Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Menerjemahkan Ulayat dalam Kearifan Lokal Kedang, Sumber Konflik dan Solusi

 



RakatNtt - Walaupun berumur belia, saya cukup “rajin” mendalami konflik tanah yang menimpah masyarakat Kedang di Lembata. Konflik-konflik semacam ini ada yang diselesaikan secara arif namun ada yang menempuh jalur ekstrim yakni sumpah makan tanah (pahi awu’) yang berakibat pada jatuhnya banyak korban – saya pernah melihat dan mengalami hal demikian. Beragam konflik tanah di Kedang hingga saat ini menuntut respons banyak pihak baik pemerintah, maupun masyarakat adat Kedang untuk menyamakan cara pandang tentang ulayat dalam versi kearifan lokal Kedang.

Belajar pada Desa saya di Mahal dan juga Mahal 2, kami pernah terlibat dalam konflik klaim ulayat sebagai akibat dari “tidak jaga mulut atau salah omong” yang mungkin diisukan dengan narasi liar di luar Desa Mahal. Saya akan coba menguraikan konflik tanah baik di Mahal maupun di Kedang secara umum dengan bertolak pada persamaan persepsi tentang ulayat dalam konteks kearifan lokal Kedang dan pemaknaannya; sebab-sebab konflik dan bagaimana menyelesaikan persoalan ini.

Apa itu Ulayat Kedang

Kalau kita membaca definisi ulayat yang dibuat oleh negara, rasanya cukup sulit kita temukan di Kedang. Sebab negara menjelaskan ulayat berarti hamparan tanah yang dikelola secara bersama oleh satu komunitas masyarakat. Jika kembali ke Kedang, kita tentu bertanya, komunitas apa yang dimaksudkan; apakah suku, warga kampung atau orang Kedang secara keseluruhan? Sebab mengikui lurus-lurus definisi ulayat tersebut, maka yang paling cocok untuk konteks Kedang, ulayat hanya ada di kampung lama (leu Tuan) milik suku-suku karena digarap secara bersama. Namun, ulayat Kedang tentu tidak mudah didefinisikan apalagi mengikuti cara pandang negara.

Sebagai bangsa yang kaya akan etnis dan budaya, tentu setiap daerah punya kearifan lokal tersendiri tentang tanah. Maka, dalam kaitan dengan konflik tanah ulayat di Kedang, mestinya, kita menghubungkan definisi negara dengan konteks kearifan lokal Kedang sebagaimana dipahami selama ini. Namun, ingat bahwa pemegang ulayat bukan penguasa mutlak. Kadang konflik terjadi karena pemegang ulayat tak tahu pada tugasnya. Saya akan jelaskan di bawah ini.

Duli Wala atau Uhe Wala?

Tulisan dari Eman Ubuq dalam blognya cukup membuka wawasan saya tentang perbedaan uhe ara dan duli atau pali. Tentu sebagai orang Kedang kita mesti sepakat bahwa uhe ara berarti lapisan yang paling dalam dan menjadi milik semua orang Kedang yang sering disebut dengan bahasa sakral Kipa kire’ wahin sara mole elu’ ha’i longo’ dst. Saya pernah bertanya pada beberapa orang dan jawaban mereka sama bahwa istilah itu merujuk pada uhe yang paling dasar atau dalam dan milik semua orang Kedang. Lantas apakah uhe ara ini sama dengan ulayat?

Berikutnya adalah duli yang menurut Eman Ubuq sebagaimana penelusurannya menjelaskan bahwa duli berarti penguasaan hamparan tanah yang diperoleh atau didapat berdasarkan sejarah migrasi atau dorong dope’ yang selama ini kita kenal dengan ruten uhe.

Namun, bahasa sakral kita hampir tidak menerjemahkan dengan ruten duli melainkan ruten uhe repe’ ara, ruten lolo’ repe’ pu’en dan tunu tua’ ain bote manu’ muho. Artinya, ulayat dalam versi Kedang sendiri masih problematis dalam kaitan dengan istilah sedangkan fungsi pemegang ulayat sudah jelas dari dulu sampai sekarang yakni menjalankan tugas-tugas adatnya – tapi saya dengar ada pemegang ulayat tertentu yang suka palang-palang orang punya kebun, ini jelas keliru.

Dari perbedaan istilah ini, maka kita akhirnya tahu bahwa selama ini orang Kedang mendefiniskan uhe di setiap kampung (uhe utu ara eho’) sebagai milik suku, padahal merujuk pada tulisan Eman Ubuq seharusnya yang dimaksudkan adalah Duli (pemiliknya Duli Wala). Kira-kira mana istilah yang benar? Tentu kita butuh duduk bersama untuk membahasnya dalam bingkai satu budaya. Sebab seringkali istilah sangat membingungkan dan menjadi penyebab konflik.

Entah Duli Wala atau Uhe Wala yang dikaitkan dengan pemegang ulayat tugasnya hanya 3 macam; ini tugas adat yakni ka wutu’ ale jika ada ritus besar berskala desa/kampung, bakoq awu’ atau tikam tanah jika ada kematian, dan letak batu pertama jika ada pembangunan rumah atau fasilitas umum di Desa. Hanya 3 tugas ini; jika anda menemukan ada pemegang ulayat yang secara sepihak jual tanah untuk tambang atau palang kebun orang, harus segera dilaporkan ke polisi!

Penyebab Konflik Ulayat

Entah menggunakan isilah Duli Wala atau Uhe Wala, peran suku yang diterjemahkan sebagai pemegang ulayat masih penting untuk urusan tanah. Saya ingat dulu tahun 2007/2008 saat rencana tambang di lokasi Wei Puhe dan sekitarnya, suku-suku yang punya sejarah ulayat di lokasi bersangkutan juga diundang untuk berdiri di depan memperjuangkan nasib semua orang Kedang. Perjuangan ini merupakan perjuangan kolektif masyarakat Kedang namun bukan berarti suku-suku yang juga berjuang atas nama tanah suku diabaikan begitu saja. Sebab satu nilai yang mesti kita catat pemegang ulayat yang tahu tugas saat berjuang menolak tambang; berjuang seperti orang “gila”, ia berdiri paling depan, pergi gugat Bupati Lembata padahal di atas lokasi tambang, suku bersangkutan tak punya KEBUN SEDIKITPUN. Artinya, pemegang ulayat berjuang untuk kehiduan semua orang terlebih mereka yang menggarap di atas ulayat suku tersebut.

Nah, sekarang coba kita lihat penyebab konflik ulayat. Tahun 2024, suku saya juga terlibat konflik dengan salah satu suku di Mahal 2 – walaupun pada akhirnya hampir semua suku justru “melawan” suku saya – kami selesaikan di BPN Lembata dan BPN tidak menerbitkan sertifikat di lokasi sengketa tersebut. Sumber konfliknya jusru lahir dari hal yang kecil tapi menyakitkan. Ada sedikit gesekan soal batas kebun namun bahasa yang dikeluarkan justru menyatakan suku saya tidak punya tanah! Justru inilah yang membuat tetua dalam suku saya menjadi “gila-kesetanan” dan sakit hati.

Dengan demikian, dengan ulah satu orang, tetua dari suku saya ini mau membuka mata publik di desa bersangkutan supaya bahasa-bahasa seperti itu tak boleh dikeluarkan dari mulut warga Desa – sebab seringkali orang yang minum mabuk seenaknya klaim sebagai pemegang ulayat tapi ketika ditanya tidak tahu jelaskan sejarah. Akibatnya, suku saya membatalkan semua sertifikat warga yang menggarap di atas ulayat yang kami perebutkan di Desa Mahal 2 dan BPN justru mendukung karena suku saya menjelaskan sejarahnya secara runut dan teratur dengan nama-nama uhe atau tuan uhe (tuan duli).

Masalah ini akhirnya gantung, ada desakan untuk diselesaikan dengan cara sumpah makan tanah tapi mayoritas warga menolak – mungkin masalah ini diceritakan di luar desa Mahal dengan narasi yang berbeda heheehe.

Ada juga konflik lain yakni pemegang ulayat tidak tahu tugas adat sebagaimana saya gambarkan di atas. Pemegang ulayat justru seenaknya mengganggu kebun orang (feodal) yang sudah menjadi hak miliknya. Jika ada pemegang ulayat model ini, sudah saya bilang laporkan ke polisi sebab ia tak tahu tugas utamanya. Konflik lain misalnya soal bako awuq dan letak batu pertama. Mungkin sebagian desa tak lagi menjalankan tugas ini bagi pemegang ulayat, terutama di kampung-kampung yang masih saling klaim ulayat. Masing-masing suku dengan bebas tikam tanah dengan risiko adat ditanggung sendiri dan seterusnya.

Bagaimana Solusinya?

Yang pertama, kita minta pemerintah dan semua pemangku adat dan tokoh pemuda Kedang untuk duduk bersama omong tentang kebenaran ulayat ini. Sebab jika dibiarkan suatu saat bom waktu bisa meledak dan menghancurkan Kedang. Kita samakan persepsi atau istilah Duli Wala atau Uhe Wala dan tugas-tugas adatnya. Jika tugas-tugas adat itu dianggap tak lagi penting, maka perlu dibicarakan dan disepakati bersama bukan atas dasar ego sepihak atau gengsi semata. Sebab bicara soal tanah itu soal harga diri suku, soal sejarah nenek moyang, soal perjuangan para leluhur suku yang harus dikenang. Apa salahnya mereka dikenang? Jika kita dengan sengaja menghilangkan tugas-ugas adat, maka jangan lagi menyebut diri masyarakat adat yang berkearifan lokal sebab kita sedang mengkhianati sejarah leluhur dan menhilngkan kekayaan budaya kita.

Kedua, suku-suku yang suka klaim sebagai pemilik ulayat di kampung juga harus bicara jujur dan mampu memberikan penjelasan yang mendasar misalnya nama sakral ulayat dan batas-batas serta sejarahnya bukan asal klaim dan membela diri dengan mengatakan leluhur tidak cerita kami – ini jelas logika terbalik; leluhur tidak cerita tapi kenapa anda klaim sebagai pemilik ulayat? Hal ini penting agar semua generasi muda Desa memahami sejarah tanah adat di kampungnya. Pemerintah Desa juga harus berpikir seperti ini bukan malah menggantungkan persoalan!

Ketiga, jaga mulut. Jika kita tak mengakui ulayat suku tertentu maka jaga mulut apalagi suka klaim diri dengan suara lantang sebagai pemilik ulayat. Sebab ulayat itu tidak mudah dibohongi karena punya nama dan batas jelas misalnya di Riangbao Mahal 2 sampai riang weheq Mahal 1 ulayat bernama PITO TAKEQ HERENG TAKEQ MOLE MANUQ MALE MANUQ. Nama sakral ini sering disebut saat molan membuka sebuah ritual sakral dan hanya suku pemilik ulayat yang tahu sejarah dan berani sumpah adat! Namun, satu hal yang arif, suku pemegang ulayat itu berkarakter pendiam; ia hadir sebagai fondasi kampung yang menjaga agar kampung tidak roboh. Maka, suku ini cenderung diam tidak sombong apalagi klaim diri saat mabuk. Suku pendiam bukan berarti ia bebas diganggu padahal ia tak salah!

Kita tak Boleh Diam

Persoalan ulayat bisa saja membuka peluang konflik kepada anak cucu. Maka kita tak boleh diam. Pemerintah Desa dan anak muda mesti berpikir netral dan mendesak agar konflik ulayat harus diselesaikan sampai selesai. Konflik yang digantung bisa melahirkan konflik baru. Kita bisa mengundang orangtua kita – dengan catatan jangan kasih mereka mabuk dulu baru berani omong – sebagai satu keluarga dan omong secara baik-baik hingga sampai pada kesepakatan bersama agar tuntas dan jelas. (Rian Odel)

Post a Comment for "Menerjemahkan Ulayat dalam Kearifan Lokal Kedang, Sumber Konflik dan Solusi"