Kepala Desa yang Malas
![]() |
Ilustrasi (AI) |
RakatNtt - Salah satu kriteria memilih Kepala Desa adalah sifat pribadi sebagai orang yang rajin. Ia rajin membantu warga dalam menyelesaikan persoalan, rajin bertanya, rajin membangun diskusi dan rajin yang lain. Kepala Desa bukan saja diukur dari elektabilitasnya. Ia mesti diukur dari kemampuan lain. Ini sekurang-kurangnya menjadi harapan saya.
Lawan kata dari rajin adalah malas. Mungkin saja ada Kepala Desa yang malas, terlebih malas mengurus atau menyelesaikan masalah yang menimpah warga. alkisah, di sebuah Desa, ada seorang warga yang mengalami masalah dengan sekelompok warga dari Desa sebelah. Salah satu warga tadi katakanlah si A. Sebagai warga yang miskin pengetahuan tentang Desa dan urusan-urusan di dalamnya, si A tadi bukan melaporkan masalahnya kepada Kepala Desa melainkan kepada saya.
Suatu pagi, si A bersama istri datang ke rumah saya membawa dengan seekor ayam jantan berwarna merah. Kebetulan saya masih menjadi seorang wartawan pemula. Ia menceritakan kronologi masalah yang ia alami. Saya membantunya dengan menulis semua keluhan si A, dan mengkonfirmasi kepada sekelompok warga lain dari Desa tetangga untuk mendapat keseimbangan informasi.
Bukan hanya itu, saya pun menginformasikan masalah ini kepada Kepala Desa dari si A tadi. Masalahnya amat sensitif karena berkaitan dengan lahan dan ada dugaan ancaman fisik yang dialami oleh si A. Namun, Kepala Desa malah menjawab saya dengan enteng bahwa si A tidak jelas statusnya sebagai warga karena “hilang-muncul” dan tinggal sendiri di pelosok Desa. Sebuah alasan yang tidak layak diungkapkan Kades. Saya menemukan ada keangkuhan cara berpikir dan berbicara.
Saya sebenarnya membayangkan, ketika saya menginformasikan masalah ini, Kades bersama perangkat terkait bisa merendah untuk mencari tahu persoalan ini secara akurat agar tidak terjadi peristiwa yang lebih tragis, apalagi ini soal tanah dan kebun. Mendengar alasan instan itu, saya akhirnya berjuang sendiri membantu si A yang sebenarnya masih satu marga dengan Kades. Seharusnya, dari aspek satu rumah marga , Kades mestinya lebih proaktif. Namun, faktanya berbeda.
Setelah saya menulis berita, diduga bahwa di dalam kelompok warga yang diduga melakukan pengancaman, diduga pula ada seorang anggota polisi. Nah, sebagai wartawan pemula saya takut juga menulis ini. Namun, untuk sebuah kebaikan saya berani! Hasilnya, setelah berita itu viral, pimpinan polisi mengirim pesan WA kepada saya dengan isinya mengucapkan terimakasih karena saya menginformasikan sesuatu yang tidak mereka ketahui. Anggota polisi yang diduga terlibat dipanggil dan mungkin “dinasihati” dan seterusnya.
Suatu malam saya mendapat pesan WA dari nomor baru yang memperkenalkan dirinya sebagai pengacara. Ia menyampaikan bahwa saya harus mengklarifikasi berita dan tunggu surat panggilan. Saya menjawab, saya wartawan, kenapa saya yang diminta klarifikasi? Namun, saya coba menjawab di luar profesi. Saya minta pengacara itu untuk bertemu dan berdiskusi tentang berita yang saya tulis, jangan sedikit-sedikit lapor! Bukan soal diskusi, bila perlu berdebat tentang kata sarkas dalam berita itu. Namun, sampai hari ini, nomor sang pengacara tidak pernah membalas saya lagi dan tak ada surat panggilan, heheh.
Sebulan kemudian, saya mengunjungi si A. Saya dijamu makan enak. Setelahnya si A bilang masalah sudah aman. Orang-orang tidak ganggu dia lagi dan dia sudah kembali berkebun dengan aman. Si A adalah keluarga dekat Kades yang tak dibantu Kades.
Saya Dikhianati
Beberapa tahun kemudian ada masalah kecil yang melibatkan saya dan keluarga besar si A. Bukannya diselesaikaan secara kekeluargaan, saya malah dikeroyok dengan narasi tak masuk akal. Lebih sakit lagi, si A yang saya bantu dipengaruhi untuk tidak mengakui saya. Si A malah tak menegur saya lagi sampai hari ini padahal saya memanggilnya saat berpapasan.
Masalah terbaru ini pun gantung sampai sekarang. Kepala Desa sebagai pucuk pimpinan dan aparatnya membiarkan masalah ini awet dan relasi sosial pun retak. Masalah yang dibiarkan dan tidak diselesaikan adalah beban bagi generasi penerus. Ini membuktikan Kepala Desa pemalas.
Terimkasih sudah membaca tapi
maaf ini hanyalah cerita fiktif belaka, hehe.
Post a Comment for "Kepala Desa yang Malas"
Komentar