Demokrasi dan Kearifan Lokal: Kritik untuk Pemdes Mahal
Rian Odel, Anak Muda Mahal, Orang Kafir dari Timur |
Demokrasi itu sesungguhnya menjadi jalan lurus membangun politik yang bermartabat. Namun, seringkali, konsep demokrasi dikebiri, maka lahirlah wajah pemerintahan yang otoriter, mau menang dan kuasa sendiri sesuai selera.
Dalam sejarah panjang Republik Indonesia, rezim Soeharto pernah dilawan mati-matian karena menjalankan roda pemerintahan negara sesuka hati. Ia kemudian ditumbangkan oleh Mahasiswa.
Almarhum Eliaser Yentji
Sunur, ketika masih bernapas di bumi Lembata, saban hari ia mendapatkan
serangan kritikan bahkan olokkan yang tajam dan mematikan dari masyarakat yang
menamakan diri mereka peduli Lewo Tanah Lembata. Tentu masih banyak lagi
kisah-kisah menarik seputar berdemokrasi.
Pertanyaannya;
bagaimana roda berdemokratisasi di Desa Mahal, Kecamatan Omesuri? Bagaimana
kita melihat perjalanan Desa Mahal pada lima tahun berlalu, baik dari aspek
sosial-budaya, politik-pemerintahan dan aspek-aspek lain? Ini tugas wajib yang
harus kita refleksikan secara serius demi masa depan Desa Mahal mendatang. Yang
salah katakan salah, yang benar katakan benar, sebab di luar itu kita
sesungguhnya sedang mengkhinati Desa Mahal tercinta.
Belajar
Demokrasi
Pengertian yang paling
mendasar bagi demokrasi yakni suatu sistem pemerintahan dari, oleh dan untuk
masyarakat (Ribu ratu’ desa Mahal). Dari pengertian tersebut, sesungguhnya,
demokrasi yang dibangun di Desa Mahal substansinya adalah sebuah pelayanan total
untuk masyarakat tanpa memandang identitas partikular khususnya status sosial.
Maka, kasus yang kini
viral terkait rumitnya proses penandatanganan berkas pernikahan Sofyan
Hobamatan dan Samiyati adalah sebuah penyakit yang barangkali sudah lama
mengalami infeksi di dalam tubuh Desa Mahal. Karena itu, penyakit jenis ini
harus segera dicarikan obat mujarab untuk menyembuhkannya.
Ini contoh wajah
pemerintahan Desa Mahal mengarah kepada otoritarianisme: membangun sendiri
sesuai kemauan. Atau barangkali konsep politik yang ada dalam otak dan hati
Kepala Desa mahal bersama jajaran adalah warisan Machiavelli yang memakai
konsep militer. Konsep politik Machiavelli yakni menghalalkan segala cara untuk
memertahankan kekuasaan; bahkan bisa melalui perang; siapa menang, dia akan
berkuasa.
Pelayanan kepada
masyarakat yang tidak total baik oleh Kepala Desa maupun aparat lainnya yang
seolah-olah harus disembah untuk mendapatkan pelayanan membuktikan Desa Mahal
sedang rusak parah proses politiknya untuk membangun yang lebih baik ke depan. Ini
hal serius yang mesti dicatat sebagai sebuah sejarah hitam di Desa Mahal.
Oleh karena itu,
masyarakat Desa Mahal mesti berpikir kritis bukan membela yang salah. Pejabat Desa
itu pelayan yang diberi gaji untuk melayani secara total bukan
setengah-setengah atau lebih fatal lagi jika menjadikan dirinya sang raja dunia
yang harus disembah oleh masyarakat lainnya yang berpikir kritis atau kontra
dengan sistem pemerintahan yang ada di Desa.
Pemimpin harus terbuka
dengan berbagai macam jenis kritikkan, entah keras atau lembut, itulah sebuah
proses mendewasakan diri dalam berpolitik. Kritik bukan hanya di dalam gedung
Balai Desa, sebab kritik di dalam gedung sudah pasti hampir tidak memiliki waktu
maksimal, jika dikontrol waktu bicara oleh aparat yang seharusnya dikritik. Karena itu, kritik bisa
datang dari mana saja , misalnya dari facebook.
Kearifan
Lokal Desa Mahal: Apakah Masih Ada?
Sebagai generasi muda
Mahal yang sudah puluhan tahun makan-minum di Desa tersebut, penulis selalu
merefleksikan soal kearifan lokal Desa Mahal. Menurut penulis, Desa Mahal
hampir kehilangan jati diri kearifan lokal Desa (kampung) yang sesungguhnya. Padahal kearifan
lokal adalah warisan yang jujur dari leluhur.
Seharusnya, kita
belajar dari kearifan lokal dalam membangun Desa yang jujur, misalnya kembali
pada konsep ka le’ matan (Tubar,
liman, wanan, ebon). Konsep Ka le’ Matan
di Desa Mahal sudah punah! Akibatnya, generasi muda Mahal terombang-ambing
pengetahuannya tentang sejarah, status ulayat (duli uhe di kampung),
batas-batas tanah atau kebun). Akibat lainnya, ya muncul saling mengklaim sebagai pemilik duli uhe oleh generasi muda tertentu bahkan disebarkan melalui facebook. Ya, itu tidak salah jika punya pendasaran yang kuat. Yang menjadi rumit ketika masing-masing orang saling mengklaim!
Ini juga menurut penulis
sebuah penyakit yang mana beberapa tahun mendatang akan membuat generasi muda Mahal
tercerabut dari akar kearifan lokal bahkan akan terpecah-belah. Pemerintah Desa Mahal yang dinahkodai oleh
Muhamad Lukman Laba dikabarkan sudah membentuk lembaga adat. Namun, lembaga
adat yang dibentuk, kok semata-mata
untuk mengurus pernikahan (ebe nikah are’ kawin)?
Saya ingat baik
kontroversi ulayat (duli uhe) di daerah penggalian pasir (Masuk wilayah Mahal
II) – yang juga melibatkan beberapa suku di Desa Mahal tetapi proses penyelesaiannya
tidak dimoderasi secara baik oleh Pemdes Mahal hingga hari ini. Mengapa?
Padahal, sebagai generasi muda, kita membutuhkan kejelasan soal kearifan lokal
jenis ini agar bisa benderang di mata dan pengetahuan warga Mahal (juga Mahal
II), khususnya generasi muda.
Bukan hanya itu, ada
juga konflik horizontal batas kebun oleh beberapa masyarakat Desa Mahal yang
sampai hari ini tidak diselesaikan oleh Pemerintah Desa Mahal – penulis tidak
perlu sebut nama warga Desa Mahal yang terlibat konflik tersebut. Karena itu,
untuk kasus-kasus yang berpotensi melahirkan konflik horizontal, menurut penulis
Pemerintah Desa Mahal yang dinahkodai oleh Muhamad Lukman Laba telah gagal
dalam memoderasi sebuah persoalan urgen.
Menjaga dan mewariskan
kearifan-kearifan lokal Desa adalah tugas kita semua baik masyarakat, generasi
muda maupun Pemerintah Desa. Kita mengharapkan agar Lembaga Adat yang sudah
dibentuk benar-benar menjadi wadah yang bisa membangkitkan kembali kearifan
lokal kita.
Penulis sendiri bermimpi
untuk menggali lebih dalam soal sejarah Kampung-Desa Mahal baik soal nama-nama
kepala Kampung dan tamukung sejak Kampung Hobamatan dibentuk, sejarah ulayat
(duli uhe) yang jujur dan benar sesuai sejarah dorong dope’ agar bisa
bermanfaat bagi keharmonisan, ketenteraman berbasis budaya lokal di Desa,
khususnya bagi generasi muda penerus Desa Mahal.
Baca Juga Bangun Desa dengan Spirit Ka Le' Matan
Bukan hanya itu,
penulis juga mengharapkan agar lorong-lorong yang ada di Desa Mahal segera
diberi nama agar punya identitas yang jelas. Nama-nama para leluhur pejuang
berdirinya Kampung (Desa) mesti disematkan pada nama lorong-lorong sebagai
bukti kita menghormati dan menghargai perjuangan mereka.
Post a Comment for "Demokrasi dan Kearifan Lokal: Kritik untuk Pemdes Mahal"
Komentar