Kita Semua Pengembara: Lawan Narasi Asli dan Pendatang di Lembata
|  | 
| Ilustrasi Nenek moyang pengembara | 
RakatNtt - Mungkin kita tidak pernah sadar dengan dua sebutan yang kadangkala menjadi biang perpecahan yakni orang asli dan orang pendatang. Dua sebutan ini diklaim untuk menggambarkan antara status sebagai orang asli di sebuah tempat dengan orang yang asal usulnya dari tempat lain dan baru datang bergabung dengan yang disebut pertama tadi. Walaupun kita tidak menyadari dampaknya, tetapi penyebutan terhadap dua istilah ini bisa melahirkan dikotomi atas kesatuan masyarakat adat di sebuah wilayah.
Di Lembata misalnya, dua istilah ini akan terdengar ketika orang omong tentang ulayat dan politik. Padahal, kalau kita belajar secara serius sejarah lokal Lembata, nenek moyang kita tidak pernah mewariskan dua istilah ini. Menurut saya, dua istilah ini lahir belakangan tatkala orang Lembata sudah mulai cerewet omong politik. Artinya, istilah asli dan pendatang adalah buatan para politisi untuk kepentingan pribadi dan partai politik.
Contohnya jelas; suku yang paling terdiskriminasi dari dua istilah ini adalah suku Tionghoa. Padahal, Barnes menulis bahwa nenek moyang orang Tionghoa ke Lembata khususnya di Kalikur sudah sekitar tahun 1910 – sebab kalikur dulunya adalah pusat perdagangan, punya pasar dan Pelabuhan. Sedangkan dalam buku Asal Usul Lewo yang ditulis oleh beberapa penulis hebat di Flotim, ada kampung yang sebagian penduduknya punya nenek moyang dari China yang datang bahkan sudah ribuan tahun lalu untuk berdagang dan menetap.
Di Lembata pun sama, selain orang Tionghoa, kita juga mengenal orang Lembata yang nenek moyangnya melakukan migrasi atau eksodus dari berbagai wilayah misalnya Maluku, Lepan Batan, Munaseli, Pandai, Sikka, puncak gunung Uyelewun (dorong dope’) dan sebagainya. Artinya kita semua adalah pengembara. Narasi orang asli dan orang pendatang adalah strategi politik untuk kepentingan kaum berdasi.
Saya ingat lagi, Masyarakat adat di sebuah kampung melawan penguasa karena pembangunan yang dirancang bersifat eksploitatif dan berpotensi untuk menguntungkan bisnis pribadi. Nilai-nilai lokalitas dianggap tidak berguna. Perlawanan masyarakat adat ini kemudian dipolitisasi dengan istilah orang pendatang. Beberapa orang disuruh menulis tanpa metodologi fenomenologis; asal tulis demi kemauan sang penguasa. Namun, syukur masyarakat adat menang.
Sedangkan menjelang Pemilu, kandidat yang punya darah Tionghoa
selalu ditampar dengan isu pendatang. Lantas, bagaimana dengan suku-suku yang
nenek moyangnya datang dari Lepan Batan, Maluku dan seterusnya termasuk yang
mengembara dari puncak gunung seperti mayoritas kami di Kedang? Bukankah kita
semua adalah pengembara? 
Terima atau tidak para ahli yang melakukan penelitian sains
mengatakan nenek moyang kita (homo sapiens) berasal dari Afrika – teori out of
Africa – lahir dari evolusi kera, saudara kita adalah simpanse. Bukan hanya
homo sapiens (nenek moyang kita), ada juga homo lainnya, termasuk homo
floresiensis yang sudah punah. Jenis-jenis manusia lain punah, salah satu
penyebabnya karena bersaing dengan homo sapiens atau nenek moyang manusia –
bahkan melalui perang atau baku bunuh (Harari, 2017) – baca juga buku Diaspora
Melanesia di Nusantara.
Artinya apa? Sebutan orang asli dan pendatang itu punya muatan politik. Kita tidak punya tradisi itu. Dalam konsep lokal Kedang dan Lamaholot, orang-orang yang lahir atau keluar dari mulut gunung menyebut saudaranya yang baru datang dengan istilah Tene mua’ manu’ sama-Sina pu’en sawa matan yang bisa diterjemahkan sebagai para pelaut yang terdampar datang dari wilayah timur dan orang yang datang dari China dan Jawa.
Mereka yang baru datang ini diterima secara terhormat melalui prosesi adat – sayin bayan, bela baja dan seterusnya kemudian berbaur menjadi satu – mungkin tidak ada etnis di Indonesia yang lahir dari satu sumber genealogis – kita selalu beranekaragam latar belakang. Bahkan Leo Kleden dalam suatu kesempatan mengatakan Indonesia memiliki 8 arah mata angin yang berarti Indonesia ini campuran dari berbagai wilayah.
Dengan demikian, istilah yang paling baik untuk kita di Lembata Adalah kaum pengembara. Sebab mau atau tidak, kita punya cerita perjalanan yang berbeda tetapi telah bersatu membentuk tatanan baru, melahirkan etnis yang sering kita sebut sebagai orang Kedang dan Lamaholot. Bahkan menurut saya orang Tionghoa tidak layak disebut lagi sebagai orang Tionghoa sebab sudah ratusan tahun hidup bersama dan tidak pulang ke China. Mereka Adalah orang Lamaholot atau Kedang bukan China. Namun, untuk memertahankan kekayaan kita, maka boleh saja tetap menggunakan Tionghoa seperti yang kita kenal selama ini.
Orang pendatang mungkin lebih layak disematkan pada identitas para perantau yang datang lalu pulang ke tempat asalnya bukan menetap dan beranak pinak ratusan tahun. Kaum pendatang ini lebih banyak datang karena tuntutan ekonomi. Status sebagai pendatang disadari oleh mereka sebagai identitas yang melekat. Artinya, mereka tidak melupakan tanah asal, mereka datang dan pulang jika ada libur. Maka kita kenal ada istilah diaspora.
Dengan demikian, orang Tionghoa tidak layak disebut sebagai kaum pendatang. Sebab mereka tidak pulang ke China. Bahwa benar nenek moyang mereka bermigrasi dari China itu sebuah fakta. Sama halnya dengan suku Kedang dan Lamaholot. Yang di dalamnya ada yang disebut suku yang lahir dari gunung ada yang datang dari timur dan barat. Ini versi Sejarah tutur tapi kalau sains punya versi lain.
Penelitian arkeologis pada situs Lewoleba diperkirakan berumur 2999 tahun atau 3 ribu tahun lalu. Sedangkan situs Liang Laru di Kedang diperkirakan berumur 11 ribu tahun dan Liang Pu’en di Kedang diperkirakan bentuknya sama dengan situs di Timor Leste yang berumur 10-12 ribu tahun. Walaupun demikian, kisah perjalanan orang Kedang tidak dimulai dari gua tapi dimulai dari puncak gunung Uyelewun – padahal manusia zaman dulu yang belum mengenal rumah, menetap di gua atau tebing-tebing yang terhindar dari dingin, hujan dan panas matahari. Mereka tidak bertahan di puncak gunung, lalu mengapa peradaban awal mula orang Kedang harus dimulai dari puncak gunung?
Apakah dua situs di Kedang mau mengatakan bahwa orang yang tinggal 11 ribu tahun lalu bukan nenek moyang Kedang melainkan mereka yang hanya singgah lalu pergi? Untuk menemukan jawaban, tidak semata bersandar pada tradisi tutur, dunia sudah maju, kita butuh tambahan data dari ilmu pengetahuan untuk melengkapi.
Lawan Politik Pecah-Belah
Dari tulisan singkat ini, sepakat atau tidak, istilah orang asli dan pendatang sarat dengan muatan politik sesaat. Kita akhirnya tidak mengukur orang dari SDM dan kemampuan lainnya tapi dari asal-usulnya. Namun, lagi-lagi kenapa hanya orang Tionghoa yang jadi sasaran? Kita mesti berpikir kritis terhadap suatu hal yang tidak kita sadari dampak buruknya. Menggali Sejarah lokal bukan hanya untuk mencatat melainkan juga menganalisisnya dan menghubungkan dengan referensi lain. Semua kisah tutur tidak untuk dibenturkan tetapi sebagai kekayaan.
Orang yang nenek moyangnya lebih dulu datang tidak akan mampu mencatat perubahan besar, ia butuh orang baru yang datang kemudian. Ketika persatuan terjadi, mereka bersepakat melahirkan tatanan yang kini kita kenal dengan sebutan budaya. Masing-masing marga punya tugas untuk dijalankan. Namun, kehadiran kekuasaan politik bisa merubah sebuah tatanan. Bahkan teori-teori baru dari bangku sekolah yang diharapkan sebagai penerang bisa saja disalahgunakan oleh kaum muda di kampung-kampung.
Di Kedang misalnya, untuk mengetahui suku mana yang datang
dan menetap lebih dulu bisa langsung diketahui melalui nama tanah adat di
kampung atau tuan uhe-tuan duli. Di situ kita bisa tahu suku mana
yang lebih dulu datang. Gampang saja! Jadi silahkan cek nama tuan uhe
atau tuan duli di masing-masing kampung kita supaya jangan bertengkar
lagi hahahaha.
Post a Comment for "Kita Semua Pengembara: Lawan Narasi Asli dan Pendatang di Lembata "
Komentar