Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Kolonialisme dan Sejarah 44 Kampung di Kedang, Lembata

 

Ilustrasi Pexel


 

RakatNtt - Sejarah terbentuknya 44 kampung di Kedang tak terlepas dari peran Rian Baraq. Tak hanya itu, dalam versi lisan dan juga catatan R. H. Barnes, dapat disimpulkan bahwa terbentuknya 44 kampung tak terlepas pula dari intervensi raja Sagu Adonara dan Kolonalisme Belanda.

Saya menarasikan ulang secuil sejarah terbentuknya 44 kampung dengan berpedoman pada  catatan R. H. Barnes dalam artikelnya berjudul: Alliance and Warfare in an Eastern Indonesian Principality Kedang in the Last Half of the Nineteenth Century dan juga versi lisan yang masih diwariskan oleh masyarakat Kedang hingga kini.

Satu hal yang perlu dimiliki oleh generasi muda Kedang yakni menelusuri sejarah harus utuh dan komprehensif bukan sepotong-sepotong.

Kita mencatat sejarah apa adanya tanpa menyelip kepentingan pribadi lantas menghilangkan fakta sejarah tertentu.

Dengan demikian, dalam konteks tulisan ini, kita akan menemukan bahwa praktik kolonialisme tak terhindarkan dalam proses terbentuknya 44 kampung di Kedang. Dalam tulisan ini, saya memberikan penegasan dan juga analisis kritis atas tulisan Barnes.

Rian Baraq dan Embrio Kekuasaan

Beberapa tahun lalu, ketika ada ekspo Uyelewun Raya yang melibatkan 44 kampung di Kedang, salah satu kampung yakni Dolulolong dipolitisasi sebagai kampung yang bukan termasuk 44 kampung. Ya ini memang benar, namun bukan hanya Dolu, masih ada pula kampung lain yang tidak masuk 44 kampung.

Kampung-kampung ini tidak masuk 44 kampung karena mereka tidak menyerahkan upeti berupa gading kepada Rian Baraq Sarabiti yang nantinya diserahkan kepada Raja Sagu yang di belakangnya ada peran kolonialisme Belanda berupa ancaman dan paksaan.

Barnes mencatatnya cukup lengkap namun tanpa menjelaskan secara pasti tahun terbentuknya 44 kampung. Sebelum kesana, kita coba melihat kembali silsilah para Rian Baraq Sarabiti (Hamente Kedang) sebagaimana dicatat oleh Barnes sebagai berikut.

-          - Lawe Erung

-          - Dato Lawe

-          - Bapa Lawe – menikah dengan orang Adonara – Barnes menjelaskan bahwa penikahan ini menginisisasi pernikahan aliansi raja Sagu dan Rian Baraq Sarabiti.

-          - Sarabiti Lawe (menjadi Rian Baraq Kalikur pertama tahun 1850) - menikah dengan orang Adonara. Istri keduanya Bernama Kidi Sinu dari Kalikur, suku Hada Pura, istri ketiga Kene Bota dari kampung Adonara klan Lewo Belung

-          - Musa Sarabiti menikah dengan Meme Bota dari Adonara

-          - Lawe Sarabiti – tak ada tahun

-          - Sarabiti Musa Abdul Salam – menjadi Rian Baraq sampai 1936 (Barnes tidak mencatat tahun awal kepemimpinan).

-          - Abdul Musa Sarabiti (Abdul Musa Salam Sarabiti? – penulis) – Menjadi Rian sampai 1937 (itu  berarti kepemimpinannya hanya satu tahun).

-          - Abdul Hakim Sarabiti – menjadi Rian Baraq sampai 31 Desember 1937 (hanya beberapa bulan menjadi Rian).

-          - Abdul Salam Sarabiti (Dia) – menikah dengan Halima dari Adonara, anak dari raja sagu Arakiang Kamba? – memerintah 1 Januari 1938 – 19 Maret 1954.

-          - Mas Abdul Salam Sarabiti – 19 Maret 1954 – awal 1960.

Dari silsilah ini, ada beberapa hal yang berbeda dengan versi lisan yang berkembang, misalnya dalam versi lisan bahwa Sarabiti Lawe menikah dengan saudari raja Sagu Adonara yang Bernama Meme Bota. Namun, dalam catatan Barnes justru yang menikah dengan Meme Bota adalah Musa Sarabiti.

Kalau disesuaikan dengan tahun kekuasaan maka Meme Bota mungkin adalah saudari dari raja Pela(ng) yang memerintah Sagu Adonara tahun 1850-1857 usai kematian raja Begu yang dibunuh pada 28 Juli 1850; raja jo (Sarabiti Kota Kaya memerintah Sagu 1857-1868), sedangkan raja Arakiang Kamba memerintah Sagu tahun 1894 - 1930.

Sementara itu, pernikahan Bapa Lawe (saudara dari Sarabiti Lawe?) menjadi tonggak awal kesepakatan untuk membuka kekuasaan raja Sagu di Kalikur yang diketahui awal mula mulai dipimpin oleh Sarabiti Lawe dan berakhir pada tangan Mas Abdul Salam Sarabiti.

Sebelum 44 Kampung

Pertanyaan kita adalah kapan terbentuknya 44 kampung dan sebelum ada 44 kampung, kira-kira ada berapa kampung di Kedang? Untuk menjawab ini, sumber-sumber lokal kita menjelaskan, sebelum ada 44 kampung, Kedang sudah memiliki lebih dari 44 kampung. Mari kita lihat satu per satu.

Sebelum terbentuknya 44 kampung, ada banyak sekali Sejarah peperangan dengan beragam motivasi. Misalnya perang Watar Bala, Perang Sili Laka dan lain-lain. Dari beberapa perang lokal ini, menegaskan bahwa sebelum ada 44 kampung, belum ada Rian Baraq tunggal yang membawahi seluruh Kedang.

Bahwa benar sudah ada Rian Baraq Sarabiti tetapi wewenangnya hanya untuk kampung Kalikur dan mungkin kampung-kampung di sekitarnya. Sebagian besar wilayah, khususnya bagian pedalaman belum memiliki pemimpin tunggal. Hal ini benar adanya, karena pada waktu itu, orang pedalaman masih tinggal terpisah-pisah di kampung lamanya masing-masing.

Pemberontakan Sili Laka dengan motivasi untuk menjaga tanah-tanah milik orang pedalaman yang diklaim sebagai milik sepihak Rian Baraq Lawe Sarabiti dengan tanda bekas kaki kerbau. Di situ, kita melihat bahwa sudah mulai ada persaingan kekuasaan. Rian Baraq Lawe Sarabiti ingin memperluas hegemoni kekuasaan dan Sili Laka melawan untuk mempertahankan diri atau tanahnya.

Atas rencana perundingan damai dan pembagian wilayah kekuasaan di Dolu, ternyata sudah ada skenario pembunuhan terhadap Sili Laka. Ada banyak versi pelaku pembunuhan Sili Laka, versi lokal menegaskan Sili Laka ditikam oleh Leraq Taling dari Leuhoeq saat sedang meneguk tuak dan duduk bersila di samping Leraq Taling yang sudah disuruh oleh Rian Baraq untuk menjadi eksekutor.

Namun Barnes mencatat, Sili Laka ditembak oleh Nana Lebe orang Terong Adonara menggunakan pistol dari Timor Leste. Versi cerita penembakan ini diceritakan juga oleh bapak Hasan Hambali. Ia berkata, ada orang menembak peluru ke arah mulut Sili Laka namun kebal sehingga pada saat Sili Laka meneguk tuak ia langsung ditikam oleh Leraq Taling dengan dasar alasan diperintah oleh Rian Baraq.

Nah, terlepas dari beragam versi ini, kematian Sili Laka menjadi tanda bahwa nenek moyang orang Kedang pernah berada dalam perang saudara yang panjang. Sili Laka memberontak karena hak-haknya dicaplok oleh Rian Baraq yang menurut Barnes terjadi pada masa Lawe Sarabiti.

Setelah kematian Sili Laka, Rian Baraq Sarabiti mulai dengan gampang memperluas wilayah kekuasaaan ke pedalaman. Namun, peperangan lain juga terjadi, misalnya perang garam dll. Artinya, sebelum ada 44 kampung, belum ada pemimpin tunggal di Kedang.

Lalu kapan Rian Baraq Sarabiti menjadi pemimpin tunggal di Kedang yang membawahi 44 kampung? Jawabannya adalah pasca terbentuknya 44 kampung. Kok bisa? Mari kita lihat lagi.

Terbentuknya 44 Kampung

Dari beragam sumber, bisa dipastikan 44 kampung terbentuk sekitar awal tahun 1900-an. Di kampung saya Hobamatan, ada versi lisan yang menurut saya cukup kuat bahwa sebelum terbentuknya kampung Hobamatan, sudah ada beberapa kampung yang terpisah, misalnya Orolaleng, Peu Uma Obuq, Lobemato, Hobamatan dan Odel Leu Rian Odel Leu Utun.

Saat tuntutan dari Sagu dengan ancaman bakar kampung menggunakan dua kapal perang Belanda, maka semua kampung yang saya sebut di atas, kompak untuk menjadi satu kampung yakni Hobamatan.

Menggunakan nama Hobamatan karena hanya Koleq Kara Hobamatan yang punya gading sebagai upeti untuk diserahkan kepada Rian Baraq Sarabiti.

Maka diutuslah 7 anak muda membawa gading ke Kalikur dipimpin oleh Datoq Matan Hobamatan sebagai perwakilan kampung Hobamatan yang di dalamnya merupakan gabungan beberapa kampung.

Gading diserahkan oleh Datoq Matan kepada Rian Baraq dan sekaligus Rian Baraq memerintahkan Datoq Matan menjadi Rian Leu, yang menurut cucunya bapa Idris Kata (sekarang tahun 2025 berumur 105 tahun), para Rian Leu dilantik di Sagu. Artinya, terlihat sangat jelas bahwa yang memegang kendali kekuasaan adalah Raja Sagu.

Lalu mengapa harus ada kapal perang Belanda? Banyak sumber baik di Kedang maupun Adonara menegaskan bahwa sejak awal Belanda dan Raja Sagu sudah menjalin hubungan kekuasaan.

Kemudian, kalau merujuk pada catatan Barnes, 44 kampung terbentuk saat Arakiang Kamba raja Sagu mengancam akan membakar kampung Kalikur dengan menggunakan kapal perang Belanda yakni Prins Hendrik dan Bengkulen.

“Arakiang Kamba then asked that Kalikur be bombarded. Abdul Salam Sarabiti (seharusnya Abdul Musa Salam Sarabiti yang memerintah sampai 1937 – penulis) responded ‘bombard Kalikur, but wait, let me evacuate my people. After Kalikur has been bombarded, we will submit to the raja Company (the Dutch East India company) but we will not submit to the Raja Adonara.’ However the resident was opposed to bombarding Kalikur. Finally, Abdul Musa Salam Sarabiti agree to submit to the raja of Adonara, and Kalikur was not bombarded.” (Barnes)

Lebih lanjut Barnes mencatat: “Their standing as independent as rajas of effectively at an end, but their claims for the control of Kedang were now backed by Dutch power (Barnes).

Singkatnya dari catatan Barnes, terlihat bahwa ancaman datang dari raja Sagu Arakiang Kamba yang bekerja sama dengan Belanda. Mula-mula ingin membakar Kalikur jika tidak tunduk pada tuntutan raja Sagu.

Dengan beragam ancaman ini, maka Abdul Musa Salam Sarabiti menerima tuntutan raja Sagu agar Kalikur tidak dibakar. Abdul Musa Salam Sarabiti kemudian dipilih menjadi Kapitan Kedang. Sementara itu Rian Baraq terdahulu Lawe Sarabiti dipecat dan bersama 5 saudaranya diungsikan dan dipenjarakan selama 5 tahun di Kupang. Ketika Lawe Sarabiti dan 5 saudaranya pulang ke Kalikur, raja Sagu menuntut harus ada bayaran berupa perak dari suku Leu Tuang kepada raja Sagu.

Kemudian, kampung-kampung di pedalaman dituntut harus denda dengan mengumpulkan gading besar dan gong – ini adalah praktik kolonialisme.

Lebih lanjut, raja Sagu menuntut agar Rian Baraq mengumpulkan hasil bumi kampung-kampung mulai dari Leuwayan dan sekitarnya dan dibawa ke Sagu menggunakan perahu Sirin Totoq. Setiap 3 bulan sekali, upeti berupa kelapa, kemiri dan asam harus diserahkan ke Rian Baraq dan diantar ke Sagu.

Kolonialisme di Balik 44 Kampung

Dinamika sejarah masa lalu nenek moyang kita harus dibaca sebagai peristiwa yang memberi informasi. Artinya, tak boleh ada perdebatan lanjutan soal dinamika sejarah kita. Hal lainnya adalah dari sejarah-sejarah ini, generasi Kedang harus mampu menerima semua sejarah dan mendalaminya secara komprehensif.

Hal ini penting agar kita tidak hanya mengagungkan sebuah popularitas kekuasaan masa lalu atau mengkultuskan ketokohan orang tertentu lalu melupakan sejarah perampasan, feodalisme, kolonialisme, adu domba, pembunuhan dll yang mengiringi peradaban Kedang masa lalu.

Saya teringat Paus Fransiskus, yang berani meminta maaf kepada dunia atas dosa masa lalu Gereja Katolik – pengucilan, pembuangan, penjarakan orang yang berbeda pikiran dengan Paus. Dosa masa lalu harus dibuka sebagai bagian dari kerendahan hati mengakui kesalahan dan menimba spirit untuk proses transformasi Gereja.

Demikian pun di Kedang, banyak orang dirampas hartanya, ada yang dibunuh karena menjaga hak-haknya. Mereka tak boleh dilupakan atau direndahkan sebagai orang-orang yang kalah. Sebab mereka adalah korban dari sebuah kekuasaan yang ditopang kolonialisme Belanda dan kepentingan orang luar yakni raja Sagu.

Dari catatan Barnes dan versi lisan di Kedang, tampak tak ada perbedaan mencolok. Orangtua-orangtua di Kedang, menyebut kapal Buyaq Belanda akan membakar kampung yang tidak menyerahkan gading.

Dari versi ini, harus kita akui bahwa kolonialisme memaksa orang Kedang pribumi untuk tunduk pada sebuah kekuasaan. Orang Kedang diancam dan dirampas hak-haknya untuk kepentingan kekuasaan “tri tunggal” yakni Raja Sagu, Rian Baraq dan Belanda.”

Terlepas dari itu, jika kita meraba tahun awal terbentuknya 44 kampung berdasarkan sumber-sumber yang ada, bisa diperkirakan awal tahun 1900-an sebagai proses awal terbentuknya 44 kampung. Hal ini sesuai dengan versi lisan bahwa para Rian Leu pertama (atau anaknya?) dari 44 kampung sempat bersekolah di Sekolah Rakyat Kekar bentukan Belanda yang mulai beroperasi tahun 1915. Versi yang cukup kuat dari cerita awal mula terbentuk n ya Desa Loyobohor ialah 44 kampung terbentuk tahn 1915 bertepatan dengan dibukanya Sekolah Rakyat di Kekar.

Itu berarti sebelum tahun 1915 atau tepat tahun 1915, 44 kampung terbentuk. Setelah 44 kampung sepakat bersatu karena ada ancaman dari Belanda, Raja Sagu dan Rian Baraq, maka semua kekuatan gaib, mi’er enga dari masing-masing kampung disatukan di Kalikur tepatnya di bawah pohon beringin.

Persatuan ini, pada satu sisi menjadi kebanggan orang Kedang. Namun, sisi lainnya adalah ada praktik kolonialisme yang sangat jelas dan nyata: ancaman, perampasan hasil bumi, tak boleh ada yang berbeda pikiran dan seterusnya. Kolonialisme juga telah melahirkan praktik adu doba sesama orang Kedang, praktik perbudakan dan ancaman yang melahirkan ketakutan.

Tahun 1904, raja Sagu mengundang Kapitan Kedang untuk membantu dalam perang Hinga. Masing-masing kampung dari 44 kampung mengutus dua panglima perang atau mi’er untuk pergi berperang di Hinga.

Pasukan Kedang bersama Lewotolok dan Meo dari Amfoang, bersama pasukan Kerajaan Sagu dan Belanda berperang dalam perang Hinga melawan musuh Raja Sagu. Ini adalah salah satu perang terbesar di Adonara.

Dari catatan Barnes juga kita  bisa menyimpulkan bahwa 44 kampung terbentuk pada masa Abdul Musa Sarabiti (Abdul Musa Salam Sarabiti? – penulis) . Namun, saya lebih sepakat 44 kampung terbentuk pada masa Sarabiti Musa Abdul Salam yang memerintah sampai tahun 1936, Barnes tidak mencatat awal kekuasaanya. 

Sarabiti Musa Abdul Salam berkuasa pada zaman kejayaan Arakiang Kamba, maka pengumpulan upeti gading juga sekitar awal tahun 1900-an, sehingga lebih tepat, 44 kampung dicetus pada masa kepemimpinan Sarabiti Musa Abdul Salam bertepatan dengan kekuasaan Arakiang Kamba. 

Barnes mencatat bahwa Abdul Musa Salam Sarabiti diangkat menjadi Kapitan Kedang sedangkan Lawe Sarabiti dipecat sebagai Rian Baraq. Artinya, setelah Lawe Sarabiti dipecat, tongkat kekuasaan langsung dikendalikan oleh Abdul Musa Salam sarabiti - catatan Barnes ini perlu dikoreksi karena sesuai silsilah, setelah Lawe Sarabiti, seharusnya kekuasaan dipegang oleh Sarabiti Musa Abdul Salam, bukan Abdul Musa Salam Sarabiti.

Abdul Musa Sarabiti atau Abdul Musa Salam Sarabiti hanya memerintah satu tahun yakni 1936-1937. Itu berarti tidak masuk akal jika ia menjadi pencetus berdirinya 44 kampung sebab masa kekuasaan Arakiang Kamba bertepatan dengan masa kekuasaan Sarabiti Musa Abdul Salam  (Catatan Barnes juga perlu dibaca secara kritis karena ada nama-nama Rian Baraq dan konteks masa kekuasaan yang membingungkan). 

Dalam proses terbentuknya persatuan yang “dipaksakan” ini, jelas menegaskan bahwa banyak orang melawan karena tidak mau tunduk pada kolonialisme, dan praktik kekuasaan yang otoriter dan feodal.

Setelah 44 kampung dibentuk, Rian Baraq mulai dengan gampang mengontrol Kedang. Namun, selalu saja ada perlawanan dari masyarakat khususnya para petani. Seperti misalnya pada masa Mas Abdul Salam Sarabiti sekitar tahun 1960-an. Ia mendapat perlawanan dari para guru Katolik didukung Uskup Larantuka dan para pemangku ulayat tiap kampung.

Namun, semuanya telah berlalu. Kita berkewajiban mendalami sejarah pada konteks nenek moyang kita secara jujur dan komprehensif agar tak ada versi tunggal tentang sejarah dan tak boleh ada fakta yang sengaja dihilangkan. Kita didorong untuk berkaca pada sejarah buram masa lalu dan menghindari praktik kolonialisme dan feodalisme pada masa kini dalam relasi sosial orang Kedang yang lebih beradab.

Keunggulan Rian Baraq

Walaupun ada praktik kolonialisme pada zaman Rian Baraq, tetapi kita tentu tak boleh tutup mata terhadap keunggulan yang menjadi spirit bagi orang Kedang. Dari Rian Baraq pertama sampai terakhir, sudah diceritakan bahwa Sarabiti Lawe adalah seorang yang pernah belajar ilmu agama islam di luar Kedang.

Artinya, bisa kita sepakati bahwa Sarabiti Lawe adalah orang Kedang pertama yang mengenyam pendidikan, khusus agama islam, sehingga wawasannya sudah luas. Selain itu, Rian Baraq Sarabiti adalah sosok yang kuat beragama islam tetapi juga adalah seorang yang menjunjung tinggi kebebasan beragama. 

Hal ini bisa kita ketahui, tatkala, guru Sinu, seorang guru agama katolik datang ke Kedang dan diterima oleh Rian Baraq di Tobo Tani dan diberi wewenang untuk mengajar agama katolik dan menyebarkan agama katolik di Kedang, mulai tahun 1926 di Aliuroba (cerita ini dipertegas juga dalam buku sejarah Keuskupan Larantuka).

Bayangkan jika Rian Baraq egois maka misi di Kedang akan mengalami kendala. Agama katolik mulai dikembangkan secara luas tahun 1926 di Aliuroba sebagai pusat. Namun, bisa diprediksi sejak tahun 1915, agama Katolik sudah mulai berembrio ketika guru Oti Riberu datang ke Kekar dan mengajar di Sekolah rakyat bentukan Belanda. Oti Riberu dari Larantuka seorang Katolik. Sementara penyebaran Islam bisa diprediksi sudah sekitar awal tahun 1800-an, jika merujuk pada masa kekuasaan rian baraq.

Rian Baraq yang menerima guru Sinu tahun 1926 bisa dipastikan adalah Sarabiti Musa Abdul Salam – menjadi Rian Baraq sampai 1936 (Barnes tidak mencatat tahun awal kepemimpinan), dan dilanjutkan oleh Abdul Salam Sarabiti (Bapa Dia) yang dalam banyak versi lokal dikenal sebagai Rian Baraq yang bijaksana dan merangkul semua orang Kedang sehingga pada zamannya hampir tidak terdapat konflik. Ia memerintah 1 Januari 1938 – 19 Maret 1954.

Rian Baraq juga dikenal sebagai jembatan konflik internal dalam kampung maupun antar kampung sehingga Rian Baraq menetapkan batas-batas administrasi kampung untuk menghindari konflik. Selain itu, Rian Baraq juga menggerakkan orang Kedang untuk memindahkan tempat hunian ke dataran rendah sehingga dekat dengan jalan raya - walaupun motivasinya adalah agar mudah menagih upeti.

Namun, dari proses ini, kini orang Kedang mendapatkan manfaat untuk lebih mudah mengakses jalan raya. Rian Baraq juga adalah sosok yang pintar bernegosiasi dan membangun jejaring. Dalam catatan Barnes, terlihat jelas, Rian Baraq mampu berjejaring dengan kerajaan Sagu untuk kepentingan politik, dengan orang Baranusa untuk ilmu agama islam, dengan Meo di Amfoang untuk politik dan tak dimungkiri dengan Belanda yang hadir melalui raja Sagu.

(Sebagai penutup, ada beberapa nama dalam catatan Barnes yang membingungkan. Pada bagian silsilah Barnes mencatat nama Abdul Musa Sarabiti. Namun, pada kisah tentang pungutan upeti gading, ia justru mencatat nama Abdul Musa Salam Sarabiti diangkat sebagai Kapitan. Sedangkan pada bagian Silsilah tak ada nama Abdul Musa Salam Sarabiti – barangkali ini orang yang sama hanya penulisan yang keliru. 

Terlihat juga Barnes kurang teliti menetapkan nama Rian Baraq pada konteks masa kekuasaannya. Barnes tidak konsisten mengurutkan nama-nama Rian Baraq sehingga pembaca akan kebingungan, khususnya pada saat pengumpulan upeti gading.

Contohnya: saat Arakiang Kamba mengancam membombardir Kalikur, Barnes justru mencatat nama Abdul Salam Sarabiti sebagai orang pertama yang merespons ancaman itu. Padahal, pada masa kekuasaan Arakiang Kamba, Abdul Salam Sarabiti belum menjadi rian baraq. Pada kalimat berikut, Barnes menjelaskan, ancaman Arakian Kamba membuat Abdul Musa Salam Sarabiti akhirnya menyerah kepada Sagu dan Belanda. Sementara dalam silsilah tak ada nama Abdul Musa Salam Sarabiti, yang ada adalah Abdul Musa Sarabiti yang memerintah tahun 1937 atau hanya satu tahun sebagai pemimpin. Kalimat lainnya ia menjelaskan Lawe Sarabiti dipecat dan dipenjarakan dan Abdul Musa Salam Sarabiti diangkat sebagai Kapitan Kedang. Ini jelas keliru karena sesuai silsilah, setelah Lawe Sarabiti, kekuasaan dipegang oleh Sarabiti Musa Abdul Salam. Dari contoh-contoh ini menegaskan Barnes kurang teliti, mungkin karena banyak nama Rian Baraq yang sama sehingga membingungkan penelitian dan penulisan.

Khusus untuk Mas Abdul Salam Sarabiti, jika dibandingkan dengan sejarah statement 7 Maret 1954, maka ia waktu itu belum menjadi Kapitan Kedang. Sebab menurut Barnes, Mas Sarabiti menjadi Kapitan baru pada tanggal 19 Maret 1954. Sedangkan pada 7 Maret 1954, Dia Sarabiti masih menjadi Kapitan. Mari kita terus menggali.

 

Oleh Antonius Rian

2 comments for "Kolonialisme dan Sejarah 44 Kampung di Kedang, Lembata"