Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Kepercayaan terhadap Kekuatan Leluhur Lembata bukan Berhala

 

Memberi sesaji kepada Leluhur dalam budya Kedang Lembata, NTT


RakatNtt - Untuk memahamai judul ini, sederhana saja, sudah ribuan tahun tradisi kepercayaan lokal diwariskan dari generasi tertentu kepada generasi tertentu dan kepercayaan lokal masih bertahan bahkan berdiri kokoh. Dalam cerita penyebaran agama Katolik di NTT misalnya, tak jarang para pastor dari Eropa menyuruh orang NTT untuk membakar rumah-rumah adat dan batu-batu sesaji yang dianggap sebagai penyembahan berhala dan sia-sia belaka. Namun, apa yang terjadi? Setelah para pastor pergi, rumah-rumah adat dibangun kembali dan kepercayaan lokal pun dikibarkan lagi.

Bukan hanya itu, pada abad yang sudah maju ilmu pengetahuan moderen ini, kepercayaan terhadap leluhur tak luntur malah kian subur dipraktikkan. Bukan hanya oleh masyarakat adat yang hidup di kampung-kampung, kita juga menemukan banyak tulisan serius dan mendalam dalam rupa buku-buku yang membahas tentang kepercayan lokal. Sebut saja salah satunya, Dr. Alex Jebadu dengan bukunya: Bukan Berhala. Kajian-kajian terhadap kepercayaan lokal justru semakin diminati dalam dunia pendidikan humaniora. Lalu, mengapa sebagian dari kita suka mengolok-olok dan mengatakan itu adalah sia-sia?

Orang-orang dengan kesalahan berpikir model ini tak perlu dihormati secara serius karena referensi yang mereka gunakan adalah tunggal. Paling-paling ajaran agama. Lantas kita bertanya, agama besar dunia mana yang paling benar? Sebab faktanya di dunia ini banyak sekali agama yang saling mengklaim sebagai yang paling. Jadi, apakah hadirnya banyak agama ini dilihat sebagai kekayaan atau masalah? Jika masalah, siapa yang layak disalahkan? Ya, mungkin saja ada kabel koslet dalam otak kita. 

Beragam agama baik yang bersifat universal maupun lokalistik mesti diterima sebagai kekayaan dunia. Harari bahkan menegaskan, toleransi sejati itu lahir dari konsep kepercayaan politeisme yang bersifat lokalistik bukan monoteisme yang bersifat universal – saya sepakat!

Kepercayan lokal kita misalnya, sangat menjunjung tinggi toleransi. Orang membuat sebuah ritus tanpa membandingkan dengan kepercayaan orang lain. Masing-masing menjalankan secara diam dan tenang tanpa saling mengklaim. Bahkan saya pernah bilang, kalau mau belajar toleransi sejati itu lihat pada keteladanan masyaraka adat di kampung bukan saja pada tokoh-tokoh besar agama. Nah, dari penjelasan awal ini, kita diajak untuk melihat salah satu kepercayaan lokal orang Lembata yakni percaya pada keberadaan dan kekuatan leluhur.

Maten-Bitan

Orang timur termasuk NTT berpegang pada prinsip keseimbangan; selalu ada dua yang menyatu. Ada Wula-Loyo, Maten-Bitan. Di’en-Daen, ine-ame, Laen-Moleng dst. Beberapa ungkapan dalam bahasa Kedang ini menekankan prinsip keseimbangan atau harmoni. Kita ambil contoh maten-bitan yang diterjemahkan menjadi mati-hidup. Ketika ada orang mati, kita akan menyebut dengan ungkapan maten bitan. Padahal seharusnya kita sebut saja mate (mate/mati). Namun, itu belum lengkap sehingga sering kita sebut maten bitan atau mate bita.

Mati dan hidup menegaskan ada sebuah kehidupan lagi setelah kita mati. Ketika orang mengklaim bahwa ajaran keselamatan kekal hanya ada dalam agama besar dunia, maka klaim itu sangat amburadul. Sebab kepercayaan lokal justru sangat menegaskan kehidupan setelah mati. Hal ini terbukti hingga kini, kita masih mengenal kekuatan leluhur bahkan dirayakan dalam ritus yang sakral.

Orang Kedang di Lembata misalnya ketika membuat ritus sudah pasti harus mengundang kehadiran leluhur selain Wujud Tertinggi dan kekuatan alam semesta. Dengan mengundng leluhur untuk memberi restu menegaskan ada kehidupan setelah mati. Para leluhur masih hidup walaupun raganya tak mampu kita jangkau.

Bukan hanya itu, seperti foto ini, orang Kedang masih mempraktikkan memberi sesaji kepada leluhurnya agar menjaga dan merestu sebuah hajatan besar di kampung.

Hal yang berbeda – mungkin saya keliru – orang Kedang dalam ritusnya tidak pernah mendoakan leluhurnya. Bisa jadi ada kepercayaan bahwa orang yang sudah meninggal otomatis mesuk dalam kehidupan kekal. Namun, ada kecualinya. Leluhur juga bisa didoakan jika semasa hidup ia melakukan kejahatan besar yang dampaknya dirasakan hingga anak cucu, misalnya membunuh orang tanpa salah.

Perbuatan ini punya dampak negatif, maka mesti dilakukan ritus pembersihan dosa leluhur atau bele bara wei’ nanan agar leluhur diselamatakan dan dampak negatif kepada anak cucu bisa dibersihkan. Leluhur yang berdosa ini tidak hanya didoakan di gereja; ia mesti didoakan juga melalui ritus yang sakral – artinya gereja dan ritus adat saling melengkapi.

Penjelasan singkat ini mau menyadarkan kita bahwa kepercayaan lokal maupun universal hadir dengan ajaran-ajaran yang kaya. Kita patut mengambil keputusan bijak tanpa merendahkan atau meremehkan satu sama lain. Salah satu jalannya yakni belajar dan mendalami kepercayan lokal. Tak bisa kita pungkiri, agama yang berarti tidak kacau justru seringkali tampil dengan fakta yang berbeda. Namun, ingat, kepercayan lokal di nusantara baik dalam konsep maupun praktik selalu diam, tenang dan teduh. Itu berarti, kepercayaan lokal bukan sesuatu yang sia-sia; ia membawa terang bukan perang.

Oleh karena itu, setiap kepercayaan apapun bentuknya, selama tidak mengganggu keharmonisan bersama patut dihormati bukan dijelek-jelekkan dengan konsep-konsep palsu misalnya sembah berhala.

Post a Comment for "Kepercayaan terhadap Kekuatan Leluhur Lembata bukan Berhala"