Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Tua-tua Kedang Nasihat Bupati Tuaq bukan Primordialisme Sempit!

 

Antonius Rian, penyuka budaya lokal

 

RakatNtt - Suluhnusa menampilkan sebuah berita yang secara garis besar menginformasikan bahwa tua-tua Kedang akan menasihati Bupati Lembata, Kanis Tuaq. Upaya yang diinisiasi oleh Alwi Murin dkk ini kemudian ditanggapi oleh Ketua PAN Lembata, Lorens Keraf sebagaimana diberitakan melalui katawarga 30 Juni 2025. Lorens Keraf menilai bahwa upaya Alwi Murin dkk merupakan bentuk primordialisme yang mestinya dihilangkan di Lembata. Ia juga menegaskan Kanis Tuaq adalah Bupati Lembata bukan Bupati untuk orang Kedang saja. Lebih tajam lagi, ia menilai upaya dari Alwi Murin dkk sedang memperlihatkan semangat ekslusif yang bisa merusak hubungan sosial dan Pemerintahan inklusif di Lembata.

Tepat di sinilah, logika terbalik begitu diperlihatkan oleh politisi partai berlambang matahari tersebut. Bagaimana mungkin ia mengatakan Pemerintahan Kanis Tuaq inklusif tetapi menilai upaya dari Alwi Murin sebagai semangat ekslusif? Pemerintahan yang inklusif mengandaikan, Kanis Tuaq sebagai Bupati menerima semua suara kritis yang datang dari berbagai sudut. Jika upaya Alwi Murin dkk dengan mengatasnamakan diri tua-tua Kedang dilihat merusak inklusivitas Pemerintahan di Lembata, maka Lorens Keraf justru menegaskan bahwa Bupati Lembata yang diusung partai PAN sedang menjalankan pemerintahan yang ekslusif dan angkuh.

Bukan Primordialisme Sempit

Sebelum mengatakan upaya Alwi Murin dkk membawa nama suku Kedang sebagai semangat primordialisme, saya menyarankan agar Lorens Keraf sebagai politisi yang berwawasan luas membaca ulang definisi dari primordialisme secara kritis agar publik tidak disesatkan oleh narasinya yang menyesatkan. Primordialisme harus dibaca secara kritis sesuai dengan konteks persoalan. Akan menjadi sempit jika primordialisme dijadikan sebagai strategi untuk keuntungan suku atau etnis sendiri - misalnya untuk dapat jabatan dan proyek.

Namun, perlu diketahui bahwa primordialisme juga merupakan semangat positif jika dihubungkan dengan konteks yang sedang terjadi. Justru karena semangat satu darah atau satu suku, maka Alwi Murin dkk menimbang perlu untuk menasihati Bupati Tuaq dalam nuansa kekeluargaan sebagaimana yang diamanakan dalam budaya Kedang. Akan menjadi primordialisme sempit jika budaya Kedang hanya dimanfaatkan untuk mendapatkan dukungan suara menjelang Pilkada, lalu setelahnya nilai-nilai budaya Kedang digeser dan dianggap primordial dalam sistim politik Lembata saat ini.

Dengan demikian, pernyataan Lorens Keraf cacat logika dan justru sedang menegaskan diri sebagai politisi yang minim pemahaman budaya lokal Lembata dan berpotensi mengkudeta suara-suara kritis masyarakat Lembata.

Sebagai warga Lembata, saya menilai sangat positif upaya dari Alwi Murin dkk sebagai sebuah jalan baru untuk menegaskan kepada para politisi khususnya Bupati Lembata bahwa pendekatan budaya lokal tak boleh hanya dimanfaatkan menjelang Pilkada. Nilai-nilai budaya lokal Kedang misalnya saling menasihati (a tutu’ tin tehe’), duduk omong bersama (bongan we’) merupakan modal positif yang mestinya dilihat sebagai bagian dari menjaga Pemerintahan Kanis Tuaq agar tidak terombang-ambing dan dikritik terus karena surat-menyurat sebagai yang paling sederhana saja dipertanyakan!

Bongan we’ atau duduk omong menggunakan kepala dan hati secara seimbang sebagaimana arti harafiah bongan berarti leher - jembatan kepala dan hati.

Menggunakan pendekatan kebudayaan adalah bagian dari suara kritis yang mestinya dihormati oleh para politisi kita. Nilai-nilai budaya harus menjadi spirit dalam membangun Lembata bukan dipolitisasi untuk kepentingan sesaat. Tak dimungkiri, kemenangan Kanis-Nasir di Kedang juga tak terlepas dari pendekatan kebudayaan. Lantas, apakah pendekatan kebudayaan ini berhenti setelah Tuaq dilantik?

Jika demikian, hapus saja Dinas Kebudayaan di Lembata sebab budaya kita hanya dijadikan untuk festival dan bersenang-senang. Kita nyaris melupakan substansi dari kebudayaan kita sebagai spritit berpemerintahan.

Hal ini juga pernah saya kritik dalam sebuah tulisan saya di Pos Kupang dengan jududl” Pengetahuan Lokal Masuk Sekolah. Nilai-nilai budaya lokal Kedang dan Lamaholot sulit kita temukan dalam buku-buku mata pelajaran di sekolah. Padahal yang paling penting adalah memelajari budaya kita secara serius sembari mempelajari budaya orang lain, misalnya Jawa dan Bali.

Oleh karena itu, sudah saatnya, Pemerintahan di Lembata, para politisi yang hebat-hebat, Dinas Kebudayaan dan Pendidikan mesti melihat budaya lokal sampai ke akarnya. Budaya lokal punya nilai sebagai spirit untuk membangun hidup bersama termasuk saling menasihati. Dalam konteks tua-tua Kedang yang berencana menasihati Bupati Tuaq karena alasan tertentu, mesti dilihat sebagai sebuah semangat baru bahwa budaya tak boleh terpisah dari politik. Mereka datang membawa suara kritis; mengapa Lorens Keraf menegasikan suara kritis tua-tua Kedang? Ironis sekali!

Justru kehadiran budaya sebagai sistem yang membentuk tingkah laku bisa dihadirkan sebagai spirit dalam memimpin Lembata. Budaya mengajarkan kita untuk saling mendengarkan, kesetaraan, pemimpin (mukur meker/sulung) tak boleh menang sendiri. Akan menjadi ironis jika pendekatan budaya atau kesukuan dengan tujuan positif dinarasikan sebagai upaya merusak Pemerintahan yang inklusif.

Sebagai orang Lembata, kita dilahirkan sebagai orang beridentitas, termasuk sebagai orang Kedang, orang Ileape dll. Identitas kita selalu membentuk karakter kita. Karena itu, identitas kebudayaan tak boleh dimanfaatkan untuk memenangkan momen tetapi dibawa sebagai spirit. Tua-tua Kedang membawa jalan baru bukan dengan demonstrasi dan bakar ban melainkan dengan budaya duduk omong, saling menasihati dalam balutan budaya sebagai tata-ari’, ame-ana’ dan seterusnya.

Karena itu, narasi lorens Keraf adalah cara pandang sempit dan primordialisme sempit yang berpotensi mengkudeta suara kritis dan menaikan bendera keangkuhan Pemerintahan Kanis-Nasir. Ero’ eeee Amo!


Post a Comment for "Tua-tua Kedang Nasihat Bupati Tuaq bukan Primordialisme Sempit!"