Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Rakyat Lembata Kutuk Proyek Awololong, Lalu Partai Politik?

Rakyat Lembata Kutuk Proyek Awololong, Lalu Partai Politik?

Proyek raksasa yang mulanya dibangun berdasarkan hasil halusinasi sepihak Pemda Lembata yang dinahkodai, Eliazer Yentji Sunur, kini belum dinikmati masyarakat Lembata. Padahal anggaran untuk mengongkos pembangunan proyek tersebut terlampau besar yakni sekitar Rp. 6 Miliar lebih.

Uang sebesar itu dipakai hanya untuk sebuah proyek hasil halusinasi, maka bukti fisiknya pun jauh dari harapan masyarakat Lembata yang mayoritas dari mereka masih sangat terbelakang, khususnya dari segi ekonomi. 

Namun, Pemda Lembata dengan penuh percaya diri mengeksekusi hasil halusinasinya di atas tanah sakral milik sebagian masyarakat Lembata.

Pro-kotra horisontal dan vertikal pun terjadi. Demonstrasi menentang, mengutuk, dan aktivitas perlawanan telah dilakukan oleh elemen masyarakat Lembata, baik di Lembata maupun di tempat lain. Organisasi mahasiswa, juga organisasi masyarakat lainnya, tak bosan-bosannya berjuang demi sebuah keadilan.

Namun, pada sisi yang lain, masih ada orang yang melakukan demonstrasi untuk mendukung Pemda dengan kegagalannya membangun proyek Awololong. 

Mereka malakukan demonstrasi mendukung sebuah kegagalan, padahal dalam dunia politik, masyarakat sipil, aktivis yang punya otak cerdas dan nurani bersih mestinya melawan arogansi kekuasaan yang ada di Lembata, salah satunya melawan kegiatan di Awololong.

Walaupun begitu, dengan dalil demokrasi, setiap orang bebas berekspresi, termasuk ekspresi membela kejahatan pembangunan.

Perjuangan masyarakat Lembata untuk mencari keadilan terkait proyek tersebut, masih mengendap di laci meja Polda Nusa Tenggara Timur. Walaupun Polda sudah menetapkan dua tersangka, salah satunya, Kepala Dinas Pendidikan Lembata – mau didik anak-anak Lembata untuk curi uang? – tetapi dua oknum tersebut masih bebas merdeka. 

Entah apa yang belum beres, sehingga kedua oknum tersebut masih disayangi oleh Polda NTT? Semoga perjuangan masyarakat Lembata tidak dicabuli oleh kepentingan parsial tertentu.

Lalu Partai Politik?

Proyek mangkrak di Awololong merupakan masalah besar yang melanda negeri ikan Paus tersebut, tetapi hampir tak pernah terdengar suara bulat partai politik dengan benderanya berkibar di Awololong dalam rangka mengutuk kegagalan proyek tersebut.

Kita hanya melihat protes-protes individu dari beberapa orang pengurus partai lewat facebook. Nota bene, mereka  berada pada barisan oposisi. Tentu, salah satu tugas  oposisi yakni selalu “gonggong”.

Namun, semua itu masih berjalan sendiri-sendiri. Artinya, belum ada bendera partai politik tertentu yang berkibar di Awololong dan menyatakan dengan tegas, bersama masyarakat untuk mencari keadilan di balik proyek hasil halusinasi tersebut.

Lantas, bagaimana dengan partai politik yang nyaman dengan kursi jabatan, khususnya terbanyak di Peten Ina? Apakah mereka hanya membisu dan tidak mau berkomentar atau berdiskusi serta berjuang dengan masyarakat Lembata?

Atau jangan-jangan, mereka mendukung kegagalan proyek tersebut. Artinya, mereka tidak berjuang untuk masyarakat tetapi untuk keselamatan nama Partai politik. Lembata barangkali dilihat hanya sebagai lahan subur meraup keuntungan untuk Partai bersangkutan.

Dalam arti yang lain, Partai politik sedang membiarkan masyarakat Lembata berjuang sendiri. Padahal, menurut Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila (1984), Partai Politik dalam arti luas berarti “suatu bagian” (bahasa latin: pars, partis). Artinya, partai politik merupakan bagian dari masyarakat. Partai ada untuk masyarakat dan seterusnya.

Menjadi pertanyaan dalam kaitan dengan proyek mangkrak di Awololong, apakah partai politik seperti Golkar, PDI-P, PKB, Demokrat dan lain-lain menyatakan sikap tegas mengutuk proyek tersebut atau suara mereka masih abu-abu?

Berbeda, ketika ada bencana melanda orang Lembata. Kita bisa menilai sendiri. Bantuan datang dari banyak tempat termasuk dari partai politik. Mereka memberikan bantuan kemanusiaan dengan membawa bendera partai politik dan foto ketua partainya atau kader partainya yang punya jabatan besar. Kemudian, oleh media, ditulis, partai A, atau B memberikan bantuan untuk korban di tempat tertentu dan seterusnya.

Pertanyaannya, mengapa hal yang sama tidak dilakukan untuk proyek mangkrak di Awololong? Apakah, partai hadir hanya pada kondisi-kondisi tertentu yang dialami masyarakat Lembata? 

Mengapa partai tidak bersolidaritas dengan para pejuang keadilan di balik proyek mangkrak Awololong dan proyek lainnya? Barangkali, partai hanya suka kondisi tertentu yang bisa mendongkrak popularitasnya. Dengan demikian, pertanyaan untuk masyarakat Lembata, masih percaya partai politik?

Kurang-lebih ada dua hal yang menjadi alasan di balik kebisuan partai. Pertama, Partai politik menganggap bahwa proyek di Awololong tidak bermasalah untuk prospek pembangunan di Lembata. Atau dengan ungkapan lain, Parpol menganggap bahwa uang sebesar Rp. 6 miliar lebih sama sekali tidak merugikan masyarakat Lembata. Oleh karena itu, parpol tidak perlu intervensi.

Kedua, Parpol tidak mau omong banyak tentang Awololong karena akan merugikan nama baik Parpol bersangkutan. Hal ini bisa mungkin karena orang-orang yang berhalusinasi membangun proyek mangkrak di Awololong  adalah kader partai tertentu yang bekerja di dalam jalur politik, entah legislatif atau eksekutif. 

Karena itu, parpol bersangkutan akan membisu atau mati-matian membela proyek yang tidak lain lahir dari mimpi siang bolong kadernya. Parpol jenis ini akan menghasilkan kader yang tidak kritis, suka membela atasan separtai walaupun atasannya bermasalah. Atau, biar buruk kinerja atasan, bawahan dalam partai wajib membelanya.

Partai Bukan Sekadar Kendaraan

Kita sering mendengar, partai politik diindentikkan dengan sebuah kendaraan besar. Kendaraan berarti, ia memiliki Bos atau pemilik, ada sopir dan kondektur. Sopir dan kondektur berjuang keras mencari penumpang yang bisa memberikan mereka uang untuk kebutuhan ekonomi.

Sopir dan kondektur hanya bertugas mengantar penumpang ke tempat tujuan. Setelah dibayar, tugas mereka selesai. Hal ini tentu berbeda dengan partai politik. Sebab partai bukan sekadar kendaraan. Partai adalah rumah yang menampung aspirasi sekaligus mengontrol kerja para kadernya.

Partai yang ideal mestinya hadir dan ada bersama masyarakat dalam segala kondisi, bukan hanya mengantar kadernya ke peten ina, lalu sopir dan kondektur tidur manis di rumah partai.

Untuk menemukan partai berjiwa progresif berarti orang-orang yang bekerja dalam partai mesti punya komitmen perjuangan untuk masyarakat Lembata bukan untuk oligark, bukan untuk kader dan untuk kehidupan ekonomi partai tertentu.

Karena itu, sebuah partai harus memiliki ketua partai yang jujur, progresif, transparan, bukan menciptakan masalah karena punya jabatan besar di partai sekaligus di kursi Legislatif atau eksekutif. Ketua partai mesti memahami orientasi ideal dari partai bersangkutan bukan membeli partai dengan modal besar. 

Hasilnya, partai juga tidak bisa digerakkan untuk bersuara membela suara masyarakat kecil. Sebab yang ada dalam cita-cita ketua partai adalah keuntungan ekonomis alias uang.

Partai politik menjadi berguna untuk masyarakat, jika ketua partainya memiliki jiwa pelayanan, jujur, tidak suka buat masalah lewat jalur politik dan terlebih lagi tidak menukar kursi ketua partai tertentu dengan uang. 

Oleh karena itu, seharusnya Ketua Partai dan pengurus lainnya punya komitmen yang sama untuk selalu berjuang bersama masyarakat dalam kondisi apa pun.(Admin)

Post a Comment for "Rakyat Lembata Kutuk Proyek Awololong, Lalu Partai Politik?"