Sapaan-Sapaan kepada Wujud Tertinggi dalam Kehidupan Berbudaya Masyarakat Kedang, Lembata
Adanya ketegasan distingsi demikian karena selama ini banyak orang sering terjebak dalam kekeliruan yakni mendefinisikan bahwa Kedang juga masuk dalam kebudayaan Lamaholot. Padahal bila ditelusuri dari berbagai aspek mendasar, salah satunya bahasa, Kedang memiliki kemandirian kebudayaan dengan latar belakang sejarahnya tersendiri. Secara lebih realistis, kekhasan itu nampak dalam sapaan kepada Wujud Tertinggi.
Ritus poan kemer adalah upacara korban yang dalamnya terdapat doa-doa permohonan, doa syukur dan pujian kepada Wujud Tertinggi. Dewasa ini, minusnya kepekaan dan kurangnya pengetahuan terhadap adanya sapaan-sapaan lokal kepada Wujud Tertinggi semakin naik level. Banyak orang lebih tertarik dengan sapaan-sapaan yang sudah baku, misalnya dalam agama-agama samawi. Bila ada yang masih tertarik untuk menggunakan sapaan-sapaan kebudayaan lokal, itu juga bukan lahir dari kesadaran yang mendalam. Artinya refleksi filosofis akan sapaan-sapaan itu kurang diminati.
Tulisan ini hendak mengkaji secara lebih dalam sapaan lokal masyarakat Kedang-Lembata terhadap Wujud Tertinggi. Ini adalah bagian dari pendekatan linguistik karena keseluruan dari tulisan ini berisi analisa bahasa tentang nama-nama untuk Wujud Tertinggi dalam masyarakat Kedang-Lembata. Penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini sebagai berikut: Bagaimana cara orang-orang Kedang-Lembata menyapa Wujud Tertinggi dalam kehidupan berbudaya?
Oleh karena itu, tulisan ini akan berisi pendeskripsian cara orang-orang Kedang-Lembata menyapa Wujud Tertinggi dalam kehidupan berbudaya. Metode yang digunakan penulis adalah metode kualitatif dengan cara studi kepustakaan.
Sapaan-sapaan kepada Wujud Tertinggi
Masyarakat Kedang membahasakan Wujud Tertinggi berdasarkan segala sesuatu yang tampak dalam kehidupan harian. Wujud tertinggi disapa sebagai sesuatu yang memiliki keistimewahan dalam hidup dan memiliki makna khusus yang berkaitan langsung dengan harian hidup sosial-budaya masyarakat Kedang. Bertolak dari realitas seperti ini, dapat disimpulkan bahwa pendekatan yang digunakan oleh masyarakat Kedang-Lembata adalah bagian dari pendekatan filsafat Ketuhanan dan bukan pendekatan teologi.
Pendekatan filsafat Ketuhanan berarti mendekati Tuhan secara tidak langsung, yakni mendekati Tuhan sebagai sebab, penjelasan dari dunia yang kelihatan[3]. Secara keseluruhan nama-nama yang digunakan untuk menyapa Wujud Tertinggi dalam masyarakat Kedang-Lembata adalah Ula Loyo Ero Auq ; Amo Laha Ula Loyo, Ino Welin Bua Wala; Rian Nimon Ai Pu’en Ite Olor Aur Raya; Amo Laha Tala; dan Ewaq Metung Noning Paning. Berikut ini akan dijelaskan secara lebih terperinci makna dari masing-masing sapaan
a. Ula Loyo Ero Auq
Sapaan ini terbukti lewat ucapan dari molan (pemimpin ritus) poan kemer : Ula Loyo dan pitu doq tebeq, Ero Auq dan pitu keu tebeq (arti ungkapan ini ialah undangan kepada Wujud Tertinggi untuk turut hadir dalam upacara poan kemer). Sebelum menjelaskan makna secara lebih terperinci maksud ungkapan Ula Loyo Ero Auq, baiklah diterangkan terlebih dahulu arti setiap kata dari ungkapan itu. Arti setiap kata dari ungkapan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Amo Laha Ula Loyo, Ino Welin Bua Wala
Masyarakat Kedang selalu menyapa Wujud Tertinggi dari cara pandangnya sebagai orang Kedang. Nama-nama kepada Wujud Tertinggi selalu bertolak dari realitas harian yang dialami. Kepekaan indrawi jelas menjadi instrumen untuk bisa menyapa Wujud Tertinggi. Kenyataan seperti ini tentu bukan merupakan pendekatan yang baru dan khas orang Kedang tentunya. Pada zaman Yunani para filosof juga berwawasan kosmosentris[4]. Oleh karena itu, pendekatan antroposentris jelas lebih dominan dari pendekatan teosentris. Karena bagaimanapun juga, manusia tidak dapat melihat dengan mata Tuhan, melainkan hanya dengan matanya sendiri. Kenyataan ini juga dialami orang-orang Kedang dalam cara melihat dan menyapa Wujud Tertinggi.
Akan tetapi, ini bukan menjadi alasan untuk diskriminasi terhadap kaum hawa. Orang Kedang ternyata memiliki pandangan yang seimbang/setara antara kedua jenis kelamin. Wujud Teringgi juga disapa sebagai Ino Welin Bua Wala. Wujud Tertinggi sebagai Ino Welin Bua Wala berarti pengakuan adanya eksistensi perempuan sebagai ibu bumi. Perempuan disapa sebagai ibu yang melahirkan (ino welin Bua Wala). Wujud Tertinggi bagi orang-orang Kedang bermakna keibuhan dan kesuburan.
c.
Rian Nimon Ai Pu’en Ite Olor Aur
Raya
Rian nimon ai pu’en ite olor aur raya, o kara petiq botin, kara dang alen, keq murun ete di’en keq anaq manusia, sema puteq kiing ling manga, sema bua binen sema baran lamen. Puteq kiing ling manga nema tu’u miteng botin rian bua binen baran lamen[5].
Wujud Tertinggi disapa sebagai Rian Nimon Ai Pu’en Ite Olor Aur Raya berangkat dari keyakinan masyarakat Kedang bahwa Rian Nimon (Wujud Tertinggi) adalah Dia yang berperan sebagai Ai Pu’en (akar pohon). Wujud tertinggi adalah akar dan dasar yang darinya tumbuh sebuah pohon dan timbul kehidupan. Nimon Rian sebagai sumber kehidupan, maka orang-orang Kedang yang tidak memiliki keturunan selalu datang memohon kepadanya agar diberikan buah hati.
Anak yang diharapkan tentu tumbuh menjadi anak yang memiliki moral yang baik dan dapat bermanfaat bagi kehidupan orang banyak. Tujuan ini diwakili dengan ungkapan Ite Olor Aur Raya. Ite artinya pohon rita. Olor artinya lurus. Aur Raya artinya bambu. Dari arti setiap kata itu maka dapat dijelaskan bahwa anak yang diminta itu kelak memiliki moral yang lurus seperti rita dan bisa bermanfaat bagi banyak orang sebagaimana rumpun bambu.
d.
Amo Laha Tala
e.
Ewaq Metung Noning Paning
ewaq metung noning paning, ke adan ode likir be o, oma hoyoq leran libur behiq, oma ka rotaq min paro, rotaq paro hereng bele, keq tawan mean kohoq boleng, keq utan kotaq wewe ronaq, au ote leuq tenan, anen padi pulo, watar ribu rian.[8]
Sedangkan untuk lindungi hewan peliharaan maka ungkapanya sebagai berikut:
ewaq metung noning paning, ke adan ode likir be o, oma hoyoq leran libur behiq, keq ewang naung rutaq aro, keq au lehaq manuq bou, oma tadaq todoq ueng hanger, bete eleng bele auq, sema kara kuq a kara sereq sin, kara lawang umen a kara lawang dara.[9]
Dari ungkapan-ungkapan itu, jelas ditemukan adanya ungkapan ewaq metung noning paning. Ungkapan ini ditujukan kepada Wujud Tertinggi untuk memberkati dan melindungi hasil usaha petani, peternak dan nelayan. Masyarakat Kedang percaya bahwa ewaq metung noning paning memiliki kuasa untuk melindungi dan memberkati, maka dalam upacara kurban di atas lapaq ewaq dimohonkan campur tangan dari Wujud itu.
Penutup
Manusia adalah
makhluk yang memiliki kemapuan untuk merefleksikan Wujud tertingginya. Refleksi
manusia selalu dimulai dari sudut pandangnya sebagai manusia. Refleksi manusia
cenderung antroposentris daripada teosentris. Manusia selalu bertolak dari
pengalaman indrawi dan selalu kosmosentris.
Kenyataan seperti ini juga yang dialami oleh masyarakat Kedang-Lembata dalam
merefleksikan sosok Wujud Tertingginya. Wujud Tertinggi dalam masyarakat Kedang
selalu menjadi Wujud yang dekat dan turut berperan bahkan mempengaruhi tingkah
laku dan pola hidup harian orang-orang Kedang.
Corak penggunaan nama-nama kepada Wujud Tertinggi dalam masyarakat Kedang menunjukkan keragaman perspektif refleksi dan kekayaan budaya lokal. Oleh karena itu, mempelajari kebudayaan lokal itu amat perlu karena mempelajari berarti bentuk apresiasi dan penghormatan akan kekayaan dan keberagaman budaya.
Oleh Oktovianus Olong Mahasiswa STFK Ledalero |
[1]Raymundus Rede Blolong, SVD, Dasar-dasar Antropologi (Ende: Nusa
Indah, 2012), hal. 90.
[2]Poan kemer
sebuah upacara kurban yang dijalanan masyarakat lokal Kedang. Poan kemer memiliki beberapa arti
simbolis. Makna simbolis poan kemer
adalah Poan kemer sebagai sumber,
puncak, dan pusat keagamaan asli kedang; sebagai upacara simbolis kepada Wujud
Tertinggi; sebagai ungkapan simbolis kepada leluhur; sebagai sarana untuk
menimbah berkat dan kekuatan rohani; sebagai sarana persekutuan dan komunitas
persaudaraan. Hasil wawancara dengan Melkiades
Mole, Masyarakat Peuuma, pada 29 April 2020 melalui handphone.
[3]J. Pieniezek, Filsafat Ketuhanan
(ms.), Sekolah Tinggi Filsafat
Katolik Ledalero Maumere, 1989, hal. 24.
[4]Frans Magnis-Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2010), hal. 59.
[5]Hasil wawancara dengan Melkiades
Mole, Masyarakat Peuuma, pada 29 April 2020 melalui handphone.
[6]Paskalis Lina, Moral Pribadi: Pribadi Manusia Dan Seksualitasnya
(Maumere: Penerbit Ledalero, 2017), hal. iii.
[7]J. Pieniezek, op. cit., hal. 12.
[8]Hasil wawancara dengan Melkiades
Mole, Masyarakat Peuuma, pada 29 April 2020 melalui handphone.
[9]Hasil wawancara dengan Melkiades
Mole, Masyarakat Peuuma, pada 29 April 2020 melalui handphone.
Keep Fight for your talent. I proud of you my Brohter
ReplyDelete