Setelah ETMC ke-31, Apa yang Kita Maknai untuk Lembata?
![]() |
Rian Odel, Masyarakat Kecil Lembata |
Diiringi
bunyi gong gendang, musik khas pertanda kegembiraan, mereka berarak dari
Uyelewun menuju Lewoleba.
Para
ASN dan orang Kedang lainnya yang berdomisili di Lewoleba menerima kedatangan
mereka dengan hati teduh.
Namun
sayang, jika kita melacak di media sosial, ada komentar-komentar yang mengarah
kepada perpecahan yakni politisasi sudah mulai nampak. Orang tidak menerima
rombongan Uyelewun demi mendukung semangat anak-anak Persebata Lembata melawan
Perse Ende melainkan unsur politik mulai merebak.
Ada
yang bilang, semoga persatuan ini terbawa terus sampai 2024. Anehnya, yang
memberi kometar seperti ini adalah orang-orang besar yang bahkan diduga ASN
(Penulis belum tahu jelas soal jabatan mereka).
Komentar
tak edukatif seperti ini membuktikan bahwa dukungan terhadap ETMC ke-31 dan
Persebata Lembata ada udang di balik batu; fokus mereka terbagi dua, antara
ETMC dan politik 2024.
Orang-orang
seperti ini, di otak mereka hanyalah kursi kekuasaan, mereka tak berpikir jauh lebih
luas dari sekadar kepentingan politik.
Di
atas tebing bukit, terlihat ribuan manusia tak henti berteriak baleo..baleo...,
bahkan ada yang memanjat pohon dan membunyikan sensor demi kemenangan Persebata.
Di tribun utama, anak-anak muda lomblen mania berbaju serba biru tak
henti-hentinya bergoyang dan bernyanyi. Semuanya demi Persebata; demi Lembata, demi pulau yang di atasnya ribuan
manusia berteduh untuk hidup.
Terlihat
persatuan di lapangan Gelora 99 sangat erat, kuat dan romantis seperti cinta
dua kekasih. Yang dari timur datang, yang dari selatan datang, yang dari utara
dan barat pun datang menyatukan energi di Gelora 99 bersama lomblen mania
lainnya. Persatuan ini menjadi ekspresi nyata budaya orang Lembata yang
diwariskan oleh para leluhur.
Budaya
orang Lembata adalah budaya cinta kasih, perdamaian, bukan perusuh. Budaya Lembata
(Lamaholot dan Kedang) adalah menjunjung tinggi sportivitas, menghargai dan menghormati
tamu.
Coba
kita lihat, saat Perse Ende beranjak pulang ke Kota Pancasila, anak-anak
lomblen mania tak larut dalam kesedihan karena tak meraih trofi ETMC; mereka
malah mengantar Ata Ende ke pelabuhan.
Sebelum
beranjak pergi mengarungi lautan, lomblen mania lagi-lagi masih bergoyang dan
bernyanyi bersama di pelabuhan laut Lewoleba yang fisiknya terlihat lapuk. Air mata
cinta pun mengalir bening dari wajah mereka.
Cinta
terhadap tamu begitu luar biasa. Itu karakter orang Lembata; budaya membentuk
karakter. Demikian kira-kira pendapat dari Van Peursen.
Apa Maknanya untuk Lembata?
Yang
paling penting setelah turnamen ETMC ialah mencari makna terdalam untuk Lembata
ke depan. Bola kaki telah mempersatukan masyarakat Lembata dari semua
Kecamatan, Desa, Dusun dan RT.
Spirit
dari ETMC yang baru saja lewat tidak boleh mati. Misalnya persatuan dan
kekompakkan. Orang Lembata mesti melihat momen ini sebagai bahan refleksi, melihat
masa lalu Lembata dari segala macam aspek, baik sosial, budaya, politik, agama
maupun relasi-relasi lainnya.
Spirit
ETMC mesti juga menggerakkan hati para politisi Lembata untuk bersatu,
bersama-sama mengatur Lembata ini menjadi lebih baik, bukan bersaing hanya demi
kemenangan partai politik atau golongan parsial, apalagi jika bersaing tak
sehat. Itu buruk sekali.
Spirit
ETMC juga mengajarkan tentang sportivitas dan keadilan. Apa maknanya untuk
Lembata? Sportivitas mengajarkan kita tentang kejujuran dan ketulusan.
Spirit
ini mesti juga mengganggu hati para penegak hukum untuk sportif menelusuri
kasus-kasus yang masih tersimpan rapi di laci-laci meja. Bongkar semua yang
buruk agar Lembata bisa bersih dari cara bermain yang kotor.
Kapal
Pinisi yang diduga ada unsur korupsi, mesti ditelusuri secara sportif. Selain itu,
soal keadilan. Aspek penting satu ini juga mesti mendorong para pembesar tanah
Lembata untuk melihat pulau ini secara holistik dan berkeadilan dalam kaitan
dengan pembangunan. Bersatu dan Kompak untuk bangun Lembata! Sekian. (Red/RO)