Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Nuba Nara-Lapa’ Koda: Batu dalam Kepercayaan Lamaholot dan Kedang

 

Ritus poan koda atau pting lapa' koda

RakatNtt - Mengapa harus ada batu sebelum memulai sebuah peradaban suku atau Lewo/Leu (kampung) dalam kepercayaan orang Lamaholot dan Kedang? Nuba Nara ketika ditancapkan pada tanah, maka sebuah kisah baru akan dimulai, kampung akan dibuka dan manusia yang menghuni kampung percaya bahwa dari simbol batu sakral itu, kehidupan mereka akan terus berjalan - teman-teman yang lebih paham makna Nuba Nara bisa lengkapi.

Namun, hal yang menimbulkan tanda tanya besar adalah bagaimana mungkin orang Lamaholot yang terdiri atas manusia dengan latar belakang asal-usul yang berbeda bisa bersatu dan memiliki satu budaya yang sama, katakanlah kepercayaan terhadap Nuba Nara dan penggunaan bahasa Lamaholot?

Secara garis besar, orang Lamaholot datang dari tiga wilayah yang berbeda yakni lahir dari gunung dan bukit (ile jadi) dari timur - tena mao - dan dari Barat jauh yakni sina jawa. Dari Timur kebanyakan datang dari Maluku yang kemudian bermigrasi ke dua pulau di Alor yakni Lepan dan Batan. Saya belum temukan data tertulis kapan orang Lamaholot dari Maluku bermigrasi ke Lepan Batan. Pertanyaan lainnya, mengapa arah migrasi harus ke dua pulau ini? Ada apa di Lepan Batan?

Selain itu, ada juga yang datang dari Munaseli, khususnya pasca perang saudara kerajaan Munaseli vs Pandai yang berlangsung terus-menerus hingga berpuncak pada intervensi kerajaan Majapahit sekitar tahun 1300-an. Dari konflik saudara inilah, sebuah kisah baru dimulai, orang Munaseli bermigrasi ke berbagai arah bahkan sampai ke Timor Leste, termasuk ke Lepan Batan dan ke Lembata-Flotim.

Selain itu ada pula yang datang dari arah barat dari China, Jawa, Sumatera, Sikka, Arab dan seterusnya. Ketika dua kelompok besar ini bermigrasi ke wilayah Lamaholot, mereka diterima untuk menetap bersama suku-suku yang sudah ada lebih dulu atau yang disebut sebagai ile jadi - tentu dengan kisah yang tidak sama. Walaupun demikian, kita patut bertanya, mengapa mereka semua menggunakan bahasa yang satu dan sama? Apakah orang Maluku yang bermigrasi sejak awal mula menggunakan bahasa Lamaholot?

Apakah bahasa Lamaholot ini milik suku ile jadi atau bahasa yang dibawa oleh orang Lamaholot dari Timur dan Barat? Saat ini bahasa Lamaholot tidak hanya digunakan oleh orang Lembata dan Flotim tetapi juga sebagian di pulau Pantar seperti orang Munaseli dan Pandai. Itu berarti sejak awal bahasa Lamaholot sudah digunakan oleh orang Munaseli dan Pandai sebelum bermigrasi ke Lembata atau Flotim. Lantas, bagaimana dengan orang-orang yang datang dari wilayah barat? Apa yang mereka bawa? Apakah mereka juga menggunakan bahasa yang sama?

Jika semua bahasa yang mereka gunakan sejak awal mula bervariasi; mengapa saat ini hanya satu bahasa yang mereka gunakan? Apakah pernah ada konsensus besar di Lamaholot untuk melahirkan satu budaya? Beberapa pertanyaan ini menarik untuk dicari tahu lebih dalam oleh orang Lamaholot. Hal yang sama ketika kita bertanya soal kepercayaan terhadap batu Nuba Nara.

Orang Kedang

Orang Kedang di Timur Lembata pun sama kisahnya. Salah satu pertanyaan yang paling penting yakni soal bahasa. Mengapa orang Lamaholot di Flotim dan sebagian di Pantar menggunakan bahasa yang sama tetapi orang Kedang tidak? Padahal, secara geografis seharusnya, orang Kedang juga menggunakan bahasa Lamaholot karena berada di tengah antara Lamaholot dan Munaseli-Pantar.



Dari perbedaan-perbedaan ini menunjukkan kita sangat beragam. Walaupun bereda alat komunikasi, sejak permulaan nenek moyang kita sudah membangun relasi melalui pasar barter misalnya di Lepan Batan yang mempertemukan orang Kedang, khususnya di Kalikur, Pandai, Lepan Batan dan Munaseli. Sudah tentu mereka bisa berkomunikasi walaupun bahasa mereka berbeda. Beberapa versi di Kedang mengisahkan bahwa Lepan Batan adalah tempat untuk mencari ikan - bahkan pernah ada penelitian dari Mahasiswa UGM di Noni’, Desa Mahal bahwa priuk tanah yang digunakan oleh orang Kedang yang pernah menetap di Noni’ diambil dari wilayah Alor.

Jadi sesungguhnya, nama Lepan Batan dahulu kala sudah amat terkenal. Namun, sayang bencana telah mengubah semuanya - jika tidak mungkin ada peradaban besar, sebuah kota masih bisa berdiri di Lepan Batan hingga kini.

Sama halnya juga kalau kita omong tentang batu. Orang Kedang pun sama. Dalam proses migrasi dari puncak Uyelewun, masing-masing moyang wajib membawa batu yang disebut sebagai Lapa’ Koda atau bahasa sakralnya tedu’ koda bare wade’-koda pitu wade leme. Ketika masing-masing moyang menemukan tanah baru yang aman dan layak untuk pemukiman, maka Lapa’ Koda tersebut ditancapkan pada tanah-di bawah pohon rita atau ite koda. Kehadiran pohon sebagai simbol sebuah kehidupan yang terus bertumbuh dan bercabang-cabang (Gregor Neonbasu dalam Diaspora Melanesia di Nusantara).

Batu yang ditancap pada tanah dilalui dengan ritus adat yang disebut poan koda. Hewan kurban berupa babi harus dikurbankan untuk ibu bumi, leluhur dan memohon restu wujud tertinggi-Lia Nimon Loyo Wala. Biasanya masing-masing marga di Kedang punya Lapa’ Koda tetapi ada juga beberapa marga bergabung menggunakan satu Lapa’ Koda karena lahir dari satu moyang yang sama. Lapa’ berarti fondasi atau yang memangku dan melindungi. Kata Koda menjelaskan tentang kisah migrasi leluhur. Artinya batu koda adalah simbol satu identitas marga, satu darah dan satu moyang.

 

Post a Comment for "Nuba Nara-Lapa’ Koda: Batu dalam Kepercayaan Lamaholot dan Kedang "