Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Ritual Poan Keu Leu (Masuk Suku) di Kedang, Lembata

                                         

Huna Lelang

RAKATNTT.COM - Sebagian orang NTT mungkin belum mengenal secara akrab kekhasan yang terdapat di daerah kedang, lembata, salah satunya yaitu keuleu. Menurut arti etimologis, keuleu dalam bahasa edang berarti masuk kampung. Keu, artinya naik/ masuk dan leu artinya kampung. Jika diartikan, keuleu berarti, ritual adat untuk meresmikan seorang anak laki-laki yang berasal dari suku lain untuk masuk menjadi anak kandung dalam suku yang baru.

Latar Belakang Keu Leu

Keuleu merupakan sebuah ritual adat untuk meresmikan seorang anak (laki-laki) dari suku lain menjadi anak kandung suku yang baru secara sah melalui proses adat kedang. Dia (anak laki-laki) yang dimaksud sebelumnya berasal dari suku lain tetapi telah “diinang” secara adat/melalui belis gong atau gading. Persyaratannya, laki-laki tersebut tidak memiliki ayah sehingga ia dipandang sebagai seorang yang tidak memiliki suku resmi dari ayahnya. Dengan kata lain, dia hanya menginap dalam suku ibunya bersama sudara-saudara dari ibunya. Akibatnya, dia tidak memiliki hak waris resmi dari suku ibu karena secara adat dia tidak memiliki suku ayah.

Mengetahui latar belakang dari laki-laki tersebut, suku lain yang “mungkin” memiliki kekurangan anggota suku atau seorang anggota suku tidak mempunyai keturunan anak laki-laki sebagai ahli waris bernegosiasi dengan keluarga dari anak laki-laki tersebut dengan maksud agar dia diizinkan untuk masuk menjadi anggota suku yang baru. Selanjutnya, keluarga dari anak tersebut menyampaikan hal ini kepada dia yang bersangkutan untuk mencapai kesepakatan akhir. 

Kesepakatan lain yang dimaksudkan yaitu harga belis (gong atau gading). Belis merupakan simbol terimakasih kepada suku lama yang telah membesarkan anak tersebut dan lebih dari itu merupakan nilai filosofis. Dengan demikian maka, dia diperkenankan untuk bergabung dengan suku yang baru secara informal artinya laluhur dari suku baru belum mengenalnya sebagai anak suku yang resmi. Karena itu, harus diadakan keu leu.

RITUAL POAN KEULAU

Anak laki-laki yang sudah menetap dalam suku baru akan menempuh proses adat poan keuleu yang menjadi langkah puncak untuk menjadi anak kandung suku dalam segala hal. Upacara ini diadakan di leutuan (kampung lama dari leluhur) dan biasanya akan diadakan kurang lebih beberapa bahkan puluhan tahun setelah kedatangan anak tersebut. Sebelumnya, dia tetap beraktivitas layaknya anak suku yang lain walaupun statusnya masih sebagai anak angkat suku.

Upacara ini terbilang cukup meriah karena berlangsung selama 3 hari dan dihadiri oleh ratusan orang. Jika sebelum diadakan upacara ini, laki-laki tersebut meninggal dunia maka yang berhak keu leu adalah anak atau cucunya. Leu tuan adalah tempat strategis untuk melangsungkan ritual ini. Tempat ini merupakan asal mula berdirinya suku dan letaknya cukup jauh dari kampung baru atau desa sehingga para anggota suku dan semua partisipan berbondong-bondong menuju ke tempat sakral ini membawa serta dengan makanan seperti beras, jagung titi (hengan), ikan dan hewan kurban seperti babi, kambing dan ayam. Mereka juga selalu membunyikan kong bawa (gong gendang) untuk menginformasikan kepada publik bahwa di tempat itu sedang diadakan poan keuleu.

Yang menjadi pemimpin ritual ialah, seorang molan maren (dukun) yang terpercaya. Selama upacara berlangsung, laki-laki itu mengenakan pakaian adat Kedang dan memegang anak panah dan parang sebagai simbol peralatan perang untuk membendungi diri dari tantangan yang menggaggunya saat ia memasuki kompleks Leu Tuan. Orang yang berhak berada di dalam wilayah leutuan adalah molan maren dan kaum laki-laki sedangkan perempuan dilarang masuk karena tugas mereka ialah aktivitas dapur. Laki-laki tersebut, tetap berada di samping molan untuk menjawab semua pertanyaan darinya sedangkan para partisipan yang lain duduk membentuk lingkaran untuk mengelilingi molan dan yang bersangkutan. Mereka juga bertugas untuk melayani molan atau mengolah hewan kurban yang telah dikurbankan oleh molan.

Kehadiran mereka sebagai saksi yang turut memberi jawaban setuju kepada molan. Salah satu persyaratan mutlak  yang ditaati ialah mereka dilarang untuk tidur di dalam kompleks leutuan sebab konsekuensinya meninggal dunia secara mendadak. Mereka diperbolehkan untuk tidur malam di pondok atau rumah adat bahkan membentang tikar, terpal dan daun pisang. Upacara ini dilangsungkan mulai loyo bohor (matahari terbit) sampai tengah malam kemudian tidur malam. Besoknya, jika ada yang lebih dahulu bangun, ia akan memberi tanda misalnya berseru-seru dalam bahasa edang,” mato rio e,mato rio e”  dan akan dilanjutkan oleh orang lain bahkan lebih ekstrim mereka akan membunyikan gong gendang untuk membangunkan orang lain.

Usai santap pagi bersama, upacara dilanjutkan.  Sebelum upacara dimulai, molan akan memanggil para leluhur dari dua suku yang bersangkutan untuk turut hadir. Mereka mengurbankan hewan dengan cara ditikam dan khusus untuk ayam akan “dicekik” oleh molan. Molan akan bertanya kepada leluhur dengan perantaraan ayam yang dicekik dan jawaban leluhur akan terlihat lewat gerakan kaki ayam. 

Jika ayam mengangkat kaki kanan, pertanda setuju, jika kaki kiri pertanda masih ada hal lain yang perlu diperhatikan. Selama upacara, mereka semua disuguhi tuak putih untuk membangitkan semangat. Sebelum diminum, setiap orang terlebih dahulu memberi beberapa tetes tuak kepada leluhur sambil berkata” min mulo”, yang artinya minumlah lebih dahulu sebagai simbol rasa hormat kepada pendahulu atau leluhur. Jika ada di antara mereka yang terlanjur mengantuk, mereka akan bernyanyi bersama berbalas pantun untuk mengusir rasa kantuk. 

Hewan yang sudah dikurbankan akan dibakar dan dipotong-potong dalam bentuk yang kecil untuk kemudian dibagikan kepada para partisipan laki-laki. Kaum perempuan dilarang untuk menyantap daging hewan kurban. Usus dan beberapa bagian penting hewan kurban akan disesajikan kepada leluhur. Bulu ayam akan dicabut dan ditancapkan pada rambut kaum lelaki sebagai tanda bahwa mereka terlibat aktif dalam upacara ini. Sebelum menyantap daging, setiap orang akan mengambil sedikit bagiannya untuk diberikan kepada leluhur dan akan dilanjutkan dengan santapan bersama setelah molan mengucapkan mantra dan mengizinkannya.

 


Pada hari terakhir, upacara dilanjutkan tetapi hanya berlangsung dari pagi sampai sore hari.  Hari terakhir merupakan puncak dari seluruh upacara sakral ini dimana anak tersebut akan secara resmi masuk menjadi anak kandung suku sehingga prosesnya berbeda dengan dua hari sebelumnya. Di dalam kompleks Leu tuan terdapat lapa’ tarang (batu keramat) yang terdiri atas dua jenis batu yaitu lapa’ au’ pating (perempuan) dan lapa’ suku (laki-laki) yang terletak di bawah pohon rita. Jika anak laki-laki  tersebut belum memiliki keturunan maka akan diadakan sebuah ritual yang disebut Kura’ ite dahu’ ta’ atau memohon keturunan kepada Tuhan. 

Jika ia ingin memohon keturunan seorang anak laki-laki maka akan diadakan ritual pada lapa’ suku tetapi jika menginginkan keturunan anak perempuan maka dilakukan pada lapa’ au’ pating. Persyaratannya, ritual ini harus dilakukan di bawah pohon rita yang menurut keyakinan orang kedang pohon rita merupakan pohon kehidupan.

Arti lain dari ritual ini ialah memohon kepada Tuhan untuk menganugerahkan rahmad berlimpah kepada anak laki-laki tersebut dan dia akan memberikan semua kesulitan hidup yang dialaminya kepada Tuhan. Singkatnya,  semacam sebuah ritual pengakuan dosa yang ia sampaikan kepada Tuhan sembari memohon pengampunan serta rahmad untuk kehidupannya di dalam suku yang baru melalui pohon rita atau disebut ite arin.

Ritual ini merupakan langkah terakhir menuju puncak upacara keu leu. Molan akan membuat sebuah rumah adat mini sebagai simbol rumah baru bagi anak laki-laki tersebut yang biasa disebut huna lelang. Pada puncak upacara ini, semua partisipan baik perempuan maupun laki-laki diizinkan untuk mengambil bagian di dalam kompleks leu tuan untuk menyaksikan peresmian anak angkat tersebut menjadi anak kandung suku yang baru. 

Seorang anak kandung dari suku tersebut dipercayakan untuk membuat pagar bambu berbentuk lengkung di depan pintu masuk leu tuan. Anak kandung yang dipercayakan oleh suku akan memotong pagar itu satu kali dengan sebuah parang yang sangat tajam dan harus putus untuk membuktikan bahwa suku tersebut menerima anggota baru dengan sepenuh hati dan tanpa hambatan. Pada saat pagar tersebut dipotong putus, semua yang hadir akan bersorak–sorai dengan sebuah ungkapan dalam bahasa edang, keu leu de’ de’ keu leu de’ de’ berulang-ulang kali dan diiringi dengan bunyi musik gong gendang dan tarian meriah untuk mengantar anak tersebut menuju pusat leu tuan.

Ite Arin

 

Anak laki-laki tersebut menari menggunakan anak panah dan parang sedangkan semua yang lain menari bebas. Hal ini menandakan bahwa mereka semua merasa gembira karena bisa melewati semua proses ini secara bertanggungjawab dan merupakan ungkapan kegembiraan karena suku tersebut mendapat satu anggota baru secara definitif. Tangis bercampur tawa pun mengiringinya untuk memasuki leu tuan. Setelah menari bersama, mereka menyiapkan segala sesuatu untuk melanjutkan acara kebersamaan yaitu makan bersama pada malam hari dan secara resmi akan berakhir besok hari.

Keyakinan Tradisional

Jika dicermati, upacara keuleu yang dilakukan oleh orang kedang di lembata masih menggunakan kepercayaan animisme. Mereka mengakui bahwa, pohon rita dan batu keramat, memiliki  roh. Namun, perlu diketahui bahwa orang kedang tidak mengakui pohon rita dan batu keramat sebagai wujud yang Ilahi melainkan hanya sebagai medium untuk berkorelasi dengan Tuhan. 

Selain itu, fungsi budaya yang berkaitan dengan kesenian sangat nampak melalui musik tradisional dan tarian yang indah. Dalam pembahasan ini dapat dikatakan bahwa orang kedang sangat teguh dalam memegang warisan leluhur. Budaya telah meyakinkan mereka akan eksistensi Tuhan dan leluhur (tuan wo’). Dan budaya juga telah mempersatukan mereka menjadi komunitas masyarakat yang hidup dalam kebersamaan, gotong royong dan saling menghormati. Melalui budaya, mereka memperoleh banyak manfaat yang selaras dengan situasi hidup mereka.

Oleh Rian Odel

 

Post a Comment for "Ritual Poan Keu Leu (Masuk Suku) di Kedang, Lembata"