Bota Ili dan Wata Rian, Perjumpaan yang Mengubah Cara Pandang
Foto Rakatntt |
RakatNtt - Orang Kedang di Kabupaten Lembata memiliki sebuah cerita mitologis yang kaya akan pesan-pesan. Cerita Bota Ili dan Wata Rian menjadi simbol perjumpaan yang mengubah, simbol bersatunya orang pesisir dan pedalaman, orang yang datang dari luar kampung dan berbaur dengan orang lokal setempat, juga simbol bersatunya perempuan dan laki-laki sebagai dua sosok yang saling melengkapi.
Secara singkat, di puncak gunung Uyelewun, hidup seorang perempuan berbulu badan kasar dan pemakan kadal, ular dan tokek. Ia adalah Bota Ili. Sementara itu, di pesisir hidup seorang laki-laki bernama Wata Rian yang asal-usulnya datang dari Serang Gorang (Maluku). Keduanya berjumpa di puncak gunung. Wata Rian membawa tuak, ikan dan sarung. Strateginya amat cantik; ia membuat Bota Ili mabuk dan tertidur agar ada kesempatan untuk mencukur bulu badan Bota Ili.
Tatkala sadar dari mabuk, Bota Ili mendapati dirinya berbeda, ia berubah menjadi perempuan yang pemalu karena sedang telanjang. Ia kemudian diberi sarung oleh Wata Rian dan mulai saat itu, Bota Ili tak lagi memakan kadal, ular dan tokek, tetapi ikan. Wata Rian pun menjelaskan bahwa makanan yang baik adalah ikan dari laut dan keduanya pun kawin dan beranak pinak.
Apa Pesannya?
Setiap kita bisa bebas membaca cerita itu. Saya merangkum secara singkat bahwa Bota Ili dan Wata Rian adalah simbol persatuan yang mengubah. Bahwa sebuah peradaban, sebuah kehidupan bisa berubah dan lebih maju selalu diawali dengan perjumpaan. Wata Rian sebagai simbol orang pendatang dan laki-laki pesisir berjumpa dengan perempuan gunung. Lantas, terjadilah sebuah perubahan, dimulai dari memebedakan makanan dan identitas diri.
Cerita ini juga menegaskan bahwa kita tak boleh hidup ekslusif, hidup sendiri dan tak terbuka pada hal-hal baru. Tak boleh ada klaim orang asli “lebih tinggi” dari orang pendatang (anggapan seperti ini menurut saya lahir karena pengaruh politik dan kekuasaan masa lalu sampai sekarang).
Mereka yang datang selalu membawa sesuatu yang merubah pola pikir kita, mereka datang membawa sebuah ilmu; ada pembauran horizon pengetahuan. Mereka datang membawa sarung untuk kita yang tak punya sarung – ada simbol kemajuan untuk saling melengkapi.
Bota Ili dan Wata Rian adalah simbol yang menegaskan bahwa orang pesisir dan pedalaman tak boleh saling menegasikan, melainkan mesti ada kerja sama untuk sebuah perubahan yang lebih baik. Bahkan yang lebih sederhana, Bota Ili dan Wata Rian mengajak yang masih jomblo untuk segera mencari pasangan agar bisa melahirkan kehidupan baru. Namun, laki-laki harus belajar pada Wata Rian yang menjadikan perempuan mabuk bukan untuk melecehkannya.
Dengan demikian, kita tak boleh saling klaim, tak boleh ada anggapan bahwa orang di luar saya atau kita lebih rendah, sebab Bota dan Wata Rian mengajak kita untuk menerima setiap orang yang datang dengan identitas yang berbeda. Dengan perjumpaan, pasti ada perubahan.
Kritik Cerita
Walaupun ada pesan positif, setiap cerita diciptakan tak bebas nilai. Pasti selalu ada kepentingan di balik itu. Cerita ini cukup aneh karena menggambaran perempuan gunung sebagai orang yang miskin makanan – kadal, tokek, ular. Padahal faktanya justru makanan yang sehat segar dan kaya banyak yang kita jumpai justru ada di gunung.
Tapi cerita Bota dan Wata Rian memberi penjelasan yang tak masuk akal. Hal lainnya, sudah mulai ada dominasi laki-laki terhadap perempuan. Mengapa justru lak-laki yang digambarkan sebagai orang yang sudah maju, ada pakaian, dan membawa makanan yang baik untuk perempuan? Mengapa tidak sebaliknya, Bota yang harus membawa makanan bagi laki-laki Wata Rian? Padahal, faktanya makanan yang sehat justru lebih diketahui secara baik oleh sosok perempuan.
Cerita ini juga mau menegasan bahwa sudah mulai ada narasi persaingan. Seolah-olah yang lebih maju harus selalu datang dari Pantai dan dari luar pulau. Padahal, fakta sejarah selalu kontra dengan cerita bahwa sesuatu yang datang dari luar tak selamanya baik, apalagi berkaitan dengan politik dan kekuasaan. Kolonialisme, feodalisme juga seringkali mengiringi sebuah perubahan yang berawal dari luar dan memaksa orang lokal untuk tunduk.
Karena itu, kita patut secara kritis membaca setiap cerita sejarah, membaca setiap pesan kebudayaan, membaca ulang narasi-narasi besar yang berkembang dan dianggap sebagai yang paling benar. Mencurigai sesuatu termasuk tradisi yang dianggap “dogma’ adalah hal penting bagi kita untuk mencari pesan yang paling cocok dan relevan dengan konteks kekinian kita.
Post a Comment for "Bota Ili dan Wata Rian, Perjumpaan yang Mengubah Cara Pandang"
Komentar