S. Ambarak Badjeher Berdarah Arab Berjuang untuk Otonomi Lembata
RAKATNTT.COM – Lembata, secara resmi menjadi Kabupaten sendiri – terpisah dari Kabupaten induk Flores Timur – pada 12 Oktober 1999. Jalan panjang terbentuknya Lembata sebagai Kabupaten otonom ini tak pernah lepas dari perjuangan awal para tokoh pencetus statemen 7 maret 1954. Salah satu pencetusnya yakni S. Ambarak Badjeher, sekretaris partai Masyumi cabang Kedang.
Tokoh pejuang berdarah
Arab ini lahir di Waingapu, pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur – belum diketahui
jelas tahun kelahirannya. Menurut penuturan Abdulrahim, putra sulung dari (alm)
S. Ambarak Badjeher, Jumat (13/8/22) di Desa Weilolong, Kecamatan Omesuri,
Lembata, leluhur mereka berasal dari tanah Arab.
Kedatangan mereka ke
Nusantara bermula dari motivasi untuk berdagang tepatnya di Timor Timur
(sekarang Timor Leste). Di Timor Timur, leluhur dari S. Ambarak Badjeher
menetap cukup lama; bahkan beberapa di antara mereka dikirim kembali ke Arab
untuk menuntut ilmu di bangku pendidikan kemudian kembali lagi ke Indonesia.
Setelah sekian lama di
tanah Timor, ada beberapa orang yang pindah ke Waingapu, Sumba, yakni Abdulah, Ali
dan Muhamad; ada yang tetap menetap di Timor. Di pulau inilah, S. Ambarak
Badjeher dilahirkan ke dunia. Walaupun orangtuanya di Sumba, tekad S. Ambarak
untuk menuntut ilmu tidak dibatasi hanya di Sumba; ia bahkan langgar laut untuk
mengenyam pendidikan Madrasah di Kupang.
Abdulrahim, Putra Sulung dari S. Ambarak |
Bagaimana cerita
perjalanan S Ambarak Badjeher dan sanak saudaranya ke Lomblen? Simak di bawah
ini.
Sekitar tahun 1942,
Karama Badjeher, sanak saudara dari Ambarak Badjeher berjumpa dengan Basyir
Ruta’ yang berasal dari Peusawa tetapi berdomisili di Bareng, Buyasuri. Tempat perjumpaan
mereka di Makassar, Sulawesi Selatan. Dari perjumpaan inilah, ada kesepakatan
untuk pindah ke Lembata.
Dari Sumba, S Ambarak
Badjeher bersama sanak saudaranya mulai meneropong indahnya pulau Lomblen
(Lembata). Tahun 1943, S. Ambarak
Badjeher bersama saudara-saudaranya pindah ke Bareng, Lembata.
“Sebenarnya, Rian Bara’ (pembesar Kedang) minta
supaya tinggal di Kalikur tapi Ambarak mereka tolak dan tinggal di Bareng saja,”
tutur Abdulrahim yang lahir tahun 1950.
Mengapa mereka ke
Lomblen? Tentu punya tujuan tertentu. Bukan untuk penyebaran agama atau
berdagang, melainkan hanya untuk melihat buah dan batang kemiri. Tujuan yang
sangat sederhana. Hal ini diceritakan langsung oleh Hasna Bunga, istri ketiga
dari S. Ambarak Badjeher, Kamis (11/8/22) di Meluwiting.
Catatan Tangan S. Ambarak Badjeher |
S. Ambarak Badjeher
menetap di Bareng. Ia memiliki tiga orang istri yakni Zainab binti Abdulah
Badjeher, Faridah Lopot Making dan Hasna Bunga Amunmama’. Istri terakhirnya
berasal dari Meluwiting, putri dari (alm) Sara Watang Amunmama’. Ayah dari
Hasna Bunga ini pernah menjadi Kepala kampung setempat.
Menetap di Kedang, S.
Ambarak Badjeher mulai bertumbuh dewasa. Ia tidak hanya bergaul dengan tetangga
atau warga sekampung tapi mulai membangun jaringan lebih luas, termasuk
berelasi dengan pembesar setempat (Rian bara’) yakni Mas Abdul Salam Sarabiti
yang juga sebagai ketua Masyumi cabang Kedang.
Ia pun masuk dalam
tubuh partai Masyumi cabang Kedang dan dipilih sebagai sekretaris. Selain
bergerak dalam dunia politik, ia juga dipercayakan sebagai Imam masjid di
Meluwiting. Setiap hari Jumat, ia berjalan kaki dari Bareng ke Meluwiting;
sesekali menetap beberapa hari di Meluwiting, di rumah Sara Watang. Justru
karena menetap di rumah ini, S. Ambarak Badjeher pun jatuh cinta dengan Hasna
Bunga, putri dari Sara Watang dan menjadikannya istri ketiga.
Hasna Bunga
mengisahkan, S. Ambarak adalah sosok penyabar, tekun, suka mengalah dan sengat
terbuka bergaul dengan siapa saja. Sebagai Imam Masjid, Ia juga ditugaskan
mengurus pernikahan umat Islam di seputaran Kedang.
“Banyak yang datang
urus pernikahan mereka di rumah (meluwiting) tapi kadang bapa yang jalan kaki
keliling untuk urus mereka. Kalau di Atanila, Weilolon, Leu lein (sekarang Lewo
Lein) dan Bean, mereka jemput bapa pakai Kuda,” cerita Hasna Bunga sambil
tertawa bahagia.
Bukan hanya pernikahan
satu agama (islam), beda agama pun (islam-katolik), S. Ambarak Badjeher mampu
mengurusnya. Istrinya berkisah bahwa pernah satu kali S. Ambarak menghadap
pastor paroki dan menjelaskan bahwa jodoh tidak bisa dipaksakan, jadi kalau ada
yang cinta beda agama harus diurus secara baik.
Tahun 1950-1975, S.
Ambarak Badjeher bertugas sebagai P3NTR (Pegawai Pembantu Pencatat Nikah Talak
Rujuk) untuk wilayah Kedang.
Hasna Bunga, Istri Ketiga dari (alm) S. Ambarak Badjeher |
Orang baik, penyabar
dan rendah hati seperti S. Ambarak Badjeher selalu mendapat anugerah dari Yang
Maha Kuasa. Dari hasil cinta bersama tiga istrinya, S. Ambarak akhirnya
dianugerahi 26 orang anak.
Walaupun begitu,
sebagai substansi terbatas, ada 5 orang anaknya dipanggil Tuhan. Kini,
anak-akaknya yang lain berpencar untuk mencari hidup masing-masing; ada yang di
Lembata, ada pula yang di tempat lain.
“Jadi kami ini, salah
satu adik kami tidak pernah jadi pegawai di Lembata, mulai dari Piter Keraf
sampai Yance Sunur, tes (PNS) tidak pernah tembus jadi saya punya adik semua
pegawai di luar semua, di Ende semua. Lamar di Lembata tidak pernah tembus. Kami
juga tidak pernah dapat tanda mata dari Pemerintah, tidak ada sama sekali,”
lagi cerita dari Abdulrahim.
Sosok kebapaan dari S.
Ambarak sangat kental. Hasna Bunga menceritakan, selama puluhan tahun hidup
bersama, ia hampir tidak pernah mendapat perlakukan kasar atau kata-kata tajam
dari suaminya, tokoh hebat tanah Lembata itu. Hasna hanya mendapat satu kali
“tamparan” dari sang suami tatkala buah hati mereka menangis.
Kehidupan keluarga
mereka berjalan normal, walaupun kekuatan ekonomi sangat terbatas, apalagi S.
Ambarak harus menafkahi tiga orang istri. Ia mampu membagi waktu; kadang di
Bareng, kadang di Meluwiting.
Khusus untuk di
Meluwiting, jika S. Ambarak Sibuk di Bareng misalnya, dan tidak sempat
berkunjung ke Meluwiting, ia akan menulis sebuah nota kecil yang diisi dalam
amplop putih dan dikirim ke Meluwiting agar Hasna Bunga dan anak-anaknya tidak
penasaran.
“Bapa itu hobi tulis,
kalau dia tidak pulang dia kirim nota. Anak-anaknya lahir juga dia tulis semua,
lahir hari apa, jam berapa, siang atau malam, dia tulis pake pulpen tinta,”
kenang Hasna Bunga.
Untuk mendukung ekonomi
keluarga, S. Ambarak juga menjual minyak urut atau yang terkenal dengan sebutan
minyak urat. Disebut demikian, karena ada akar-akar tumbuhan yang ada dalam
minyak tersebut.
Setelah S. Ambarak
meninggal dunia (1994) dan dimakamkan di Bareng, istri dan anak-anaknya tetap
melanjutkan karya S. Ambarak yakni menjual minyak urat.
Catatan:
Nama lengkap S. Ambarak Badjeher sesuai data resmi dari keluarga ialah S.
Ambarak Bazher (bukan Badjeher). (Rian Odel/Red).
SEMOGA CATATAN INI MENJADI INSPIRASI UNTUK GENERASI BARU LEMBATA
ReplyDelete