Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Konflik Keluarga dalam Suku, Anak-anak Tanggung Beban

 


RakatNtt- Kita sering menemukan konflik sosial dalam kehidupan bersama di kampung. Konflik ini hadir dengan bentuk yang beragam; ada konflik antar-suku, ada juga konflik internal dalam suku. Yang lebih disayangkan adalah konflik kakak adik kandung. Coba kita lihat di sekitar kita, sering kita temukan para orangtua kita yang lahir dalam satu rumah besar suku tidak bersatu.

Mereka jalan pisah-pisah ketika ada hajatan di kampung. Mereka tidak baku tegur karena pernah baku marah. Konflik keluarga ini sering dipicu harta warisan berupa benda pusaka seperti mahar maupun tanah. Saya pernah melihat konflik model ini bahkan mengarah ke konflik fisik. Dua saudara kandung hampir baku potong karena harta warisan - mereka pernah didamaikan oleh orangtua saya tapi setelah itu konflik lagi hingga kini.

Konflik keluarga seperti itu bukan saja karena harta benda tapi karena ada ego dalam diri masing-masing. Tidak ada rasa rendah hati dan saling mengakui kesalahan. Tidak ada refleksi mendalam untuk melihat kembali konflik dan menemukan solusi. Egosentrisme manusia membuat masing-masing tak mau kalah. Hasilnya adalah, orang bisa tak baku tegur bertahun-tahun padahal satu suku bahkan kakak adik kandung.

Pertanyaan kita, kenapa konflik semacam ini selalu awet dalam kehidupan bersama kita? Harta benda menguasai manusia padahal seharusnya manusialah yang menguasai harta benda dalam konteks ini manusia mengatur ulang pembagian warisan secara adil. Melalui konsep adil ini, konflik keluarga seharusnya berhenti, tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Konflik kebun misalnya, bisa dicarikan jalan keluar misalnya bagi dua kebun itu bukan pertahankan ego masing-masing, lalu membiarkan konflik itu terus hidup.

Beban Anak-anak

Orangtua kita yang terus hidup dalam kuasa konflik membuat anak-anak menanggung beban masa depan. Anak-anak tidak bebas berelasi satu sama lain. Mereka kehilangan ruang untuk berbicara bersama merancang masa depan sukunya menjadi lebih baik. Mungkin mereka boleh bebas baku tegur saat main kartu bersama teman lainnya, tetapi tidak ada suasana mesra dalam keluarga suku.

Sebab orangtua mereka masih larut dalam ego, mementingkan diri sendiri tanpa berpikir masa depan suku dan anak-anaknya. Kita seringkali hidup dalam dilema ini. Anak-anak ingin sukunya bersatu tapi orangtua kita pertahankan ego masing-masing hanya karena konflik kebun maupun harta warisan lainnya.

Di tengah zaman ini, kita tetap membutuhkan kebersamaan dalam suku masing-masing. Kita butuh kehangatan. Kita bangga ketika orangtua kita bersatu, jalan sama-sama saat ada pesta adat, makan sama-sama di rumah kepala suku dst. Harapan seperti ini harus juga menjadi harapan para orangtua kita yang seharusnya menjadi panutan.

Orangtua kita yang sedang berkonflik, mesti sadar bahwa gara-gara egoisnya mereka, anak-anak menjadi retak relasi, menjadi malu tegur badan, tidak ada runag harmonis dalam suku. Anak-anak kehilangan cita-cita besar untuk persatuan sukunya.

Hanya dengan menghilangkan ego dan menaikan rasa rendah hati, jalan damai bisa terbuka dan harapan untuk saling merangkul bisa terjamin.

Post a Comment for "Konflik Keluarga dalam Suku, Anak-anak Tanggung Beban "