Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Mengapa Kita Sebut Binen-Nare, Ino-Amo bukan Sebaliknya?

 

Ilustrasi AI

 

RakatNtt- Dalam budaya patriarkat di daerah kita seringkali ada pemahaman bahwa laki-laki mendapat tempat lebih terhormat dan nama laki-laki sangat terpandang. Kalau kita lihat contohnya, hampir pasti pemahaman itu bisa saja keliru. Laki-laki tidak menjadi terdepan dan perempuan tidak menjadi orang yang terbelakang atau tidak berguna.

Cara pandang keliru ini mungkin lebih tepat lahir dari partai politik bukan dalam budaya patriarkat. Struktur sosial dalam budaya kita sudah menempatkan laki-laki dan perempuan setara dan adil dalam menjalankan tugas-tugasnya. Lantas, apa dasarnya kita mengatakan laki-laki lebih terpandang?

Mungkin dasarnya bukan pada nilai-nilai budaya melainkan pada karakter pribadi kita. Budaya tidak mengajarkan begitu tetapi kita yang buat begitu. Bahkan sering orang kaitkan omong adat yang didominasi laki-laki sebagai sebuah ketidakadilan. Padahal pemahaman itu keliru. Memang budaya mewariskan bahwa tugas laki-laki sebagai pembicara dan perempuan penjaga tungku api agar tetap menyala. Masing-masing punya peran untuk saling melengkapi bukan menegasikan.

Namun, sadar atau tidak kita sering lupa pada sebuah kebiasaan lain yang jelas-jelas menomorduakan perempuan atau saudari kita. Padahal sebutan ino-amo, binen-nare menempatkan kata perempuan di depan. Namun faktanya, dalam kasus tertentu perempuan menjadi nomor dua. Misalnya, ketika saudari kita jatuh pada sebuah kesalahan; ia hamil tanpa tanggung jawab dari suami sah. Banyak dari kita sebagai nare atau saudara menganggap itu sebagai masalah yang mencoreng nama baik keluarga, nama baik saudara, kewibawaan laki-aki.

Kita kemudian “menampar” saudari kita. Menganggap mereka sebagai pembawa sial misalnya. Laki-laki atau saudara menanggung malu; katakanlah begitu. Namun, coba anda lihat ketika saudara atau kita dari pihak laki-laki melakukan hal yang sama justru saudari kita tidak persoalkan. Mereka mungkin hanya diam dan segan menegur kita - walaupun ada saudari yang berani marah dan tegur. Namun, banyak dari mereka diam.

Dari dua hal ini, kita bisa katakan bahwa kelompok laki-laki cenderung menjadikan dirinya superlatif-paling-dalam hal-hal tertentu. Dan hal ini kemudian dilihat sebagai kewibawaan laki-laki.

Post a Comment for "Mengapa Kita Sebut Binen-Nare, Ino-Amo bukan Sebaliknya?"