Lawan Pemimpin yang Tak Berkebudayaan Pancasila
Lawan
Pemimpin yang Tak Berkebudayaan Pancasila
Apresiasi untuk Paulus
Sinakai Saba. Oleh Rian Odel
![]() |
Ir. Soekarno, M. Yamin,
Soepomo dan para founding father
lainnya telah bersusah payah menggali dan menyusun butir-butir Pancasila
menjadi satu dasar negara yang kokoh. Menurut pengakuan Soekarno, butir-butir
Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-nilai inheren yang ada dalam budaya
lokal setiap suku bangsa yang ada di ibu pertiwi.
Bahkan nilai-nilai yang
kemudian disebut sebagai Pancasila ini digali sejak zaman kuno-sebelum hindu.[1] Dengan
demikian, bisa kita simpulkan bahwa Pancasila merupakan budaya lokal orang Indonesia
termasuk yang menetap di Lembata, Nusa Tenggara Timur.
Belakangan ini,
terbersit kabar bahwa ada “pemerkosaan” terhadap sila kelima Pancasila terjadi
di Kabupaten Lembata. Apolonaris Mayan, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Lembata adalah pelakunya. Kepala dinas pada bidang kebudayaan telah menyelewengkan
budaya lokalnya sendiri yakni Pancasila.
Sebagaimana telah dirilis oleh berbagai
media, A. Mayan melakukan penyelewengan terhadap sila kelima Pancasila pada
saat sedang berlangsungnya apel resmi, Senin, 7
September 2020 pagi. Kejadian itu bermula ketika apel dipimpin oleh Paulus Sinakai
Saba yang adalah Sekretaris Dinas Budpar Lembata.
Alasannya
logis, yakni Kadis Budpar sedang tidak ada di tempat alias datang terlambat. Apolonaris
Mayan tiba-tiba menghentikan apel tersebut bertepatan dengan pembacaan sila
kelima Pancasila. Perbuatan tidak terpuji ini dinilai oleh banyak pihak sebagai
perbuatan melawan Pancasila.
Sesuai informasi,
A. Mayan sebelumnya melakukan kunjungan kerja ke Jakarta dan tiba di Lewoleba
pada Sabtu (5/9) tanpa diketahui. Kunjungan tersebut, kabarnya tak
diberitahukan kapan sang Kadis kembali ke Lembata dari perjalanan dinas ke Jakarta.[2] Oleh karena itu, Sekdis
yang sudah terbiasa hidup disiplin berinisiatif memimpin apel pagi.
Inisiatif seperti
ini mestinya diapresiasi bukan dikebiri dengan dalil wibawa kekuasaan
sebagaimana alasan infantil dari A. Mayan. Ia beralasan bahwa P. Sinakai Saba
telah menyabotasi kewenangannya sebagai Kepala Dinas. Alasan ini, membuktikan
bahwa A. Mayan sedang mengajak staf pada dinas terkait untuk hidup tidak
disiplin. Barangkali menurutnya, disiplin bukan sebuah keharusan dalam menjalankan
jabatan publik. Atau dengan kesimpulan lain, ia sedang membenarkan ketidakdisiplinan.
Pertanyaannya
ialah, apakah P. Sinakai Saba telah menyabotase kewenangan Kadis hanya karena
berinisiatif memimpin apel? Atau alasan tersebut bertolak dari adanya relasi
kontra antara keduanya yang berujung pada tudingan sepihak Kadis tersebut? Tontonan seperti ini menjadi bukti bahwa kekuasaan dalam
instansi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tidak mencerminkan relasi harmonis
dalam mengatur rumah tangga dinas.
Relasi tak
harmonis tersebut sedang dilakoni oleh Kepala Dinas yang sudah jelas tidak
disiplin waktu tetapi menuding “bawahannya” dengan alasan subjektif dan
terkesan angkuh. Instansi dinas terkait disulap seolah-olah perusahaan pribadi
yang diatur semau gue oleh Kadis
tanpa mempertimbangkan aspek lain yakni kedisiplinan dan profesionalitas Sekdis.
Yang ada di
sana ialah relasi kuasa: yang berotoritas sebagai kepala dinas memiliki karakter
egosentris; mau menang sendiri tanpa melewati jalur-jalur musyawarah sebagaimana
diajarkan oleh Pancasila.
Mestinya,
Apol Mayan mengapresiasi tindakan Sinakai Saba sambil mencari tahu alasannya. Itu
baru namanya pemimpin bijaksana bukan angkuh dan otoriter. Apol Mayan mestinya
bercermin pada Sinakai Saba bagaimana membentuk diri sebagai pemimpin yang disiplin,
arif-bijaksana dan rendah hati.
Konsekuensi tak
logis dari peristiwa ini, Sinakai Saba kemudian dipecat oleh Bupati Lembata,
Eliazer Yentji Sunur berdasarkan surat laporan dari A. Mayan bernomor: Disbudpar.556/203/IX/2020 tanggal
8 September 2020.[3]
Ada dua alasan menon-jobkan P. Sinakai Saba yakni, pertama, tentu selaras dengan harapan dari Kadis Budpar yakni soal
disiplin ASN. Namun, ada alasan kedua, yakni dalam sidang gugatan Saba di PTUN
Kupang sebagaimana diberitakan oleh Sergap (19/3)[4]
terungkap alasan lain yakni Saba dituding sering membuat status di facebook yang bernuansa kritik terhadap
kebijakan Kadis dan Bupati Lembata.
Alasan tidak rasional, otoriter dan sewenang-wenang dari Kepala Daerah
Lembata tersebut membuktikan bahwa sedang terjadi kudeta terhadap kebebasan
berpendapat di dalam sistim birokrasi yang idealnya mengedepankan aspek
transparansi dan demokrasi.
Setiap orang berhak mengkritik dan memberi masukan kepada Pemerintah
dengan berbagaimacam jalur. Salah satunya lewat media sosial. Sebab, kita
sedang berada pada zaman milenial. Para ASN terkesan dipekerjakan sesuai selera
pemegang kekuasaan. Mereka tidak didukung untuk menjadi profesional pada
bidangnya demi kemaslahatan orang Lembata.
Selain itu, dapat disimpulkan bahwa Bupati Lembata sedang mendidik para
ASN untuk menjadi pekerja tanpa menjadi pemikir kritis. Itu berarti sistim
birokrasi Lembata berpedoman pada kapitalisme yang hanya mementingkan gaji
bukan pelayanan. Yang berpikir kritis, akan dipecat. Itulah sistim
birokrasi-kapitalistik.
Namun demikian, alasan dari Bupati Lembata dibantah oleh Alfons dalam
Replik Perkara Tata Usaha Negara No. 59/ G/2020/PTUN.KPG.
Berani Tolak Bungkam
Sesuai data,
selain Sinakai Saba, juga ada staf lain yang pernah bekerja pada Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kab. Lembata yang menolak hegemoni kekuasaan pada dinas tersebut
yakni Erna Ruing. Mantan staf pada dinas tersebut, pernah menyinggung soal
kasus Awololong yang kini sedang viral di Kabupaten satu pulau tersebut. Ia
kemudian dipindahkan ke tempat lain.
Kali ini, nasib sial menghampiri Sinakai Saba. Ia dicopot dari jabatannya sebagai Sekdis. Walaupun demikian, Sosok yang disiplin dan berani tersebut, tidak membiarkan hegemonisasi kekuasaan terus meraja lela di Lembata. Salah satu alasannya, tentu karena rasa cinta dan memiliki lewo tana-leu Awu’ Lembata, maka setiap tindakan mesti berada pada jalur kebenaran dan roh pelayanan.
Jika tindakan
politis yang berada pada jalur keserakahan, maka harus ditolak. Ini dibuktikan
oleh Sinakai Saba. Publik Lembata, khususnya para ASN mesti belajar pada sosok
ini. Jika ada tekanan, permainan kekuasaan seperti mengurus perusahaan pribadi
harus dilawan sampai tuntas.
Ketika dirinya
dinon-jobkan dengan alasan yang “dibuat-buat” oleh Kadis Budpar dan Bupati
Lembata, ia berani melapor praktik buruk ini kepada para penegak hukum. Hanya dengan
alasan memimpin apel, ia tiba-tiba dinon-jobkan. Ngeri sekali. Ini tindakan berlebihan yang sedang didesain oleh
Pemda Lembata.
Pemimpin Tak Punya Budaya Pancasila
Barangkali subjudul
ini terkesan “angker” di telinga oknum-oknum elit tertentu yang sedang saya
kritik dalam tulisan ini. Namun, berdasarkan kronologi informasi yang saya
kumpulkan, maka saya boleh menyimpulkan bahwa Bupati Lembata dan Kepala Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata tidak menghayati budaya Pancasila dalam mengatasi kasus ini.
Mengapa mereka
tidak mengayati Pancasila? Jawaban yang paling mungkin benar ialah mereka tidak
memahami dan tidak memiliki budaya Pancasila yang sebenarnya adalah budaya
lokal orang Lembata sendiri.
Padahal,
publik Lembata tahu bahwa Apol Mayan adalah seorang yang ahli di bidang budaya
lokal yang di dalamnya ada nilai-nilai Pancasila. Lantas, mengapa tiba-tiba
menghentikan proses pembacaan sila kelima Pancasila? Berkoar-koar tentang
budaya lokal tetapi nilai Pancasila “disingkirkan” dengan cara yang tidak etis.
Kemudian, Bupati
Lembata yang seharusnya memiliki jiwa pemimpin yang melayani dan mengayomi
tidak mampu menyelesaikan persoalan kecil tersebut sejara arif-bijaksana. Padahal
dirinya juga berkoar-koar tentang budaya uyelewun
raya.
Di dalam
ajaran lokal orang Kedang, seorang pemimpin yang lahir dari rahim uyelewun harus memiliki jiwa mengayomi,
dan mampu menjadi pohon rindang tempat berteduh bagi ribu ratu’ kaya’ balu’.
Ungkapan tentang
seorang pemimpin tersebut dapat dibaca pada konsep ini: sogang biti’ te’ rian leu, tara jaga leu
saka awu’, tara tude’ tubar tara boni woi’, tema mawu papun tema libur behi’,
tema uyung nute tema mawu toye’, toye’ nema mate, nute nema pilang.
Ungkapan tersebut mestinya lebih
dipahami oleh seorang pemimpin yang lahir dari rahim Lembata Khususnya
Uyelewun. Karena itu, ketika ada relasi tak harmonis dalam instansi kekuasaan –
apalagi hal sepele – mestinya diselesaikan dengan berpedoman pada nilai-nilai
Pancasila dalam budaya orang Lembata sendiri bukan mengikuti emosi.
Pemimpin adalah ia yang mampu menerima
semua keluhan dari berbagaimacam arah dan mempersatukannya sambil melahirkan
solusi yang adil. Sosok pemimpin yang bijaksana akan memiliki daya tarik
sendiri bagi siapa saja untuk datang berteduh kepadanya (tude’ tubar boni woi’).
Oleh karena itu, dalam kasus ini, kita
mengharapkan penyelesaian hukum seadil-adilnya. Sebab setiap orang membutuhkan keadilan.
Atau dalam konsep orang Lamahaholot, Budi Kleden menegaskan demikian:
Ata diken
berarti orang yang hidupnya baik. Termasuk di dalam kehidupan yang baik adalah
kesejahteraan. Kesejahteraan melekat pada paham tentang kehidupan manusia yang
baik. Ini merupakan sebuah konsep yang sangat luhur tentang manusia. Setiap
manusia pada dasarnya baik, dia dipanggil untuk satu kebaikan. Ada proyek
kebaikan yang tertanam di dalam diri manusia, yang masih harus direalisasikan.
Karena itu, manusia mempunyai hak untuk mendapat satu lingkungan kehidupan yang
menunjangnya mewujudkan kebaikan tersebut (Budi Kleden, Kampung, Bangsa, Dunia, 2008: 139).
[1] Soekarno, Filsafat
Pancasila Menurut Bung Karno, penyunting, Floriberta Aning (Yogyakarta:
Media Pressindo, 2019), hlm. 111.
[2] Tentang ini, bisa baca pada http://teropongsulseljaya.com/2020/09/25/ahmad-azis-kontroversi-non-job-sekdis-kebudayaan-dan-pariwisata-lembata-silahkan-pihak-yang-dirugikan-uji-ke-ptun/,
diakses 20 Maret 2021.
[3] https://www.sergap.id/kasus-pembubaran-pembacaan-teks-pancasila-mulai-disidangkan-di-pn-kupang/ diakses 20 Maret 2021.
[4] Ibid.