Pejabat Publik Lembata, Fenomena Cancel Culture dan Rasa Malu
![]() |
Ilustrasi Ai |
RakatNtt
- Saya
baru saja membaca dua artikel yang ditulis oleh Syarif Maulana pada website
rumah filsafat. Artikel pertama berjudul Cancel Culture: Sebuah Pengantar
Kritis dan kedua Mempertanyakan Cancel Culture. Saya coba memahami
poin penting dari dua artikel tersebut yakni tentang cancel culture atau
budaya pembatalan.
Saya
coba memahami secara sederhana bahwa fenomena ini berkaitan dengan narasi
sarkas yang kita lakukan terhadap orang tertentu karena faktor suka atau tidak
suka. Fenomena ini sering kita lakukan melalui medsos sebagai wadah yang paling
tepat dan bebas. Orang yang paling banyak sebagai sasaran adalah pejabat
publik.
Cancel culture merujuk pada kebiasaan cyberbullying; kita membuli orang karena ada kesalahan tertentu–yang seringkali hanya berdasarkan isu liar. Fenomena ini tidak memberi ruang refleksi bagi kita sebelum mengatakan sesuatu kepada pejabat publik atau orang tertentu. Fenomena ini sangat menghancurkan kepribadian orang sampai yang paling rusak. Seorang yang sudah berusaha sekolah, berjuang menjadi Doktor dan Dosen tetapi ketika ia melakukan sebuah kesalahan yang belum tentu benar, pribadinya langsung diserang dari berbagai arah dengan narasi sarkas yang tak terbendung. Ia pun mungkin tidak percaya diri lagi dan kehilangan pekerjaan, orang pun tidak menganggapnya lagi sebagai seorang narasumber ilmu.
Akun-akun
palsu menyerang membabi buta sampai subjek tersebut kehilangan kepercayaan
diri. Lalu orang yang menyerang tidak merasa bersalah, malah menikmatinya.
Mereka mungkin beralih pada tema pembahasan lain dan tidak repot dengan dosen
tadi.
Hal ini pun terjadi di Lembata. Saya mengamati beberapa contoh yang relevan. Ketika Jhon Batafor berteriak agar tunjangan DPRD dipangkas, muncul banyak akun medsos menyerang moral pribadi Jhon. Mereka menuduh Jhon buat ini dan itu. Isu liar meletus setiap detik dan kita sulit membendungnya. Orang tidak berpikir lagi bahwa Jhon pernah membahagiakan banyak orang yang hidup di rumah tak layak. Yang mereka lihat, Jhon adalah musuh yang harus dimatikan kariernya dengan cara membully. Namun, syukur bahwa Jhon masih kuat dan tetap menjadi ADPRD Lembata.
Beberapa
tahun silam, seorang ADPRD Lembata di-PAW karena kedapatan berbuat kotor yang
mencoreng moral pribadi sekaligus status figur publik yang melekat pada
dirinya. Serangan bertubi-tubi datang dengan narasi caci-maki. Bukan hanya itu,
yang terbaru, seorang pejabat publik pun dibully bukan karena ia dicurigai
bermain mata untuk meloloskan anak kandung, menantu dan keluarga dekatnya pada
seleksi P3K melainkan juga foto tak layak yang sebenarnya menjadi konsumsi
pribadinya pun viral di medsos.
Orang rame-rame memposting di Medsos. Curiga terhadap praktik nepotisme melahirkan kemarahan baru pada tindakan tak bermoral pejabat tersebut. Bahkan media online tertentu menampilkan foto tanpa diblur dengan tidak mempertimbangkan kode etik dan kaidah jurnalistik yang berkualitas.
Kita belum tahu kondisi terkini pejabat publik tersebut. Namun, sudah pasti ia shock dengan bullyan, ia mungkin kehilangan kepercayaan dirinya di mata publik dan mungkin saja akan mendapat hukuman dari Partai Politik sebagai rumah moral mereka. Lalu orang yang menyerang sudah pasti tidak peduli pada kebaikannya, pada nama baik keluarganya. Mereka justru menikmati dan mencari mangsa baru melalui medsos.
Aspek kemanusiaan tak dipertimbangkan. Yang ada dalam cita-cita mereka, orang tersebut harus hancur dan malu bila perlu dikucilkan. Dari fenomena ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tak ada ruang refleksi dalam budaya pembatalan. Orang omong tanpa melihat ke belakang dan menafsir dampak buruk yang akan terjadi pada pejabat publik tersebut. Kita pun sulit mempersalahkan mereka. Ini dunia kebebasana, setiap detik, orang bisa merusak musuh mereka di medsos. Lalu apa yang harus kita lakukan? Atau kita pilih yang mana?
Pentingnya Rasa Malu
Syarif Maulana dalam artikel pertama tersebut mengutip pendapat Martha Nussbaum (2004) yang menolak cancel culture karena bagi Nussbaum praktik penghukuman sosial semacam ini gagal menumbuhkan proses refleksi moral bagi subjek bullyan. Hal ini lantaran, orang yang membully didorong oleh kemarahan kolektif, bukan oleh niat untuk memperbaiki perilaku pelaku atau subjek. Jadi orang marah dengan tujuan merusak sampai hancur bukan memberi jalan memperbaiki.
Namun, dalam
artikel yang sama, Maulana juga mengutip Douglas R.
Campbell (2023) yang menilai praktik semacam itu ada benarnya juga, “dapat
menjadi alat moral yang konstruktif sejauh disertai dengan keyakinan akan
kemungkinan penebusan (redemption).”
Pemikiran dua filsuf klasik yakni Plato dan Aristoteles juga dijadikan referensi oleh Douglas R. Campbell untuk menerangkan perdebatan cancel culture tersebut. Dua filsuf klasik tersebut “sama-sama menilai bahwa rasa malu memiliki fungsi pedagogis dalam kehidupan etika.”
“Plato, dalam Republic (560e–561a), mengecam ketidaktahumaluan (shamelessness/anaideia) sebagai salah satu keburukan moral dalam masyarakat demokratis, di mana “kelancangan disebut kesopanan, anarki disebut kebebasan, kemewahan disebut keagungan, dan ketidaktahumaluan disebut keberanian.” Bagi Plato, hilangnya rasa malu menandai hilangnya mekanisme batiniah yang mengatur perilaku moral manusia.”
Selain Plato dan Aristoteles, Socrates pun menekankan pentingnya rasa malu untuk melihat diri, menyadari dan mendorong diri untuk memperbaiki diri.
Rasa Malu Pejabat Publik Kita
Kita memang amat sulit berdebat dengan akun-akun palsu dan mempersalahkan mereka. Sebab berdebat dengan akun-akun ini, justru memperparah situasi. Medsos telah hadir bukan saja membantu manusia untuk mewujudkan kemampuan diri yang positif, ia serentak pula sebagai wadah yang paling tepat bagi manusia untuk mewujudkan diri sebagai homo homini lupus.
Orang yang tidak kita sukai harus benar-benar suci. Jika ia jatuh dalam ketakwajaran–walaupun mungkin hanya tuduhan–maka di situlah kesempatan perang terbuka di medsos dimulai. Caci-maki, mengajak orang membully, mem-viralkan foto-foto telanjang dan sejenisnya. Cancel culture lebih mengarah pada pejabat publik. Karier mereka hancur jika moral mereka buruk.
Lantaran kita sulit mempersalahkan siapa-siapa, maka mengikuti nasihat moyang Socrates, Plato dan Aristoteles, para pejabat publik mesti sadar diri dan ada rasa malu. Dengan kesadaran ini, maka para pejabat bisa memperbaiki diri sebelum viral di medsos. Ada ruang refleksi pribadi untuk bertanya pada diri tentang tindakan yang layak dan tidak. Sebab sebagai pejabat publik, kentut di kantor, orang di luar kantor pun menciumnya, mungkin yang sulit dicium adalah nepotisme dan bagi-bagi proyek untuk keluarga.
Namun, jika praktik nepotisme ini terbongkar, maka siap-siap sudah, anda mungkin tidak masuk penjara karena orang bilang hukum tumpul ke atas tetapi penghakiman publik lewat metode cancel culture akan lebih mematikan.
Ketika anda dicurigai bermain mata untuk meloloskan keluarga yang menurut banyak orang tidak layak (bermain curang), maka bukan hanya aspek itu yang disoroti, hal-hal rahasia dan pribadipun akan dibentangkan semuanya di layar HP netizen.
Hal-hal seperti inilah yang sedang kita saksikan di Lembata. Masing-masing kita saling menjaga diri. Istri ingatkan suami pun sebaliknya, sesama anggota Parpol saling mengingatkan agar jangan jatuh. Anda harus benar-benar menjadi dewa yang hidup di dunia seperti keyakinan orang Yunani kuno terhadap pejabat publik. Anda harus bersih, bukan hanya bersih di muka tapi juga di selangkangan.
Sebab di luar anda, banyak serdadu Medsos siap memangsa Anda. Mereka tidak mengpresiasi tetapi mengamputasi dan memboikot karier anda.
Post a Comment for "Pejabat Publik Lembata, Fenomena Cancel Culture dan Rasa Malu "
Komentar