Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Lomba Titi Jagung di Lembata dan Narasi Manipulatif

 

Antonius Rian


 

RakatNtt - Bangun tidur pagi ini tak seperti biasanya. Pagi ini saya dikejutkan dengan informasi yang beredar di Medsos bahwa akan ada lomba titi jagung antar-OPD dalam memeringati HUT Otda Lembata yang ke 26. Salah satu alasannya yakni untuk menumbuhkan rasa cinta ASN terhadap kearifan lokal. Tentu kita memulai dengan sebuah pertanyaan; apakah lomba ini merupakan strategi menumbuhkan rasa cinta terhadap kearifan lokal atau justru sebuah penghinaan?

Ironisnya lomba ini malah dilakukan oleh ASN yang saban hari bekerja di kantor. Lantas di mana mama-mama yang setiap hari menjaga dan merawat jagung titi di dapur? Di mana mama-mama yang saban hari menunggu pembeli di lorong masuk pasar TPI? Apakah lebih layak Pemda mengundang mereka untuk berdiskusi bersama atau mengikuti kegiatan ini sambil memberdayakan mereka, mendengarkan harapan mereka? 

Mengapa mesti ASN yang ditonjolkan pada momen ini? Artinya, lomba ini adalah bagian dari hanya mencari viral, sebuah sensasi tanpa substansi yang dalam. Dengan demikian, lomba ini adalah bentuk dari penghinaan terhadap kearifan lokal. Ini bukan apresiasi melainkan apropriasi budaya.

Hal lainnya, ketika Pemda mempromosikan dan mengajak masyarakat mencintai pangan lokal tetapi justru yang dilakukan adalah membagi-bagikan bibit jagung hibrida yang sangat jelas mengancam keselamatan jagung lokal Lembata. Dengan demikian, korelasinya dengan lomba titi jagung pun menjadi bermasalah. Barangkali yang dilakukan Pemda adalah lomba titi jagung hibrida? Ada semacam inkonsitensi yang sedang dilakukan oleh Pemda. Ada rasa tidak percaya diri dalam tubuh Pemda.

Mencintai kearifan lokal tidak dimulai dengan mengikuti lomba untuk cari viral. Strateginya mesti dilakukan secara sistematis dan tepat sasar. Bukan pada ASN lomba ini ditujukan, melainkan pada mama-mama penjual jagung titi. Mereka mestinya mendapat tempat paling depan pada momen ini.

Diskusi, mendengarkan harapan mereka, ada strategi inovatif yang ditawarkan bersama, pasar yang berdaya guna untuk mereka bukan memanipulasi mereka. Maka seharusnya yang dilakukan adalah pada momen bersejarah ini para ASN diarahkan atau dituntut untuk membeli jagung titi milik mama-mama di pasar TPI. Dengan melakukan hal demikian, maka akan ada dampak dan rasa cinta itu lahir bukan sekadar dari rasa melainkan ekspresi nyata. Hal demikianlah yang mestinya dilakukan oleh Pemda kita bukan sebaliknya melakukan sesuatu yang hanya viral sesaat. 

Sudah pasti bahwa para ASN yang mengikuti lomba ini hanya mengisi momen, mereka bukan pelaku utama ynag menjaga dan merawat jagung titi. Lalu, buat apa Pemda mengadakan lomba ini untuk ASN? Apakah mau menghina kearifan lokal kita? Level ASN tentu berbeda. Mereka adalah para pekerja kantoran, maka yang harus mereka lakukan adalah meningkatkan kualitas sesuai bidangnya. Misalnya para ASN dituntut pada momen ini bisa menghasilkan sesuatu, katakanlah mereka mengikuti lomba menulis tentang kearifan lokal tau mendorong ASN untuk menulis tentang bahaya jagung hibrida terhadap jagung lokal Lembata bukan memaksa mereka titi jagung, ahhhh!

Hanya Cari Viral

Sejak lama, kebiasaan kita di Lembata adalah suka cari viral. Setelah viral lalu hilang. Coba anda lihat banyak tempat wisata kita viral dimana-mana lalu akan hilang dengan sendirinya. Kita semacam memiliki karakter inkonsistensi, kita tidak menyiapkan sesuatu secara matang agar bisa bertahan dan berdampak jangka panjang. Anda bisa lihat festival yang dilakukan setiap tahun dalam tubuh Pemda. Ada festival budaya, literasi – bahkan ada bunda literasi yang tidak pernah menulis buku – dan masih banyak lagi. Semua ini adalah bentuk dari cari viral.

Tentu tidak salah tetapi yang harus kita tanyakan adalah; apa substansinya? Strategi sistematisnya seperti apa? Ketika kita sibuk mengadakan festival budaya sesungguhnya yang kita promosikan hanyalah menari-menari, joget-goget, pokoknya yang hanya untuk rame-rame. Kita tidak pernah berpikir bahwa kekayaan Lembata yang ada di setiap sudut mesti masuk ke sekolah-sekolah. Anak-anak kita mesti belajar tentang Lembata, tentang budaya mereka sendiri, makna ritus, Obyek Pemajuan Kebudayaan – termasuk jagung titi – mulai di sekolah, selain di rumah – ada semacam Mapel kearifan lokal Lembata. Hal-hal inilah yang menyentuh substansi. Namun apalah daya kita lebih suka cari yang viral walaupun kualitas nol keboak!

Okelah jika hanya mengisi memen HUT Otda maka narasinya mesti diatur sebaik mungkin, jangan berlebihan. Sebab lomba titi jagung tidak cocok dinarasikan sebagai upaya mencintai kearifan lokal. Ini narasi hoax. Apa ukuran yang dipakai bahwa dengan lomba titi jagung ASN akan mencintai kearifan lokal? Sama saja ketika Bupati ajak masyarakat makan pangan lokal tetapi setiap hari Bupati keliling Lembata membagi-bagikan jagung hibrida untuk mengancam jagung lokal. Mengapa Pemda tidak membagi-bagikan jagung lokal kepada petani? Ada apa sebenarnya?

Menutup tulisan ini, supaya adil selain lomba titi jagung, para ASN juga mestinya ikut lomba minum tuak atau lomba pukul gong gendang supaya Lembata menjadi semakin viral sampai ke jantung Eropa.

Post a Comment for "Lomba Titi Jagung di Lembata dan Narasi Manipulatif"