Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Peni Muko Lolon, Putri Matahari, Inspirasi Belis dan Kesetaraan

 

Tanpa perempuan, kita tak mengenal kehidupan


 

RakatNtt - Berbeda dengan cerita Bota Ili, Peni Muko Lolon menampilkan struktur cerita tanpa dominasi narasi dari pihak laki-laki. Dalam cerita Peni Muko Lolon, perempuan disanjung sebagai putri yang turun dari langit; ia adalah putri matahari. Mari kita coba menemukan pesan-pesan penting di balik cerita Peni Muko Lolon dan Pulo Lamale’ang dalam tradisi lisan orang Kedang di Lembata.

Ada dua hal penting yang bisa kita temukan dalam cerita ini yakni kesetaraan laki-laki dan perempuan sekaligus penghargaan terhadap perempuan dalam budaya patriarki juga dari cerita ini, kita bisa menemukan inspirasi lahirnya belis.

Ceritanya

Dikisahkan bahwa matahari dan bulan bertengkar karena saling tuduh di antara keduanya. Bulan menuduh matahari sebagai suanggi juga sebaliknya. Keduanya memutuskan untuk menjatuhkan masing-masing anak mereka ke bumi sebagai petunjuk kebenaran. 

Bulan menjatuhkan anaknya dan langsung membentur pada bebatuan sehingga anaknya mati dan berubah wujud menjadi tokek, kadal, ular dll. Sedangkan matahari menjatuhkan putri tunggalnya dan jatuh tepat di atas daun pisang–sehingga dikenal sebagai Peni Muko Lolon.

Kebenaran pun terbukti bulan adalah suanggi, maka ia menguasai malam dan matahari adalah orang baik, maka ia menguasai siang. Di bumi, Peni Muko Lolon diterima oleh seorang laki-laki bernama Ila Wai Tuan (ada versi Bernama Ina Wai Tuan). Ia harus membentangkan kapas putih pada sebuah piring agar Peni bisa turun melalui piring tersebut. Sebab ia takut pada bulu badan Ila Wai tuan yang kasar dan tajam.

Cerita berlanjut, seorang pemuda Bernama Pulo Lamale’ang mencuri anak angkat dari Ila Wai Tuan yakni Peni ML dan dibawa ke rumahnya. Ila Wai Tuan marah dan menuntut ganti rugi, sehingga Pulo Lamale’ang mengganti dua butir telur ayam yang kemudian menetas menjadi dua orang manusia. Peni dan Pulo Lamale’ang hidup bersama dan Peni pun hamil. 

Suatu ketika Pulo dan kawan-kawannnya pergi berburu. Ini adalah strategi yang dibuat oleh Pulo dan kawannya untuk mencari tahu asal usul Peni ML. Sebab ketika ditanya, Peni tidak pernah menjawab jujur asal usulnya.

Saat mereka berburu, Pulo menyuruh kawannya untuk memandikan darah hewan buruan pada badan Pulo seolah-olah ia dicabik-cabik babi hutan sampai tewas. Mereka pun membawa pulang tubuh Pulo yang telah mati palsu. 

Peni pun meratapi kematian suaminya dan saat menangis, ia sambil mengatakan secara jujur bahwa ia berasal dari eleng saka lia atau kerajaan langit. Air mata dan ingus yang keluar dari tubuh Peni selalu berubah menjadi emas.

Saat ia mengatakan secara jujur asalnya, Pulo Lamale’ang pun bangun dari kematian palsunya dan tertawa. Peni merasa sakit hati karena ditipu dan ia pun menyusun sebuah strategi untuk pulang ke langit. Pulo meratapi kehilangan istrinya dan mengurung diri selama 7 tahun di dalam rumah. 

Tujuh tahun kemudian, datanglah seorang anak kecil di kampung Pulo Lamaleng dan bermain dengan anak-anak yang lain. Ia sangat mahir. Orang penasaran dan mereka meminta Pulo Lamaleng dan warga kampung untuk melacak anak itu. Ternyata ia adalah anak dari Peni Muko Lolon dan Pulo Lamal’enng yang bernama Ulun Pulo.

Pulo Lamale’ang pun menghadap om atau saudari dari Peni Muko Lolon. Pada saat itu dua saudari Pulo Lamale’ang yaitu Dito’ dan Dato’ pun turut serta bersama Pulo Lamale’ang dan rombongan untuk menghadap keluarga anak tersebut. Ternyata yang mereka temukan di tempat itu adalah Peni Muko Lolon bersama saudaranya yaitu Lia Loyo. Pada saat itu pula terjadi rekonsiliasi antara Peni ML bersama suaminya yaitu Pulo Lamale’ang.

Sebelum Lia Loyo kembali ke langit ia berpesan kepada Peni ML dan suaminya agar membangun hidup berkeluarga yang baik. Tiba-tiba saja Dito’ dan Dato’ mengalami pendarahan dan meninggal dunia secara mendadak. Pulo Lamale’ang meratapi peristiwa ini dan ia menyadari bahwa dua saudarinya itu telah menjadi selir bagi Lia Loyo.

Inspirasi Belis dan Kesetaraan

Kedang yang dikenal berbudaya patriarki, justru memproduksi sebuah cerita yang sangat menjunjung tinggi perempuan melalui Peni ML yang turun dari langit. Ia adalah pemberian terbaik dari Wujud Tertinggi (matahari) kepada laki-laki melalui sosok Pulo Lamale’ang. Perempuan harus diperlakukan istimewa dan penuh kasih yang dapat kita temukan melalui simbol kapas putih pada piring. Lak-laki berbulu badan kasar dan tajam membuat perempuan tak nyaman.

Turunnya perempuan ke bumi telah mengubah hidup seorang laki-laki hingga pada hidup berumah tangga. Namun, konflik dalam rumah pun terjadi diawali dengan kelakukan laki-laki yang suka menipu Perempuan. Namun, dalam cerita ini, permpuan justru tak pasrah pada keadaan. Ia juga melakukan hal yang sama dan harus pulang ke rumahnya. 

Perempuan bisa menjadi sosok yang melawan pada sebuah sistem yang tidak adil baik dalam budaya maupun sosial politik dan dunia kerja. Seringkali, perempuan hanya sebagai pelengkap kuota Pileg. Mereka hanya diperalat untuk menopang kuda-kuda kekuasan laki-laki. Namun, barangkali perempuan tak menyadari ketidakdilan sistem tetapi justru menikmatinya. Hal ini berbeda dengan Peni Muko Lolon. Ia melawan ketidakadilan.

Laki-laki yang mengurung diri dan menyesali perbuatannya adalah contoh yang baik. Laki-laki tak boleh merasa dirinya superior dan tak mau kalah walaupun telah melahirkan ketidakadilan. Laki-laki justru tak berdaya tanpa perempuan. Konflik-konflik baik dalam rumah maupun dalam dunia sosial selalu ada jembatan yang mendamaikan. 

Lahirlah Ulun Pulo sebagai anak sekaligus jembatan rekonsiliasi antara perempuan dan laki-laki. Konflik dalam rumah sebenarnya bisa diselesaikan dan peran anak juga sangat vital. Singkatnya konflik selalu lahir dari ketidak adilan dan untuk menghancurkan ketidakadilan kita atau perempuan tak boleh diam, harus omong dan lawan untuk melahirkan dunia baru yang lebih adil.

Kehadiran sosok anak sebagai jembatan harus mempersatukan bukan membela salah satu pihak. Orang ketiga dalam kehidupan kita harus mendamaikan bukan merusak.

Inspirasi Belis

Setelah Pulo Lamale’ang menyesali perbuatannya dan berdamai dengan istri dan keluarganya, maka 2 saudarnya mengalami pendarahan hebat. Ini adalah konsekusensi dari setiap tindakan kita. Kearifan lokal selalu menekankan konsekuensi. Apa yang kita buat, selalu mendatangkan sesuatu atau apa yang kita minta juga adaah apa yang kita beri: saling membutuhkan atau melengkapi. 

Ditoq dan Datoq sebagai selir dari Lia Loyo merupakan simbol dari mahar atau belis itu sendiri. Bahwa belis walaupun berbentuk gading maupun gong namun nilainya melebihi itu. Laki-laki meminang seorang perempuan sekaligus memberikan belis, ibarat menyerahkan saudari kandung kepada pihak laki-laki. Belis adalah simbol timbal-balik, simbol hubungan kekeluargaan, ikatan tali yang menyatukan, bukan hanya dua sosok melainkan dua keluarga sekaligus. Maka jangan lihat belis dari aspek ekonomis semata, melainkan dari nilainya.

Kadangkala aturan belis secara kearifan lokal dipolitisasi dengan kepentingan diri. Orang mengukur perempuan dari tingkat pendidikannya. Yang sarjana harus gading, yang tidak sarjana cukup gong saja. Ini adalah cara pikir yang tidak adil terhadap perempuan. 

Mereka yang sarjana maupun tidak adalah perempuan yang mesti dihargai, entah dengan gong maupun gading. Namun, hindari cara pandang kapitalistik. Belum tentu yang sarjana menjadi istri panutan.

Maka mari belajar pada sosok ino Peni ML, aturan belis sesuai adat Kedang mesti dilihat kembali, misalnya seminar Meluwiting, apakah ada kesepakatan untuk tetap konsisten pada kesepakatan tersebut, atau cara pandang ekonomi telah menghilangkan kesepakatan adat tentang belis bagi Perempuan Kedang.

 

 

Post a Comment for "Peni Muko Lolon, Putri Matahari, Inspirasi Belis dan Kesetaraan"