Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Cerita dari Lembata, Orang Kedang Bertahan Hidup dengan Air Hujan

Bak Penampung Air Hujan, Bak Kehidupan Orang Kedang


RAKATNTT.COM - “Lodo ee, lodo ee.” Demikian ungkapan kegembiraan orang Kedang di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), tatkala musim hujan tiba. Ungkapan tersebut berarti orang Kedang bergembira karena hujan segera jatuh membasahi bumi. Lodo ee, “turunlah (hujan).”

Secara medis, salah satu manfaat air hujan bagi manusia yakni sebagai air minum. Air hujan yang digunakan sebagai air minum, membantu menghidrasi tubuh. Hal ini juga sudah ditegaskan dalam Permenkes no 492/Menkes/Per/IV/2010. Dikutip dari Dr. CHoirul Amri, S.TP, M.Si, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.[1] Yang mesti dilakukan tentu saja menampung air hujan pada tempat yang baik dan bersih. Hal inilah yang telah dilakukan oleh orang Kedang di Kabupaten Lembata.

Puluhan ribu manusia yang menghuni lereng gunung Uyelewun, sebagian besarnya sejak masa lampau, khususnya bagian pedalaman–entah sejak kapan–sudah mengandalkan air hujan sebagai sumber hidup. Makanya, tak heran jika hampir setiap rumah selalu tersedia bak besar penampung air hujan. Diperkirakan air yang ditampung dalam bak bisa bertahan hingga setahun lamanya.

Karena itu, di Kedang, selain ada rumah dan perlengkapan pendukung, tersedia juga bak penampung hujan. Artinya, orang Kedang tidak hanya bekerja keras untuk membangun rumah, mereka juga mesti membanting tulang untuk mendirikan sebuah bak kehidupan. Biaya pembangunan sebuah bak penampung diperkirakan antara 15-20 juta.

Walaupun demikian, orang Kedang yang dimaksud tidak semata-mata mengandalkan hujan sebagai salah satu kebutuhan primer, tetapi Nimon Rian Arin Bara’ (Wujud Tertinggi) juga menyediakan sumber mata air bagi mayoritas manusia yang dilahirkan oleh leluhur Uyolewun tersebut.

Hampir setiap kampung memiliki sumber mata air bahkan lebih dari satu, sebut saja, Wei La’in, Wei Lawan, Wei Pana, Wei Lari’, Meru dan masih terlalu banyak mata air lainnya yang mendukung nafas hidup manusia di Kedang, Lembata.

Namun, mata air sebagaimana disebutkan di atas letaknya cukup jauh dari pemukiman warga. Bukan hanya letak yang jauh (sekitar 2 KM), melainkan juga sulit diakses karena terletak di lereng bukit. Sementara itu, kampung tempat hidup orang Kedang letaknya di dataran tinggi. Karena itu, untuk mendapatkan mata air, mereka harus turun ke lereng bukit.

Walaupun demikian, seturut perkembangan yang lebih maju, orang Kedang sudah terbantu untuk mendapatkan mata air dengan menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat. Artinya, selain mengandalkan hujan yang ditampung dalam bak, orang Kedang juga mengandalkan mata air lainnya.

Kelekatan orang Kedang dengan air hujan sudah berabad-abad lamanya dan masih bertahan hingga kini. Pada masa kekuasaan bupati (alm) Yentji Sunur, Pemda Lembata menganggarkan biaya sekitar 21 M untuk membangun proyek raksasa di mata air wei La’in. Namun hingga kini, proyek yang ditujukan untuk melayani kebutuhan akan air bersih bagi warga Kedang tidak memberikan pelayanan maksimal bahkan lebih tepat jika dikatakan mubazir.

Berdasarkan temuan penulis di beberapa Desa, pipa-pipa air yang didatangkan dengan harga mahal, kini terlihat tak berguna; ada yang sudah mulai berkarat, ada pula yang digunakan oleh warga secara kreatif sebagai tempat menjemur pakaian versi baru.

Walaupun proyek tersebut tak maksimal, Orang Kedang yang menikmati air hujan sebagai penopang hidup tetap bahagia. Mereka menerima kenyataan sebagai bagian dari hidup. Sebab bukan baru sekarang melainkan sejak zaman “kapak,” leluhur yang melahirkan mereka sudah mengandalkan air hujan. Atau tepat sekali dikatakan, orang Kedang hidup dari air hujan.

“Sudah sejak nenek moyang, mereka minum air hujan. Dan tidak pernah ada orang Kedang yang sakit karena minum air hujan,” ungkap Leonardus (71), salah seorang warga Kedang, Rabu (26/5).

Pertanyaan logis yang seringkali terdengar dari mulut generasi milenial yakni; mengapa nenek moyang tidak membuka kampung di dekat mata air? Sebab, dalam ilmu antropologi, biasanya manusia zaman dahulu membuka pemukiman di dekat mata air. Menjawab pertanyaan ini, seringkali juga ada cerita sejarah dari para tetua kampung bahwa dulu kala terdapat banyak mata air di tempat pemukiman warga Kedang sekarang tetapi karena ada musibah perang, makanya mata air tersebut menghilang secara ajaib.

Proses Pembuatan Bak Air

Ada cerita bahwa mata air yang ada di dekat pemukiman warga sudah ditutup oleh pasukan Meo (pasukan perang dari Timor) yang pernah datang mencari darah manusia di Kedang. Meo menggunakan kekuatan ilmu gaibnya untuk menutup aliran mata air di seputaran daerah pemukiman warga.

Walaupun begitu, belum ada penelitian akurat dari para pakar untuk menegaskan kebenaran dari cerita rakyat Kedang tersebut. Bisa juga benar terjadi demikian, sebab daerah pedalaman Kedang walaupun jauh dari mata air tetapi sangat subur; hasil alam melimpah juga udara alam yang amat segar. Ada banyak kemiri, kelapa, sirih dan pinang, juga masih banyak lagi tumbuhan hijau yang amat subur layaknya di sekitar mata air; tak terkecuali jeruk Kedang yang amat terkenal sebagai salah satu komoditas andalan orang Kedang.

Selain itu, kondisi seperti di atas juga menjadi lahan subur bagi para politisi menjelang Pemilihan Umum. Orang Kedang selalu diberi janji manis dari figur politisi tertentu yang meyakinkan mereka bahwa ia akan memenuhi tuntutan warga terkait kesediaan air yang melimpah. Dengan demikian, janji semacam itu serentak pula menggoda hati warga Kedang untuk menaruh dukungan pada figur tersebut.

Politisi selalu pintar membaca peluang. Namun, jika sudah menaruh pantat di kursi empuk kekuasaan, janji manis seringkali hanyalah kenangan pahit. (RO/Admin)

 



[1] https://www.merdeka.com/trending/manfaat-air-hujan-bagi-kesehatan-tubuh-ternyata-baik-untuk-paru-paru-kln.html

Post a Comment for "Cerita dari Lembata, Orang Kedang Bertahan Hidup dengan Air Hujan"