Cerpen: Bersama Saudaraku
Bersama Saudaraku
Setahun berlalu
ketika waktu menggenapkanku pada sebuah pertemuan bersama sepasang mata
perempuan berkulit sawo matang.
Petang itu dalam sebuah ruangan rumah sakit, aku kembali dikagetkan dengan berita buruk yang menguras pikiranku. Sontak aku terdiam, pikiranku kacau, air mataku menderas tak terbendung. Kata dokter melalui pemeriksaan di sebuah laboratorium rumah sakit, aku menderita sebuah penyakit yang berbahaya.
Tentu berita ini
sangat membuat hatiku gusar. Dalam perjalanan pulang, langkah kakiku semakin
tak menentu, sejalan dengan arah hidup yang semakin kacau. Aku terus berjalan
bersama senja yang juga bergegas kembali ke peraduan. Kini langkah kakiku
terdiam, tanganku enggan mengetuk pintu rumahku, rasanya belum siap menerima
kenyataan yang pahit ini. Air mata kembali menetes ketika bola mata tak sengaja
mengarah pada sebuah foto keluarga yang masih damai berdiam disana.
Aku menangis
“Ahhhh kataku dalam hati” serasa jiwa kejantanan seorang laki-laki direnggut
bagai maut menjemput, Aku terlelap dalam tangisku hingga mengantarkanku pada
sebuah malam panjang ditemani seribu mimpi.
Dering jam di
dinding kamar membuatku kaget dan memilih bangun dari tidurku yang lelap.
Setelah menghabiskan sepiring pisang goreng dan secangkir teh hangat, aku mulai
mencoba mengungkapkan kekacauanku pada adik semata wayangku. Dia tersenyum
tanpa kata sambil menepuk bahuku, sudah kuduga dia memberiku semangat.
Aku berangkat.
Sesampainya di tempat aku bekerja, kupikir semua mereka tidak mengetahui
tentang keadaanku. Seketika aku bingung satu per satu dari mereka menghilang
menjauhiku entah kemana, bahkan orang yang selama ini menjadi sahabat terbaik
pun beranjak pergi ketika aku hadir disana.
Batinku sakit,
inginku berteriak memaki-maki semua mereka yang dulu bersamaku namun kini pergi
meninggalkanku, kupikir pihak rumah sakit akan menjadikan ini sebagai
privasiku. Aku diam, ingin menangis, ini tak adil, aku merasa bahwa Tuhan
sedang tak berpihak denganku, memutuskan untuk kembali adalah jalan yang tepat
mengobati situasi ini.
Di dapur, kutemui adikku sedang
memasak sayur kesukaanku. Perlahan menoleh dan menatapku yang hanya terdiam di
meja makan. Dia mendekat, kembali memberikan semangat untukku. Katanya “Tuhan
tidak pernah mengujimu di luar
batas kemampuanmu.”
Sungguh menyayat batin.
Rasanya sudah lama aku tidak bertemu Tuhan dalam heningku, aku bahkan lebih
sibuk dengan aktivitasku. Berpesta pora, minum mabuk, pergi pagi pulang pagi
membuatku lupa dengan adanya Tuhan dalam hidupku.
Sementara
menjalani pemeriksaan rawat jalan, aku memutuskan untuk berhenti bekerja,
adikku menyarankan untuk berbinis online seperti blogger, youtuber, online shop
dan lain-lain. Dari beberapa pilihan di atas, ditunjang dengan kemampuanku yang
suka menulis,
aku lebih tertarik menjadi seorang blogger.
Selain itu, adikku juga melatihku
bagaimana cara berdoa yang baik dan benar. Hari-hari berlalu, pahit dan
manisnya hidup menemani setiap lembar hidupku. Semakin sadar bahwa setiap
pergerakan kakiku merupakan anugerah Tuhan. Tulisan
pertama yang terbit pada dinding blogku mengisahkan perjalanan hidupku yang
rumit hingga menemukan titik terang dan juga ungkapan kagum atas sosok adikku
yang penyabar dan setia merawatku. Memang tidak semua doa dikabulkan secara
bersamaan, tapi sejauh kaki melangkah dan jantung berdetak satu per satu sudah
Tuhan kabulkan untukku.
Harta yang
paling berharga adalah keluarga, tidak ada yang menyayangimu melebihi keluarga.
Utamakanlah keluarga, karena ketika semuanya runtuh dan gagal, keluargalah
tempatmu untuk kembali.
Oleh
Astuti Karwayu