Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Narasumber Mabuk, sebuah Kritik

 

RakatNtt.com – Narasumber merupakan orang yang dipercaya dalam memberikan data, baik melalui tuturan lisan maupun tulisan. Kriteria sebagai narasumber misalnya, dilihat dari umur, status sosial, pengalaman, pendidikan dan lain-lain. 

Ilustrasi


Di kampung halaman kita, seorang narasumber sangat dipandang terhormat karena bisa menjadi tokoh yang menjelaskan tentang sebuah kebenaran yang terjadi pada waktu lampau. Namun, dalam kaitan dengan sebuah kebiasaan lokal di Lembata misalnya, kita seringkali melihat narasumber-narasumber kita menuturkan sesuatu dalam posisi tidak waras alias mabuk tuak atau arak. 

Dengan alasan air kata-kata, seorang narasumber seringkali bisa berbicara lancar jika ia sudah menghabiskan tuak atau arak. Maka, sebagai seorang peneliti sejarah atau budaya, seringkali diingatkan untuk membawa arak atau tuak jika hendak mewawancarai seorang narasumber. 

Selain tuak, ada rokok dan sirih pinang. Namun, sebenarnya, dalam budaya lokal di Lembata, tuak atau arak memiliki nilai positif yakni tentang persahabatan. Oleh karena itu, tuak atau arak yang dikonsumsi tidak boleh berlebihan karena akan mengubah situasi menjadi kacau. Penegasannya, tuak atau arak adalah minuman persahabatan bukan untuk bersenang-senang sampai mabuk.

Kritik Narasumber Mabuk

Sudah diulas di atas. Seringkali seorang narasumber lancar berbicara jika ia sudah dalam posisi mabuk tuak atau arak. Hal ini perlu dikritisi karena bisa menghilangkan substansi sebuah pembahasan. Misalnya, ketika kita mewawancarai seorang tetua tetapi dalam kondisi mabuk, maka tuturan yang ia sampaikan – entah sejarah atau budaya – perlu diragukan kebenarannya, apalagi jika penjelasannya tidak terstruktur. Seorang pendengar mesti betul-betul mengkaji apa yang disampaikan oleh narasumber mabuk. Kebiasaan mabuk ini, kemudian membuat para penggali sejarah atau budaya tidak menemukan data yang bisa dipercaya.

Dari ulasan ini, semestinya, kita mengubah kebiasaan ini. Narasumber dalam memberikan data tak boleh diberi minum alkohol berlebihan. Sebab kebenaran hanya bisa disampaikan dalam kondisi waras bukan mabuk tuak lalu bercerita. Hal ini butuh kehati-hatian seorang penggali cerita sejarah maupun budaya agar tidak cepat mengangguk pada apa yang disampaikan pada narasumber mabuk.

Post a Comment for "Narasumber Mabuk, sebuah Kritik"