Kampung Lewolein sebagai Rumah Kita Semua
|  | 
| Pantai Lewolein di Desa Dikesare Lembata (AI) | 
RakatNtt - Tulisan ini tidak membahas
tentang konflik ulayat terbaru. Sebab ulayat itu sangat fundamental, yang suka
berbohong atau provokasi dengan teori-teori baru nanti juga akan dapat
konsekuensinya. Saya hanya mau mengungkapkan kekaguman saya tentang kampung
Lewolein atau dalam bahasa Edang disebut Leu lein – kampung terakhir atau
kampung di ujung.
Saya mengagumi Lewolein bukan saja
soal tempat wisata dan ketupat Lewolein yang dijual oleh mama-mama dan
gadis-gadis cantik di kampung ini, melainkan dari aspek asal usul penduduk dan
pembauran budaya mereka. Dari sedikit pengetahuan yang saya peroleh dari
beragam sumber, orang-orang Lewolein adalah heterogen, datang dari berbagai
wilayah berbeda. Kurang lebih ada tiga wilayah sebagai tempat asal usul yakni
dari Munaseli di pulau Pantar, dari Ileape dan Kedang. 
Khusus untuk dari Kedang, selain moyang Ubu Roto dari Leuwohung yang pindah ke Lewolein pada masa Rian Baraq atau masa Demong paji (politik adu domba Belanda) juga ada versi lokal dari suku Orolaleng di Desa Mahal, Omesuri bahwa salah satu moyang mereka yakni Lelang Laba (Ihe’ eha’ wae Lelang) juga berpindah ke Lewolein. Kalau saya menelusuri dari silsilah, maka orang Orolaleng yang bermigrasi ke Lewolein sekitar tahun 1300-an. Namun, apakah keturunannya masih ada? Jika masih ada tolong beri informasi di kolom komentar.
Dari 3 wilayah asal usul ini, maka bisa kita katakan Lewolein adalah rumah bersama dari 3 budaya berbeda yakni Ileape, Kedang dan Munaseli. Saat mereka berbaur menjadi satu, di situ pula lahirlah tatanan baru yang kita sebut sebagai budaya. Bahkan, dari data Pandu Budaya Lembata, diinformasikan bahwa bahasa daerah asli Lewolein disebut bahasa Kekar – penuturnya katanya sudah hampir hilang; apa faktornya? Munculnya bahasa Kekar karena orang-orang yang berbaur di kampung ini datang membawa bahasa berbeda sehingga mereka kemudian menciptakan bahasa mereka sendiri yang disebut Kekar.
Dalam catatan Barnes – ia mengutip Gomang – ia menduga nama Lewolein ini diambil dari nama Lewolein di Munaseli. Di Munaseli memang ada dua kampung yakni kampung Helangdohi disebut sebagai kampung kepala dan Munaseli di pesisir disebut sebagai Lewolein. Sedangkan dalam sumber yang saya dapat di Medsos bahwa penyebutan nama Lewolein berkaitan dengan perjuangan dua pahlawan Kedang yakni Ubu Roto dan Teti Lama. Keduanya ditugaskan oleh Rian Baraq untuk menjaga keamanan di wilayah paling barat Kedang. Teti Lama sebagai Kakak dan Ubu Roto sebagai adik – Teti Lama di Atenila dan Ubu Roto di Lewolein.
Merujuk pada cerita ini, maka Lewolein bisa juga dikaitkan dengan nama Ubu Roto sebagai adik (Lewolein) dan Teti Lama sebagai Kakak (Leu Tubar) – ini hasil analisis saya saja. Namun, yang pasti hanya orang Lewolein yang tahu cikal bakal nama kampung ini.
Pada masa politik Rian Baraq
atau Kapitan, Lewolein juga secara otomatis masuk dalam kekuasaan Rian Baraq
Sarabiti Musa di Kalikur Kedang. Artinya, kita perlu telusuri lagi eksistensi
Lewolein sebelum masa politik Rian Baraq. Kalau membaca catatan Barnes, ia
menjelaskan bahwa orang Munaseli yang bermigrasi dari Pantar (karena perang?),
pergi mencari saudaranya di wilayah Solor Watan Lema karena sebelumnya sudah
ada bela baja atau sayin bayan Alor Pantar dan Flotim Lembata yang disebut
sayin bayan Dola Wutun Pao Wutun.
Namun, orang Munaseli ini tidak mendapat tempat di wilayah Solor Watan Lema sehingga mereka mengembara lagi dan menetap di Lewolein. Rian Baraq menerima mereka untuk masuk ke wilayah Kedang demgan alasan bahwa Lewolein bisa menjadi tempat singgah atau bermalam dari Lewoleba ke Kedang dan sebaliknya.
Dari beragam kisah-kisah ini,
Lewolein berdiri dengan sebuah kisah perjalanan yang panjang. Di tanah ini,
kita semua bisa bertemu. Kita tidak hanya makan ketupat tetapi menikmati alamnya
yang indah. Kita duduk sejenak sambil ngopi santai dan bahas Politik dan
program Nelayan Tani Ternak-nya Bupati Tuaq sambil juga minum satu botol tuak
koli, sambil pula disuguhkan kepada kita ikan bakar oleh nona-nona Lewolein
yang murah senyum dan mungkin banyak yang masih jomblo hehe.
Post a Comment for "Kampung Lewolein sebagai Rumah Kita Semua"
Komentar