Situs Lewoleba dan Jejak Awal Manusia Lembata Ribuan Tahun Lalu
![]() |
Puncak gunung Uyelewun |
RakatNtt - Tim Arkeologi Nasional melakukan penelitian terbaru tahun 2019
di beberapa lokasi yang ada di Lembata. Situs Lewoleba yang ada di pinggir
pantai – belakang Polres Lembata – menegaskan sebuah peradaban awal mula
manusia Lewoleba Lembata yang hidup sekitar 3000 tahun lalu. Namun, situs ini
terancam oleh abrasi; siapa bertanggungjawab? Di tempat ini ditemukan tembikar
dll. Tembikar merupakan ciri khas budaya nenek moyang penutur Austronesia yang
datang dari Cina Selatan 4 ribu tahun lalu dan bergerak menghuni wilayah timur
Nusantara 3 ribu tahun lalu.
Tim juga melakukan penelitian di beberapa tempat lain seperti lukisan
manusia kangkang di Desa Lamagute, tene kora di Dolulolong, Liang Laru (berumur 11 ribu tahun) dan
Liang Pu’en di Desa Hingalamamengi, Kedang dan beberapa tempat lainnya. Khusus
untuk di Liang Pu’en, tim menemukan pada dinding tebing ada gambar cadas
berbentuk pahatan. Gambar cadas tersebut memiliki 2 jenis motif yakni figuratif
yang terdiri atas gambar muka, perahu dan zoomorfik. Ada juga motif
non-figuratif. Berdasarkan penelitian, tim menemukan 515 gambar pada dinding
tebing Liang Pu’en. Ukiran pada tebing ini mirip dengan situs di Timor Leste yang berumur sekitar 10-12 ribu tahun.
Dari semua penemuan di Lembata, salah satu kesimpulan yakni manusia Lembata adalah produk budaya austronesia yang dibawa dari Cina Selatan 4 ribut tahun lalu – Lembata dapat dikatakan sebagai situs Neolitik Austronesia. Penutur austronesia, salah satu ciri khasnya yakni selalu menggunakan tembikar. Disimpulkan juga bahwa nenek moyang orang Lembata adalah masyarakat maritim sekaligus bercocok tanam.
Hal ini dibuktikan dengan penemuan banyaknya biota laut
di sekitar gua dan tanah yang subur. Tim juga menjelaskan bahwa masyarakat awal
mula di Lembata biasanya tinggal pada permukaan tanah yang kering dan datar,
serta pencahayaan matahari yang cukup. Dengan demikian, maka tempat tinggal
yang nyaman bagi mereka terdapat dalam gua-gua seperti di Liang Laru dan Liang
Pu’en.
Berbeda dengan Tradisi Tutur Orang Kedang
Penelitian tim arkeologi sangat berbeda dengan tradisi tutur masyarakat Kedang bahwa nenek moyang mereka seperti Uyolewun dan keturunanya bukan berasal dari luar Kedang. Walaupun demikian, setiap kisah tutur, apalagi yang berkaitan dengan asal usul manusia harus juga mendapat dukungan dari ilmu pengetahuan modern. Dikisahkan juga manusia awal mula orang Kedang tinggal di puncak gunung Uyelewun.
Jika merujuk pada penjelasan tim tentang gua-gua, maka kita coba melihat tentang puncak gunung Uyelewun; apakah disana ada gua-gua atau dinding tebing yang nyaman sebagai tempat tinggal di masa lampau sekitar 11 ribu tahun lalu? Gua-gua merupakan rumah awal mula manusia sebelum mereka mengenal rumah.
Dalam sebuah buku sumber, menjelaskan bahwa migrasi manusia ke
suatu tempat biasanya mereka akan cari tempat aman untuk tinggal, tempat yang
aman dari hujan, matahari dan angin yakni gua (liang). Kemudian, pada zaman tertentu,
mereka akan tinggal di tempat terbuka atau tanpa gua dengan cara mendirikan
rumah-rumah sederhana dari bahan alam di sekitar mereka.
Bagaimana dengan kisah tutur nenek moyang orang Kedang tentang Leu rian, leu eho’ di puncak Uyelewun dan ukiran pada dinding Liang Pu’en? Yang jelas gua adalah rumah yang paling tua bagi nenek moyang orang Kedang; setelah gua baru mereka mengenal rumah. Kita diwarikan tentang dorong dopeq atau migrasi dari gunung Uyelewun – bukan dari luar – tetapi justru penemuan di Liang Pu’en dan Liang Laru oleh Tim Arkeologi mengungkap fakta sebaliknya bahwa nenek moyang kita datang dari luar.
Hal lainnya, para ahli sudah menyimpulkan bahwa nenek moyang semua manusia di dunia (homo sapiens) berasal dari Afrika Timur dengan bukti-bukti yang kuat dan salah satunya lewat penelitian berbasis Genetika. Versi tutur lokal dan penelitian ilmu pengetahuan bukan untuk dibenturkan melainkan sebagai kekayaan dan saling melengkapi. Dalam tradisi tutur Kedang, ada juga penyebutan nama Cina dan Jawa dengan istilah: Sina pu’en Sawa Matan yang bisa diterjemahkan bahwa Cina dan Jawa sebagai awal mula, tempat asal.
Maka jika dicari pada sebutan lain, maknanya sama misalnya Epu pu'en bapa matan: epu atau om sebagai asal kita atau kita berasal dari om melalui ibu yang melahirkan kita. Sina pu’en Sawa Matan (dari barat)-Serang Gorang (dari Timur). Namun, mayoritas orang Kedang diwariskan bahwa asal usul moyangnya dari gunung Uyelewun. Kita bisa melihat kembali bekas-bekas peradaban di gunung Uyelewun, misalnya tempat tinggal; apakah ada gua-gua atau tempat terbuka?
Jika tempat
terbuka, maka nenek moyang pada saat di puncak gunung sudah mengenal rumah atau
bisa membuat rumah. Silahkan kita lacak juga melalui silsilah kita sehingga
kita bisa meraba perkiraan tahun awal moyang kita tinggal di gunung. Bagaimana
dengan ukiran di Liang pu’en?
Mengikuti kajian ilmu pengetahuan, maka gua adalah tempat tinggal paling purba sedangkan rumah baru ada belakangan saat manusia bisa membentuk budayanya sendiri. Pertanyaan kita: apakah moyang kita bermula dari Liang Pu’en kemudian berpindah ke puncak gunung untuk membuka peradaban baru, menciptakan budaya, membuat rumah, membut musik edang, tatong, peku dan ketika keturunan semakin banyak, mereka kemudian bersepakat untuk bermigrasi (dorong dope’) dengan masing-masingnya membawa lapa’ koda (batu sakral) sebagai bukti bahwa mereka satu darah berasal dari gunung Uyelewun?
Proses dorong dope’ kemudian melahirkan
suku-leu atau yang kita kenal Leu Tuan Tene Maya’ dan seterusnya masuk pada
terbentuknya persatuan 44 kampung dengan terpilihnya Rian Leu yang mewakili kepentingan
politik rian bara’ Sarabiti Musa awal tahun 1900-an serta yang terakir
terbentuknya Desa-desa pascakemerdekaan RI. Mari kita gali terus!
Dalam konteks Lembata, gelombang migrasi yang paling baru terjadi sekitar
awal 1500-an dari pulau Lepan dan Batan sehingga orang-orang ini masih bisa
mengingat asal usul mereka, misalnya dari Serang Gorang. Sedangkan beberapa
wilayah di Lembata, seperti Kedang sudah lebih dulu ada, sebagaimana penelitian
arkeologis, maka sudah ada 3 ribu sampai 4 ribu tahun lalu. Sedangkan di
wilayah Flores timur, ditemukan juga tembikar di wilayah Tanjung Bunga dengan
umur 2000 lebih tahun lalu.
Lebih luas lagi, dalam buku Diaspora Melanesia di Nusantara, secara garis besar menjelaskan bahwa Indonesia dihuni oleh dua ras besar yakni Australomelanesid atau yang sekarang dikenal sebagai Melanesia yakni penduduk pedalaman Papua. Melanesia disebut sebagai Nenek Moyang Tertua yang sudah menghuni Nusantara sekitar 50 ribu sampai 70 ribu tahun lalu. Asal usul Manusia modern (homo Sapiens) berasal dari Afrika Timur dan mulai migrasi ke berbagai belahan dunia termasuk Indonesia sekitar 100 ribu lebih tahun lalu.
Kemudian pada 4 ribu tahun lalu, datang lagi Ras Monggoloid dari wilayah Cina Selatan, Vietnam, Taiwan– yang juga sebelumnya datang dari Afrika Timur – dan menghuni wilayah barat Nusantara. Ras Monggoloid ini berbahasa Austronesia termasuk NTT. Dalam buku tersebut dijelaskan juga bahwa wilayah Maluku dan NTT adalah zona kontak-tempat perjumpaan atau penduduknya merupakan hasil kawin silang antara Melanesia (Timur) dan Monggoloid (Barat).
Pada saat ras Monggoloid ini meluaskan pengaruh atau bermigrasi ke Nusantara timur sampai ke Pasifik, terjadilah kontak dengan Melanesia (penduduk tertua) dan melahirkan orang maluku dan NTT termasuk beberapa wilayah pesisir di Papua Barat.
Salah satu bukti lain, selain arkeologis,
bahwa Melanesia Papua juga Aborogin, lebih tua di Nusantara yakni cara mengolah
Sagu. Dari berbagai macam perkawinan silang ini, beberapa ahli menyimpulkan di
Indonesia sesungguhnya tak ada lagi ras murni. (Antonius Rian-Mata Lokal Ntt,
dari berbagai sumber)
Post a Comment for "Situs Lewoleba dan Jejak Awal Manusia Lembata Ribuan Tahun Lalu "
Komentar