicara seputar strategi untuk mencari uang. Strategi klasik yang dibangun selama ini lebih banyak dikendalikan oleh kekuasaan atau pemerintahsentris. Hal ini acapkali berakibat pada sulitnya partisipasi aktif masyarakat sekitar. Akibat lainnya terjadi cara kerja yang tidak transparan dan keuntungan yang parsial karena hanya orang-orang yang memiliki otoritas kekuasaanlah yang mampu mengatur jalannya pariwisata beserta harta benda yang ada dalam bisnis tersebut.
Masyarakat yang ada di sekitar lokasi wisata hanya hadir sebagai orang-orang kecil yang kurang terurus sumber dayanya. Problem sosialpun tak jarang terjadi gara-gara pariwisata. Misalnya, hadirnya investor berjiwa kapitalis-ekploitatif yang membuat masyarakat tidak memeroleh keuntungan karena tidak punya otoritas, ditambah lagi dengan pemerintah yang disutradarai oleh orang kaya.
Muncul korporatokrasi
dan hasilnya pariwisata tetap membuat masyarakat kelas bawah menjadi semakin
miskin. Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 menggaris bawahi, perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan (Pasal 33 Ayat 1),
kemudian bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat (Ayat 3). Walaupun
demikian, bukan berarti tugas pemerintah sebagai nahkoda politik ditanggalkan
atau sebaliknya menjadi pelaku tunggal pembangunan.
Yang menjadi tuntutan utama dalam tulisan ini ialah partisipasi publik dalam mengatur lalu-lintas pariwisata dengan berbasis pada komunitas lokal setempat. Saya memfokuskan tulisan ini untuk membahas bisnis Pariwisata milik masyarakat Desa. Sebab menurut saya, akhir-akhir ini, lokasi wisata yang ada di Desa-Desa mulai populer dibicarakan.
Di Nusa Tenggara Timur misalnya, pariwisata menjadi salah satu kekuatan utama dalam mendongkrak kemajuan masyarakat khususnya pada bidang ekonomi. Kabar gembira ini terbukti lagi dengan hadirnya delapan obyek wisata NTT yang masuk nominasi Anugerah Pesona Indonesia (API) tahun 2020 (Pos Kupang, 4/8). Salah satunya ialah Fulan Fehan di Kabupaten Belu. Atraksi tarian likurai dengan jumlah penari massal menjadi daya tarik bagi wisatawan baik lokal, nasional maupun manca negara. Juga Pulau Meko di Adonara Kabupaten Flores Timur, NTT telah menjadi primadona mutakhir.
Ketakutan kita ialah, partisipasi publik yang berada di sekitar tempat wisata dikebiri oleh kekuasaan yang apatis terhadap kesejahteraan sosial.
Aneka destinasi wisata dengan motif yang variatif – ada wisata budaya, alam, kuliner, religi dan lain-lain – selalu berkaitan dengan daerah administratif Desa. Dari Desa, lokasi wisata kemudian diperkenalkan kepada pemerintah Daerah. Biasanya, Pemerintah Daerah misalnya di Kabupaten akan menjadi cepat respon melihat peluang bisnis seperti ini.
Namun, kesalahannya
ialah pemerintah dan warga Desa bersangkutan memiliki peluang besar untuk disingkirkan
dalam bisnis tersebut. Indikatornya, yang mengelola lokasi wisata diatur oleh
Pemerintah Kabupaten atau Provinsi bahkan Pusat yang hadir sebagai pelaku yang
merampas otoritas Pemerintah Desa dan warganya. Profit riil untuk warga Desa
minim. Suara kritis merekapun dikebiri.
Untuk menanggapi hal ini, strategi mengembangkan destinasi wisata mesti mulai dibangun di Desa dan berbasiskan pada komunitas warga setempat (community based tourism). Salah satu karakteristik Desa adalah kehidupan warganya yang masih berpegang kuat pada kearifan lokal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), Kearifan atau arif berarti bijaksana, pandai dan berilmu juga arti lain ialah memahami atau mengetahui.
Dengan demikian dapat diartikan, kearifan adalah sebuah proses memahami kebijaksanaan atau mengarifkan. Hanya orang Desa yang memahami secara valid kearifan lokal yang ada di tempat tinggalnya. Artinya, masyarakat Desa masih berpedoman pada nilai-nilai kebijaksanaan lokal yang tentunya punya nilai universal dan bermanfaat sebagai cerminan dalam pembangunan kehidupan bersama melalui pariwisata. Gotong-royong, toleransi, berbudaya, memiliki hukum adat adalah ciri-ciri kearifan lokal yang tetap dijaga di Desa.
Mereka juga masih sangat menjaga keharmonisan dengan alam sesuai dengan filsafat berpikir sebagai orang timur – Indonesia, India dan China (Kondrad Kebung, 2017). Dengan demikian, cara pembangunan versi kapitalisme tidak seratus persen diterima. Kapitalisme menuntut kebebasan menanam modal bagi para pengusaha besar dan orang miskin mendapat bagian dari tumpukkan kekayaan itu berupa lapangan pekerjaan (Paul Budi Kleden, 2008).
Kesulitan yang sering terjadi ialah, para pemilik modal kemudian mengkapitalisasi destinasi wisata apalagi jika sudah bergotong-royong dengan Pemerintah Daerah yang sulit dikontrol oleh masyarakat sekitar. Korporatokrasi menjadi mulus di atas lokasi wisata milik masyarakat Desa. Orang kaya kemudian menjadi tuan di atas tanah masyarakat Desa dan seenaknya mengendalikan laju bisnis pariwisata. Karena itu, Pariwisata berbasis pada komunitas masyarakat Desa sangat urgen untuk melawan hegemoni kapital seperti ini.
Masyarakat Desa mesti diberi ruang untuk mengendalikan pariwisata. Mereka mesti mendapat pemberdayaan dari pemerintah Kabupaten atau provinsi dan pusat, misalnya sumbangan dalam bentuk anggaran tanpa intervensi dominan dari Pemerintah. Anggaran tersebut, mesti menjadi daya inspiratif untuk membangun destinasi wisata yang ada di Desa. Hal ini penting karena sistim gotong-royong masih kuat di Desa yang memungkinkan kesejahteraan sosial terjadi secara signifikan.
Masyarakat bersama Pemerintah Desa juga mesti memaksimalkan dana Desa untuk progres daerah wisata di Desa. Sebab di Desa, Pemerintah ada dan tinggal bertetangga dengan masyarakatnya. Pemerintah Desa tidak mempunyai rumah jabatan yang jauh dari masyarakat. Hal ini memudahkan pengontrolan publik dalam kaitan dengan anggaran.
Dalam Buku Saku Dana Desa yang diterbitkan oleh Kementrian Keuangan Republik Indonesia (2017), – bisa juga diakses pada https://www.kemenkeu.go.id/media/6750/buku-saku-dana-desa.pdf - terdapat referensi valid tentang Desa. Dalam buku tersebut, tercatat bahwa Desa menjadi subjek atau ujung tombak pembangunan (UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa), makanya diberikan dukungan dari Negara berupa Dana Desa untuk pengembangan potensi-potensi di setiap Desa.
Informasi mutakhir, Dana Desa rata-rata naik dari Rp. 933,92 juta per Desa pada tahun 2019 menjadi Rp. 960,59 pada tahun 2020 (https://tirto.id/dana-desa-meningkat-tiap-desa-rata-rata-dapat-rp960-juta-tahun-ini-esQu). Jumlah yang sangat fantastis untuk pembangunan sebuah Desa sesuai dengan Undang-Undang tentang Desa (Pasal 72, ayat 1) yang mengatur tentang pendapatan Desa yang bersumber pada hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong-royong dan lain-lain.
Ada lima tujuan Dana Desa yaitu peningkatan pelayanan publik, basmi kemiskinan, memajukan perekonomian Desa, kesamarataan pembangunan anatarDesa dan memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan (Buku Saku Dana Desa, op. cit., hlm. 7).
Dari beberapa poin penting tentang Desa di atas, Pariwisata berbasis komunitas lokal di Desa menjadi sangat relevan dalam kaitan dengan peningkatan ekonomi masyarakat Desa. Sebab pariwisata merupakan kekayaan yang menjadi aset potensial Desa. Di Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, NTT misalnya, ada contoh inspiratif yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan masyarakatnya. (Baca http://bapakita.id/berita/431/gunakan-dana-desa-pemdes-dikesare-dandani-pantai-lewolein-menuju-desa-wisata).
Pemerintah Desa tersebut memanfaatkan Dana Desa untuk mengembangkan tempat wisata Pantai Lewolein yang berada di lokasi Desa tersebut. Mereka juga melakukan pelatihan ekonomi kreatif bagi kelompok jualan khusus yang berjualan di wisata pantai tersebut. Juga pembangunan fasilitas pendukung pantai Lewolein. Salah satu hal menarik berbasis komunitas Desa ialah Pemerintah Desa bersama masyarakat membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) untuk mengelola aset daerah wisata ini (Ibid.,). Hal ini membuktikan bahwa pariwisata di Desa sangat gampang dibangun jika Pemerintah Desa dan masyarakatnya memiliki spirit tunggal yang sama sebagai satu komunitas.
Pariwisata Komunitas
Komunitas erat kaitannya dengan transparansi dan gotong-royong. Tanpa dua hal tersebut, pesimisme publik terhadap lalu-lintas bisnis pariwisata akan selalu ada. Oleh karena itu, dua hal tersebut mesti menjadi stand point untuk merumuskan pariwisata berbasis komunitas lokal di Desa. Artinya, kesadaran masyarakat Desa terhadap pentingnya berkomunitas mesti didukung dengan spirit transparansi dan gotong royong.
Pertama, soal transparansi. Kesadaran ini mesti lahir dari Pemerintah Desa sebagai penggerak ekonomi masyarakat sekaligus pengambil kebijakan. Transparansi itu perlu supaya masyarakat memiliki semangat partisipatif yang berkelanjutan. Artinya, setiap kebijakan-kebijakan politis tentang pariwisata mesti melibatkan masyarakat sebagai watch dog pembangunan.
Pengontrolan tersebut
bisa dilakukan melalui berbagai macam kanal. Misalnya, Pemerintah Desa
menerbitkan sebuah website yang
menjadi sumber informasi bagi masyarakat tentang jalannya pariwisata. Dengan
itu, masyarakat diberi kemudahan untuk selalu mengontrol, apalagi saat ini
hampir semua masyarakat di pedesaan sudah mahir dalam dunia digital. Selain
itu, aspirasi masyarakat bisa diterbitkan melalui website tersebut sehingga setiap orang diberi kebebasan untuk
mengontrol jalannya pariwisata. Besarnya Dana Desa dan anggaran yang
dimanfaatkan untuk mengongkos bisnis pariwisata bisa diterbitkan melalui website sebagai jembatan transparansi
informasi.
Yang terpenting ialah, partisipasi masyarakat. Setiap kebijakan mesti dibicarakan secara bersama untuk menghasilkan konsensus yang legal dan memuaskan masyarakat. Bukan hanya itu, perlu juga dilakukan revaluasi massal untuk selalu melihat kembali hasil dari pariwisata bagi kemajuan masyarakat Desa. Kegiatan ini bisa dilakukan sesuai jadwal yang disepakati bersama di Desa.
Semua pihak tanpa kecuali diundang untuk hadir dalam momen ini guna memberi penilaian dari berbagai macam perspektif. Baik dari perspektif budaya lokal, ekonomi, agama, maupun pelestarian lingkungan dan sebagainya yang menjadi kekhasan original di Desa. Hal ini penting agar pariwisata tidak mengorbankan salah satu aspek khas di Desa. Misalnya, pariwisata tidak boleh mengorbankan alam hanya karena alasan ekonomi.
Kedua, gotong-royong. Spirit ini menjadi kekuatan utama Ir. Soekarno dalam membangun Indonesia. Dengan demikian, gotong-royong mesti menjadi spirit inheren masyarakat Desa dalam mengupayakan pembangunan pariwisata berbasis komunitas. Gotong-royong adalah sebuah keharusan dalam komunitas. Masyarakat Desa mestinya diberdayakan untuk mampu mensubsidi kemampuannya dalam rangka mendorong lajunya pariwisata di Desa.
Misalnya, anak-anak muda potensial di Desa mesti dibimbing untuk menjadi generasi milenial sadar wisata. Mereka yang mahir dalam dunia fotografi, tulis-menulis, youtube mesti dijadikan sebagai pelaku-pelaku pariwisata khususnya pada bidang promosi. Anak muda sangat ideal dalam dunia pariwisata. Intinya ialah anak muda mesti memiliki kesadaran kolektif sebagai agent of change mulai dari Desa sendiri.
Oleh karena itu, bimbingan atau pelatihan berkelanjutan bagi anak-anak muda potensial sangat dianjurkan untuk dipikirkan secara matang oleh Pemerintah Desa. Keterlibatan mereka akan mempersempit intervensi-intervensi eksternal yang dominan misalnya dari Pemerintah Kabupaten atau Provinsi yang seringkali sangat suka berafiliasi dengan pengusaha kaya dan kurang melibatkan masyarakat Desa. Juga mempersempit ruang gerak kolusi atau nepotisme bahkan korupsi yang mayoritas pelakunya adalah para elit politik. Kehadiran anak muda bisa mencegah itu, maka mereka mesti dibimbing.
Oleh Rian Odel
Keren fraterππππ
ReplyDelete