Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Struktur Kepemimpinan dalam Budaya Kedang yang Masih Bertahan

 

 

Rian Meker A'e Ame mengatur adat kematian

RakatNtt - Struktur kepemmpin di Kedang, Kabupaten Lembata sesungguhnya sudah ada sejak sebuah suku atau kempung kecil mulai dibentuk. Para moyang orang Kedang saat masih berada di gunung Uyelewun bersepakat untuk berpisah mencari tempat hunian masing-masing yang aman. Masing-masing mereka membawa batu sakral yang disebut Lapa’ Koda, maka kita sering mendengar istilah tedu’ koda bare wade’. Lapa’ sendiri berasal dari kata lapa atau memangku sebuah simbol sakral yakni batu sebagai fondasi yang di atasnya akan dibangun rumah sebagai tempat tinggal manusia.

Ketika masing-masing leluhur tersebut mendapat sebuah tempat aman dan strategis, maka lahirlah kampung kecil yang kemudian bercabang-cabang lagi disebut sebagai suku-suku hingga sekarang. Sesungguhnya struktur kepemimpinan asli Kedang lahir dari proses ini yakni ketika sebuah kampung dilahirkan dan dihuni oleh keturunan moyang tersebut.

Struktur kepemimpinan Kedang asli tidak dibentuk atas nama tujuan politik dan kekuasaan. Tidak! Kedang mengajarkan budaya kesetaraan dan hal ini nampak dalam istilah Rian Meker A’e Ame atau struktur kesulungan. Selain sebutan tersebut, ada juga sebutan lain misalnya mukur meker lubi lalung; sulung sang “pejantan.”

Struktur kesulungan ini lahir secara natural karena mendapat mandat dari wula loyo leu awu’ (Wujud Tertinggi) dan para leluhur. Dengan demikian tugas kesulungan ini sangat sakral bukan untuk kepentingan diri, bukan berorientasi politik dan kuasa. Sebab seperti namanya, rian meker a’e ame berarti seorang pemimpin yang bukan hadir untuk memerintah dalam arti politis melainkan pemimpin yang dalam dirinya ada karakter kebapak-an (ame) dan kakak sulung (a’e meker). Dengan demikian, sebagi bapak dan kakak sulung, seorang rian atau pemimpin dimandatkan untuk mengatur kehidupan anggota sukunya yang adalah satu darah.

Struktur kesulungan tidak dibentuk melalui demokrasi atau konferensi meja bundar yang hanya bisa hidup dalam periode tertentu. Rian meker a’e ame lahir secara natural dalam struktur kesulungan dan berlaku hingga kini. Untuk lebih detail saya coba jelaskan satu  per satu.

Pertama, Rian berarti “besar” dalam konteks ini pemimpin. Ia adalah turunan sulung atau yang dituakan dan punya kharisma dalam mengatur keharmonisan suku agar tak terjadi kompetisi untuk pecah belah, ia mengatur tentang adat perkawinan, menyelesaikan konflik internal dan seterusnya. Ia tidak omong tentang kompetisi politik atau keuasaan.

Kedua, Meker berarti sulung atau yang paling tua. Dalam budaya kedang, kakak sulung sangat dihormati karena memiliki kharisma khusus misalnya wowo pana hunga lati atau sebagai seorang pembicara yang disegani karena kewibaan dan kebjaksanaan. Kakak sulung mengatur anggotanya (adik-adiknya) secara adil tanpa mementingkan dirinya. Ia hadir sebai pelayan bukan penguasa.

Ketiga, A’e berarti kakak. Seorang kakak selalu memiliki tanggung jawab besar untuk mengatur lalu lintas kehidupan adik-adiknya. Kakak juga yang paling dekat dengan orangtua sehingga memiliki tanggung jawab untuk menggantikan orangtua dalam mengurus adik-adiknya. Oleh karena itu, seorang kakak dalam budaya Kedang memiliki peran penting dan ia sangat dihormati. Misalnya, saat makan bersama, seorang kakak (a’e rian: kakak besar) selalu ditunggu kehadirannya sehingga acara makan bersama keluarga bisa berjalan lancar.

Keempat, Ame berarti bapak. Bapak atau ayah memiliki tanggung jawab untuk menjaga, mengatur dan menjadi tulang punggung pertama dalam keluarga. Karena itu, ame dalam konteks tulisan ini merujuk pada peran seorang kepala suku yang memiliki peran untuk menjaga suku, memimpin suku juga tugas-tugas adat lainnya yang selalu dipercayakan kepadanya. Seorang ame juga diakui sebagai seorang pembicara yang meratifikasi sebuah keputusan atau bading wala atau juga marang wala.

Dari empat pengertian di atas, seorang ria meker a’e ame sejatinya adalah kepala suku yang memiliki multi peran yakni sebagai pemimpin, sebagai sulung, sebagai kakak dan sebagai bapa yang baik. Kepala suku biasanya disematkan kepada anggota suku yang berstatus sebagai anak sulung (paling tua) atau memiliki garis keturunan dari moyang sulung (ame meker).

Salah satu tugas pokok rian meker a’e ame yakni bele binen pae naren: mengurus kawin-mawin anggota suku sekaligus belisnya. Bele binen: melepas pergi anak perempuan untuk mengikuti suaminya; pae naren yakni mengurus acara adat perkawinan anak laki-laki suku yang akan meminang istri dari suku lain.

Rian meker a’e ame, dalam konteks bele binen pae naren akan bertugas sebagai pembicara utama ketika ada acara uang bele atau bicara belis antara pihak keluarga laki-laki dan perempuan. Ia menjadi pembicara karena diakui memiliki kekuatan berkata-kata yakni wowo pana hunga lati.

Saat kegiatan uang bele atau bicara belis, rian meker a’e ame duduk di tempat terhormat yakni lipu mutung bara’ mapa’. Selain itu, ia juga akan disuguhi siri pinang pertama, disusul anggota suku atau tamu undangan (aya’ hue’ beri’) yang turut hadir. Pada kesempatan ini, biasanya Rian Meker a'e ame diberi kesempatan untuk lebih dahulu bicara dan akan berbicara lagi pada kesempatan terakhir untuk mensahkan kesepakan bersama.

Dari beberapa peran di atas, rian meker a’e ame dalam budaya Kedang di Kabupaten Lembata sangat dihormati. Ia bukan hanya mengurus proses kawin-mawin melainkan masih banyak tugas lainnya, salah satunya menjadi penengah jika ada konflik dalam suku. Ia akan berbicara dengan bahasa yang sopan untuk mendamaikan anggota suku yang bersengketa. Biasanya, anggota suku langsung mendengarkan sabda sakral dari rian meker a’e ame dan menuruti arahannya.

Rian meker a’e ame dihormati karena diakui memiliki kharisma yang diberikan oleh leluhur sendiri. Ia memiliki aura pemimpin (rang) yang bijaksana. Biasanya rian meker a’e ame juga dibekali dengan talu beru (bentuknya seperti kelereng), sebuah benda yang hadir secara misterius. A’e ame juga diuji kesetiaannya misalnya melalui puting weru (pantang makan jagung muda dan beberapa jenis pangan lokal lainnya dalam periode tertentu).

Menjaga Keseimbangan bukan Absolut
Peran sebagai rian meker a'e ame punya makna filosofis. Tugasnya menjadi sakral karena itu, ia sendiri bukan hadir sebagai sumber konflik tetapi ia menjaga agar tak ada konflik dalam suku maupun dengan suku-suku yang lain dalam kampung. Kehadiran mukur meker ini juga untuk menjaga keseimbangan bukan absolut atau mutlak. Masing-masing suku punya pemimpin, tak ada absolut dan tunggal agar apa? Ya, agar ada keseimbangan dalam menata sistem yang berlaku dalam kehidupan sosial. Itulah sesungguhnya Edang asli, Edang Wela yang sakral dan masih bertahan. Ia tidak hilang ditelan sejarah dan dinamika politik. Ia bertanggungjawab demi nama baik dan harga diri.

Rian meker tak butuh ijazah, ia butuh kesetiaan, ketenangan, kebaikan, kejujuran dan hal-hal baik lainnya.

 

Post a Comment for "Struktur Kepemimpinan dalam Budaya Kedang yang Masih Bertahan"