Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Peluang Pendekatan Politik Cas Mudde Di Era Dataisme (Bagian 1)

 

Oleh Oktovianus Olong


 

Pendahuluan

Istilah politik dewasa ini sudah populer di telinga publik. Masyarakat selalu dibanjiri dengan kenyataan-kenyaataan politik Tanah Air melalui media-media elektronik. Keberadaan media-media elektronik, handphone misalnya, memudahkan untuk akses informasi politik. Bahkan di pelosok-pelosok negeri, banyak orang ramai berdiskusi tentang situasi terkini di Ibu Kota Negara. Tiap-tiap tahun juga masyarakat terlibat aktif dalam praksis berpolitik sebagai warga negara yakni mengikuti pemilihan umum. Ada banyak juga buku yang diterbit untuk menganalisa istilah politik. Salah satu analisa yang menarik adalah buah karya Eddy Kristiyanto, OFM. Bagi Eddy, politik adalah tanda dan sarana penyelamatan[1]

Oleh karena itu, wajarlah istilah politik bukan lagi menjadi hal yang baru. Tetapi apakah kesadaran masyarakat akan politik bertolak pada pemahaman yang substansial? Apakah semua orang yang terlibat dan para praktisi politik sungguh memiliki refleksi filosofis yang seragam tentang politik? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu tentu menarik untuk didalami. Namun tulisan ini tidak bermaksud mengulas politik dari pendekatan filosofis. Penulis hendak mengangkat salah satu kenyataan dalam politik yang akhir-akhir ini turut mempengaruhi dinamika politik dunia, juga negara tercinta Indonesia ini. Pendekatan politik yang dimaksud adalah populisme.

Sebagai sebuah pendekatan politik yang baru, istilah populisme berhadapan dengan kesulitan untuk didefinisikan. Populisme adalah konsep yang pada dasarnya diperdebatkan, mengingat bahwa para sarjana bahkan memperdebatkan esensi dan kegunaan konsep tersebut, sementara sejumlah besar ilmuwan menggunakan konsep tersebut tanpa pernah mendefinisikannya. Meskipun keberadaan istilah itu masih kabur didefinisikan, namun praktis kehidupan menampakan secara jelas dominasi dari cara pendekatan baru ini dalam pencaturan politik dunia. 

Di Yunani, koalisi populisme kanan dan kiri berhasil memenangkan pemilihan umum pada tahun 2015. Di Prancis partai populis Front Nasional yang didirikan oleh Jean-Marie Le Pen sudah menjadi bagian dari sistem politik nasional. Sederetean nama seperti Victor Orban, Jaroslaw Kaczynski dan Robert Fico adalah  para pemimpin populis yang telah meraih puncak kekuasaan politik di Eropa[2]. Seluruh kenyataan ini membuktikan bahwa populisme sudah ada dan dekat dengan hidup harian masyarakat. Banyak orang sepakat bahwa kemenangan para politisi populis mencapai puncaknya dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat[3]. Bumi Pertiwi juga tidak perna lolos dari isu ini. Untuk konteks Indonesia, sekurang-kurangnya sejak pemilihan presiden tahun 2014, isu populisme telah memasuki arena pertarungan politik[4].

Tulisan ini hendak mengangkat salah satu model definisi tentang populisme yang dibuat oleh Cas Mudde. Cas Mudde mendefinisikan populisme sebagai sebuah pendekatan ideasional. Penulis kemudian melihat kemungkinan relevansi pendekatan Cas Mudde dalam era dataisme[5]. Penulis memberi judul tulisan ini: Peluang pendekatan politik  Cas Mudde di era dataisme. Rumusan masalah dari tulisan ini yaitu: apa saja Peluang pendekatan politik  Cas Mudde di era dataisme. Oleh karena itu, tujuan dari tulisan ini yakni mendeskripsikan Peluang pendekatan politik  Cas Mudde di era dataisme. Secara umum, tulisan ini berisi relevansi definisi dari Cas Mudde terhadap populisme dalam era dataisme.

Populisme: Sebuah Pendekatan Ideasional[6]

Konsensus yang pasti tentang populisme masih diperdebatkan. Namun bagi Cas Mudde, pendekatan ideasional terhadap populisme adalah yang paling banyak digunakan di lapangan saat ini. Bagian ini hendak menguraikan pendekatan ideasional untuk populisme, menyajikan definisi populisme menurut Cas Mudde, membahas konsep-konsep kunci (ideologi, rakyat, elit, dan kehendak umum), dan menyoroti kekuatan utamanya dibandingkan dengan pendekatan lain.

Definisi Populisme menurut Cas Mudde

Cas Mudde mendefinisikan populisme sebagai sebuah ideologi yang menganggap masyarakat pada akhirnya dipisahkan menjadi dua kelompok yang homogen dan antagonis, “orang murni” versus “elit korup”, dan yang berpendapat bahwa politik harus menjadi ekspresi dari kehendak umum. Definisi ini mencakup empat “konsep inti”, yang merupakan pusat dan konstitutif dari ideologi populis dan membutuhkan diskusi yang lebih rinci: ideologi, rakyat, elit, dan kehendak umum.

Esensi rakyat adalah kemurnian mereka, dalam arti bahwa mereka “asli”, sementara para elit korup, karena mereka “tidak asli”. Kemurnian dan keaslian tidak didefinisikan dalam (dasarnya) suku atau ras, tetapi dalam istilah moral. Ini adalah tentang “melakukan hal yang benar”, yang berarti melakukan perbuatan yang benar untuk semua orang. 

Ini dimungkinkan, karena populisme menganggap “rakyat” sebagai kategori homogen. Dengan menentukan oposisi utama antara orang murni dan korup, populisme mengandaikan bahwa elit berasal dari kelompok yang sama dengan rakyat, tetapi telah dengan sukarela memilih untuk mengkhianati mereka, dengan menempatkan kepentingan khusus dan moral yang tidak autentik dari elit atas rakyat. Karena perbedaannya didasarkan pada moralitas dan bukan kelas atau bangsa, jutawan seperti Silvio Berlusconi (Italia) atau etnis minoritas seperti Alberto Fujimori (Peru) dapat dianggap sebagai perwakilan rakyat yang lebih otentik daripada pemimpin dengan status sosial ekonomi yang lebih umum atau latar belakang etnis mayoritas (lihat Mudde dan Rovira Kaltwasser, 2017).

Konsep-konsep kunci dalam definisi populisme menurut Cas Mudde

Terdapat empat elemen utama dari populisme menurut definisi Cas Mudde yakni: ideologi, rakyat, elit, dan kehendak umum.

·      Ideologi

Konsep yang paling penting dan paling kontroversial dalam pendekatan ideasional adalah ideologi. Sama seperti populisme, “(i)deologi adalah kata yang membangkitkan respons emosional yang kuat” (Freeden, 2003:1). Sebagian besar perdebatan tentang kegunaan konsep ideologi, ironisnya mungkin, ideologis. Istilah ideologi digunakan di sini dalam cara yang inklusif, yaitu sebagai “kumpulan ide normatif dan normatif terkait tentang sifat manusia dan masyarakat serta organisasi dan tujuan masyarakat” (Sainsbury, 1980: 8). Ideologi, seperti yang dikemukakan Michael Freeden (2003:2) dengan meyakinkan, “memetakan dunia politik dan sosial bagi kita.”

Pada akhirnya, apakah atau tidak populisme didefinisikan sebagai ideologi penuh daripada satu set longgar ide, berpusat di sekitar oposisi mendasar antara “rakyat yang murni” dan “elit yang korup,” dalam banyak kasus penting sekunder ke pertanyaan penelitian dan seringkali tidak mungkin untuk ditentukan secara empiris. Pada dasarnya, berbagai definisi dalam pendekatan ideasional memiliki inti yang jelas, yang keduanya menyatukan dan memisahkan mereka dari pendekatan lain terhadap populisme

·      Rakyat

Konsep inti utama dari populisme adalah, tentu saja, “rakyat.” Bahkan konsep inti lainnya, “elit” dan “kehendak umum,” mengambil makna mereka darinya. Masing-masing sebagai kebalikan dan ekspresinya.

·      Elit

Meskipun elit adalah anti-tesis dari rakyat, elit ini kurang mendapat perhatian teoretis dalam literatur populisme. Banyak cendekiawan tampaknya menyiratkan bahwa elit hanya didefinisikan ex negativo. Meskipun ini benar dalam teori, itu tidak selalu berlaku dalam praktik. Secara teori, populisme membedakan rakyat dan elit berdasarkan hanya satu dimensi, yaitu moralitas. Ini mengadu rakyat yang murni melawan elit yang korup atau dalam istilah Manichean, orang baik versus jahat elit (misalnya Hawkins, 2009). 

Dalam praktiknya, populis menggabungkan populisme dengan ideologi lain dan menerapkan makna yang berbeda kepada masyarakat. Penduduk yang menggunakan kelas atau kesamaan dalam definisi mereka tentang rakyat biasanya juga akan menggunakan kriteria ini untuk elit. Sebagai contoh, konservatif Amerika Populis mengadu domba masyarakat awam dengan “latte-drinking, sushi-eating, Volvo-driving, New York Times, Hollywood-mencintai” elite liberal (dalam Nicholson dan Segura 2012: 369 ).

·      Kehendak umum

Penting untuk politik populis adalah konsep kehendak umum, terkait erat dengan interpretasi masyarakat yang homogen. Berdasarkan semacam argumen Rousseau yang vulgar, populis berpendapat bahwa politik harus mengikuti kehendak umum rakyat. Bagaimanapun, karena orang-orangnya murni dan homogen, dan semua divisi internal ditolak sebagai buatan atau tidak relevan, mereka memiliki minat dan preferensi yang sama. Kepercayaan akan kehendak umum rakyat terkait dengan dua konsep penting dalam ideologi populis: akal sehat dan minat khusus.

 Kekuatan utama definisi populisme menurut Cas Mudde

Kekuatan utama dari pendekatan ideasional secara umum, dan definisi spesifik populisme yang disajikan di sini secara khusus, adalah: (1) ia menetapkan batas-batas yang jelas, yaitu ada “non-populisme” (pembedaan); (2) memungkinkan untuk pembangunan taksonomi logis (kategorisasi); (3) memungkinkan “perjalanan” lintas-nasional dan lintas-regional (travelability); dan (4) dapat diterapkan pada berbagai tingkat analisis (keserbagunaan).

 Agama Data[7]

Agama data adalah sebuah keyakinan baru yang timbul pada masyarakat digital. Agama data biasa disebut juga dataisme. Dataisme mendeklarasikan bahwa alam semesta terdiri dari aliran data, dan nilai setiap fenomena atau entitas ditentukan oleh kontribusinya pada pemprosesan data. Ini memang terdengar seperti ungkapan kaum pinggirian yang eksentrik tetapi faktanya ia sudah menaklukan sebagian besar kaum saintifik. Dataisme lahir dari pengaruh eksplosif dua gelombang pasang saintifik. Dalam 150 tahun sejak Charles Darwin menerbitkan On the Origin of Species, sains-sains kehidupan akhirnya memandang organisme sebagai algoritma biokimia. 

Secara simultan, dalam 8 dekade sejak Alan Turing merumuskan ide Mesin Turing, para ilmuwan komputer sudah tahu cara merekayasa algoritma elektronik yang semakin canggih. Dataisme menyatukan keduanya, dengan menjelaskan bahwa hukum matematika yang sama berlaku pada algoritma biokimia maupun elektronik. Dengan itu, dataisme meruntuhkan penghalang antara binatang dan mesin, dan berharap algoritma-algoritma elektronik pada akhirnya dapat mengurai dan melampaui algoritma-algoritma biokimia.

Bagi para politisi, pebisnis, dan konsumen biasa, dataisme menawarkan teknologi pendobrak dan banyak kekuatan baru. Bagi para sarjana dan intelektual, ia juga menyediakan tersedianya cawan suci yang sulit didapatkan selama berabad-abad: sebuah teori berjangkauan luas yang menyatukan seluruh disiplin ilmiah dari musikologi, ekonomi, sampai ke biologi. Para musikolog, ekonom, dan ahli biologi seluler akhirnya bisa saling memahami.

Dalam proses itu, dataisme membalikan piramida belajar tradisional. Sampai hari ini, data dipandang sebagai langkah pertama dalam rantai panjang aktivitas intelektual. Manusia diharuskan untuk menyaring data menjadi informasi, informasi menjadi pengetahuan, dan pengetahuan menjadi kebijaksanaan. Tentang keterpusatan pada data, dalam filsafat ilmu pengetahun, studi ini dinamakan positivisme. Kaum positivis selalu mengukur sebuah kebenaran berdasarkan data dan pengalaman. Semua kebenaran selalu bertolak dari pengalaman indrawi dan eksperimen. Bapak positivisme A. Comte menegaskan bahwa setiap ilmu terdiri dari koordinasi fakta[8]

Namun, dataisme meyakini bahwa manusia tidak bisa lagi menangani aliran besar data sehingga mereka tidak bisa lagi menyaring data menjadi informasi, apalagi pengetahuan atau kebijaksanaan. Oleh karena itu, tugas pemeriksaan data harus dipercayakan pada lagoritma-algoritma elektronik, yang kapasitasnya jauh melampaui kapasitas otak manusia. Dalam praktiknya, ini berarti bahwa para Datais skeptis tentang pengetahuan dan kebijaksanaan manusia, dan lebih suka menaruh kepercayaan mereka pada Big Data dan algoritma-algoritma komputer.

Dataisme berakar paling kuat dalam dua disiplin induknya: sains komputer dan biologi. Di antara keduanya, biologi lebih penting. Dataisme mengubah keterbatasan dalam sains komputer menjadi katalisme pengguncang dunia yang bisa mentrasformasi total sifat kehidupan. Oleh karena itu, dataisme mesti dimengerti sebagai bagian dari dogma saintifik yang saat ini mengubah dunia kita menuju sesuatu yang tidak terbayangkan. Dataisme adalah aliran baru di dunia penuh dengan kekuatan vitual. Manusia lebih menaruh kepercayaannya pada kekutan data dan informasi dari komputer daripada sesama manusia. Manusia bukan memuja tuhan dan sesama namun memuja data. (Bersambung...)

 



[1]Eddy Kristiyanto, OFM, Sakramen Politik: Mempertanggungjawabkan Memoria (Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2008), hlm. 3.

[2]Otto Gusti Madung, “Populisme, Krisis Demokrasi, dan Antagonisme”, Jurnal Ledalero, 17:1 (Ledalero, Juni 2018), hlm. 60.

[3]Ibid.

[4]Ibid.

[5]Dataisme adalah agama baru yang paling menarik. Dataisme memuja bukan tuhan bukan manusia, tetapi menyembah data/informasi. Bdk. Yuval Noah Harari, Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, penerj. Yanto Musthofa (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2018), hlm. 422.

[6]Cas Mudde, “Populism: an ideational approach”, in The Oxford Handbook of Populism,  hlm. 1-25. Lihat https://www.oxfordhandbooks.com/view/10.1093/oxfordhb/9780198803560.001.0001/oxfordhb-9780198803560-e-1.

[7]Yuval Noah Harari, op.cit., hlm 423-424.

[8]C.A. Van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan, penerj. J. Drost (Jakarta: Gramedia, 1980), hlm. 63.

Post a Comment for "Peluang Pendekatan Politik Cas Mudde Di Era Dataisme (Bagian 1)"